Ahmad Ali: Penghapusan Utang Debitur Korban Bencana Tetap Lanjut
A
A
A
JAKARTA - Wakil Presiden Jusuf Kalla (Wapres JK) baru-baru ini memberi pernyataan tentang ketiadaan kebijakan penghapusan utang debitur korban bencana Palu, Donggala, Sigi. Mengacu pada dampak bencana yang menimpa masyarakat, pernyataan Wapres tersebut diyakini Ketua Fraksi NasDem Ahmad HM Ali tercetus sebagai akibat dari informasi parsial dan tidak holistik yang diterima oleh wapres.
"Sangat boleh jadi pernyataan ini tercetus hanya karena Wapres kurang mendapat informasi yang utuh, berimbang dan menyeluruh saja," ungkapnya melalui keterangan tertulis, Selasa (5/2/2019).
Diskursus publik terkait dengan utang debitur korban terdampak langsung bencana menurut Ali seharusnya sudah lebih maju, tak lagi berkutat pada apakah kebijakan tersebut dapat dilakukan atau tidak. Bencana Palu, Donggala, Sigi dan Parimo (Padagimo) bukan hanya gempa, tetapi sekaligus tsunami dan likuifaksi, berikut tingkat kerusakan yang terbilang parah dan jumlah korban yang besar.
"Sudah sangat wajar jika pemberian fasilitas penghapusan utang debitur dilakukan. Paling tidak atas nama kemanusiaan. Saya meyakini, kebijakan dibuat untuk merawat kemanusiaan," tegas anggota Komisi VII DPR dari Sulawesi Tengah ini.
Dampak bencana Padagimo, kata Ali, tak sekadar mempertimbangkan korban jiwa, tetapi juga kerusakan ekonomi, khususnya asset ekonomi yang penting untuk kelanjutan usaha. Belum lagi ditambah dengan korban jiwa yang banyak di antaranya merupakan tulang punggung ekonomi keluarga.
Berdasarkan hal tersebut, selayaknya perdebatan publik lebih ditujukan pada skema dan payung hukum untuk memberikan perlakuan khusus kepada korban bencana terdampak langsung agar selaras dengan aturan perundangan yang berlaku.
Secara hukum, langkah untuk penghapusan utang debitur korban bencana sejatinya sangat dimungkingkan. Bencana Padagimo telah memenuhi unsur keadaan memaksa (force majeur) atau overmatch.
Setidaknya ada tiga unsur dari keadaan memaksa itu kata Ali. Pertama, tidak dipenuhinya prestasi akibat peristiwa musnah atau binasanya benda yang menjadi objek perikatan. Kedua, ada sebab diluar kesalahan debitur akibat peristiwa yang menghalangi debitur untuk memenuhi kewajiban atau berprestasi, dan ketiga, faktor penyebab yang kemunculannya tidak diduga sebelumnya. Ketiga unsur ini terpenuhi dalam kasus bencana Padagimo.
"Memakai logika sederhana saja dalam unsur pertama, bagaimana bisa debitur dapat dikenai hak tagih jika benda yang diagunkan atau asset untuk berproduksi telah rusak dan kehilangan fungsi," ucapnya.
Dari sisi ekonomi-moneter, Mat Ali juga menyatakan langkah penghapusan utang kepada korban terdampak bencana juga tidak akan berdampak terlampau serius. "Non-performing loan (NPL) atau kredit bermasalah di Sulawesi Tengah tercatat cukup rendah sebesar 2,44%," imbuhnya.
Ali mengegaskan, dengan bauran kebijakan yang tepat, pemberian fasilitas khusus penghapusan utang debitur dapat dijalankan dengan terkendali untuk menjaga tingkat NPL tetap pada batas 5%. "Toh, indokator moneter lain memperlihatkan situasi yang cukup menggembirakan, dengan aset perbankan tumbuh 11%, dana pihak ketiga (DPK) masih tumbuh 8%," tuturnya.
Lebih jauh, politisi yang kerap disapa Mat Ali ini mengusulkan agar dilakukan inventarisasi dan komposisi debitur, aset berikut kredit bermasalah yang terdampak langsung dengan bencana.
"Jadi based on debitur, siapa saja mereka, apa saja aset ekonomi yang rusak berikut tingkat kerusakannya, berapa jumlahnya, baik barang konsumsi terlebih lagi barang modal. Penyusunannya juga disertai dengan evaluator independen untuk mencegah moral hazard, jangan sampai dimanfaatkan oleh orang- orang untuk mengeruk manfaat sepihak," tuturnya.
Data dan informasi yang lebih lengkap tersebut penting untuk mengeksekusi kebijakan yang lebih tepat sasaran. Dengan demikian katanya akan memudahkan membuat kebijakan siapa yang cukup dengan relaksasi, siapa yang hapus buku dan hapus tagih.
Selain itu, Mat Ali juga mengusulkan agar persoalan utang debitur korban terdampak langsung bencana ini digeser dari problem mekanisme korporasi/perbankan ke mekanisme negara.
