Indonesia Siap Bangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah terus meningkatkan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Hingga empat tahun ke depan akan beroperasi 12 PLTSa dengan total kapasitas sebesar 234 megawatt (MW). Sejumlah pembangkit tersebut dihasilkan dari sekitar 16.000 ton sampah per hari.
“Total seluruh rencana pembangkit tersebut 16.000 ton. Ini cukup besar untuk kemudian menjadi listrik yang akan dibeli PLN,” kata Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar di Jakarta, kemarin.
Menurut dia, 12 PLTSa tersebut ditargetkan akan mulai beroperasi tahun ini hingga empat tahun mendatang. Rencananya Kota Surabaya akan menjadi kota pertama yang akan mengoperasikan pembangkit listrik berbasis biomassa tersebut dengan volume sampai mencapai 1.500 ton per hari. Adapun PLTSa Surabaya akan menghasilkan kapasitas pembangkit mencapai 10 MW dengan investasi sebesar USD49,86 juta.
Selanjutnya, lokasi PLTSa kedua di tahun yang sama berada di Bekasi. PLTSa tersebut diperkirakan menelan investasi sebesar USD120 juta dengan kapasitas daya sebesar 9 MW.
Meski demikian, PLTSa tersebut masih menunggu persetujuan studi kelayakan dari PT PLN (Persero) sehingga ada kemungkinan beroperasi tahun 2021.
Sementara pada tahun 2021 bakal ada tiga pembangkit sampah yang berlokasi di Surakarta dengan kapasitas 10 MW, Palembang dengan kapasitas 20 MW dan Denpasar dengan kapasitas 20 MW. Total investasi untuk menghasilkan setrum dari tiga lokasi PLTSa tersebut volumenya sebanyak 2.800 ton per hari dengan investasi sebesar USD297,82 juta.
Pada tahun 2022, pengoperasian PLTSa akan serentak berada di lima kota dengan investasi, volume sampah dan kemampuan kapasitas yang bervariasi. Kelima kota tersebut antara lain DKI Jakarta dengan kapasitas sebesar 38 MW dengan investasi USD345,8 juta, Bandung berkapasitas 29 MW dengan investasi USD 245 juta, Makassar, Manado dan Tangerang Selatan dengan masing-masing kapasitas sebesar 20 MW dengan investasi yang sama yaitu USD 120 juta.
“Perbedaan biaya investasi itu tergantung teknologinya seperti apa, kapan dimulai pekerjaan, volume dan jenis sampah,” kata Arcandra.
Kehadiran pembangunan PLTSa tak lepas dari terbitnya Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan program Pembangunan PLTSa. Di dalam aturan tersebut, Pemerintah Daerah (Pemda) bisa menugaskan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), BUMN, atau swasta untuk mengembangkan PLTSa yang nantinya akan mendapatkan bantuan Biaya Layanan Pengolahan Sampah (BLPS) kepada pemda maksimal Rp500.000 per ton sampah.
Terkait harga jual beli, Pemerintah akan menetapkan formula dan harga jual beli yang dipakai untuk dasar perjanjian jual beli listrik antara PLN dan pengembang.
“Sebelum Perpres ini ada, jual beli listrik sampah memakai skema feed in tariff dimana tarif ditetapkan sampai USD 17 - 18 sen per kilo Watt Hour (KWh). Padahal harga jual PLN untuk golongan tertentu sangat jauh di bawah USD17,” kata Arcandra.
Kehadiran Perpres ini, imbuh Arcandra, bisa menetapkan nilai keekonomian jauh di bawah USD17 sen atau sekitar USD 13 sen KWh dengan syarat penambahan tapping fee yang harus disediakan oleh Pemda sesuai dengan kemampuan finansial mereka. Sisa kekurangan tapping feetersebut nantinya akan dibayar oleh Pemerintah Pusat.
Pengembangan PLTSa juga didukung oleh perubahan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2019 - 2028 yang diluncurkan awal tahun ini. Sesuai peta jalan tersebit pembangkit EBT bisa dibangun di luar perencanaan RUPTL asal kapasitasnya di bawah 10 MW. “Ini jalur khusus sesuai diktum kelima,” kata dia.