"Saya kira dengan dampak bencana yang lebih besar dibandingkan daerah lain, negara memang perlu hadir dalam persoalan ini. Toh, hampir semua debitur korban bencana adalah nasabah bank milik negara. Jadi, tuntutan dan perjuangan debitur korban bencana Padagimo ini tetap dilanjutkan," tutupnya.
"Sangat boleh jadi pernyataan ini tercetus hanya karena Wapres kurang mendapat informasi yang utuh, berimbang dan menyeluruh saja," ungkapnya melalui keterangan tertulis, Selasa (5/2/2019).
Diskursus publik terkait dengan utang debitur korban terdampak langsung bencana menurut Ali seharusnya sudah lebih maju, tak lagi berkutat pada apakah kebijakan tersebut dapat dilakukan atau tidak. Bencana Palu, Donggala, Sigi dan Parimo (Padagimo) bukan hanya gempa, tetapi sekaligus tsunami dan likuifaksi, berikut tingkat kerusakan yang terbilang parah dan jumlah korban yang besar.
"Sudah sangat wajar jika pemberian fasilitas penghapusan utang debitur dilakukan. Paling tidak atas nama kemanusiaan. Saya meyakini, kebijakan dibuat untuk merawat kemanusiaan," tegas anggota Komisi VII DPR dari Sulawesi Tengah ini.
Dampak bencana Padagimo, kata Ali, tak sekadar mempertimbangkan korban jiwa, tetapi juga kerusakan ekonomi, khususnya asset ekonomi yang penting untuk kelanjutan usaha. Belum lagi ditambah dengan korban jiwa yang banyak di antaranya merupakan tulang punggung ekonomi keluarga.
Berdasarkan hal tersebut, selayaknya perdebatan publik lebih ditujukan pada skema dan payung hukum untuk memberikan perlakuan khusus kepada korban bencana terdampak langsung agar selaras dengan aturan perundangan yang berlaku.
Secara hukum, langkah untuk penghapusan utang debitur korban bencana sejatinya sangat dimungkingkan. Bencana Padagimo telah memenuhi unsur keadaan memaksa (force majeur) atau overmatch.
Setidaknya ada tiga unsur dari keadaan memaksa itu kata Ali. Pertama, tidak dipenuhinya prestasi akibat peristiwa musnah atau binasanya benda yang menjadi objek perikatan. Kedua, ada sebab diluar kesalahan debitur akibat peristiwa yang menghalangi debitur untuk memenuhi kewajiban atau berprestasi, dan ketiga, faktor penyebab yang kemunculannya tidak diduga sebelumnya. Ketiga unsur ini terpenuhi dalam kasus bencana Padagimo.
"Memakai logika sederhana saja dalam unsur pertama, bagaimana bisa debitur dapat dikenai hak tagih jika benda yang diagunkan atau asset untuk berproduksi telah rusak dan kehilangan fungsi," ucapnya.
Dari sisi ekonomi-moneter, Mat Ali juga menyatakan langkah penghapusan utang kepada korban terdampak bencana juga tidak akan berdampak terlampau serius. "Non-performing loan (NPL) atau kredit bermasalah di Sulawesi Tengah tercatat cukup rendah sebesar 2,44%," imbuhnya.
Ali mengegaskan, dengan bauran kebijakan yang tepat, pemberian fasilitas khusus penghapusan utang debitur dapat dijalankan dengan terkendali untuk menjaga tingkat NPL tetap pada batas 5%. "Toh, indokator moneter lain memperlihatkan situasi yang cukup menggembirakan, dengan aset perbankan tumbuh 11%, dana pihak ketiga (DPK) masih tumbuh 8%," tuturnya.
Lebih jauh, politisi yang kerap disapa Mat Ali ini mengusulkan agar dilakukan inventarisasi dan komposisi debitur, aset berikut kredit bermasalah yang terdampak langsung dengan bencana.
"Jadi based on debitur, siapa saja mereka, apa saja aset ekonomi yang rusak berikut tingkat kerusakannya, berapa jumlahnya, baik barang konsumsi terlebih lagi barang modal. Penyusunannya juga disertai dengan evaluator independen untuk mencegah moral hazard, jangan sampai dimanfaatkan oleh orang- orang untuk mengeruk manfaat sepihak," tuturnya.
Data dan informasi yang lebih lengkap tersebut penting untuk mengeksekusi kebijakan yang lebih tepat sasaran. Dengan demikian katanya akan memudahkan membuat kebijakan siapa yang cukup dengan relaksasi, siapa yang hapus buku dan hapus tagih.
Selain itu, Mat Ali juga mengusulkan agar persoalan utang debitur korban terdampak langsung bencana ini digeser dari problem mekanisme korporasi/perbankan ke mekanisme negara.
"Saya kira dengan dampak bencana yang lebih besar dibandingkan daerah lain, negara memang perlu hadir dalam persoalan ini. Toh, hampir semua debitur korban bencana adalah nasabah bank milik negara. Jadi, tuntutan dan perjuangan debitur korban bencana Padagimo ini tetap dilanjutkan," tutupnya.
(fjo)