Direktur Bioenergi pada Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Andriah Feby Misna menuturkan, saat ini pemerintah semakin memberikan perhatian terhadap pemanfaatan sampah sebagai salah satu sumber energi melalui penggunaan teknologi tertentu. Sampah yang dihasilkan oleh masyarakat, dapat menjadi salah satu sumber energi yang dapat dikembangkan pemanfaatannya dan diperkirakan mampu menghasilkan potensi sekitar 2000 MW.
“Kita menyadari sampah mempunyai potensi energi biomassa yang dapat kita konversikan menjadi energi lain. Salah satunya bisa menjadi listrik, tetapi juga tidak tertutup peluang untuk bisa kita manfaatkan menjadi biofuel,” kata dia.
Febby mengatakan, peningkatan pertumbuhan penduduk menyebabkan peningkatan volume sampah masyarakat, terbatasnya daya tampung dan usia pakai Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang ada, dan penetapan beberapa daerah sebagai daerah yang darurat sampah menjadi beberapa faktor pentingnya pengembangan sampah di Indonesia.
“Kalau kita melihat untuk sampah kota, itu ada sebesar 2000 MW yang bisa kita bangkitkan dari sampah. Beberapa kota memang sudah memiliki jumlah sampah yang cukup besar,” katanya.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan pemerintah tahun lalu terdapat sekitar 15 kota yang memiliki sampah dengan jumlah yang besar. Di antaranya DKI Jakarta dengan potensi sampah yang dapat mencapai 7.000 ton per hari, disusul oleh Surabaya, Bandung dan Bekasi.
“Kita sudah mempunyai komitmen untuk bisa mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% pada 2030. Diharapkan dengan memanfaatkan sampah menjadi energi maka kita bisa mengurangi penggunaan energi fosil baik itu yang kita manfaatkan untuk energi listrik maupun untuk biofuel,” tutur Febby. (Nanang Wijayanto)
“Total seluruh rencana pembangkit tersebut 16.000 ton. Ini cukup besar untuk kemudian menjadi listrik yang akan dibeli PLN,” kata Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar di Jakarta, kemarin.
Menurut dia, 12 PLTSa tersebut ditargetkan akan mulai beroperasi tahun ini hingga empat tahun mendatang. Rencananya Kota Surabaya akan menjadi kota pertama yang akan mengoperasikan pembangkit listrik berbasis biomassa tersebut dengan volume sampai mencapai 1.500 ton per hari. Adapun PLTSa Surabaya akan menghasilkan kapasitas pembangkit mencapai 10 MW dengan investasi sebesar USD49,86 juta.
Selanjutnya, lokasi PLTSa kedua di tahun yang sama berada di Bekasi. PLTSa tersebut diperkirakan menelan investasi sebesar USD120 juta dengan kapasitas daya sebesar 9 MW.
Meski demikian, PLTSa tersebut masih menunggu persetujuan studi kelayakan dari PT PLN (Persero) sehingga ada kemungkinan beroperasi tahun 2021.
Sementara pada tahun 2021 bakal ada tiga pembangkit sampah yang berlokasi di Surakarta dengan kapasitas 10 MW, Palembang dengan kapasitas 20 MW dan Denpasar dengan kapasitas 20 MW. Total investasi untuk menghasilkan setrum dari tiga lokasi PLTSa tersebut volumenya sebanyak 2.800 ton per hari dengan investasi sebesar USD297,82 juta.
Pada tahun 2022, pengoperasian PLTSa akan serentak berada di lima kota dengan investasi, volume sampah dan kemampuan kapasitas yang bervariasi. Kelima kota tersebut antara lain DKI Jakarta dengan kapasitas sebesar 38 MW dengan investasi USD345,8 juta, Bandung berkapasitas 29 MW dengan investasi USD 245 juta, Makassar, Manado dan Tangerang Selatan dengan masing-masing kapasitas sebesar 20 MW dengan investasi yang sama yaitu USD 120 juta.
“Perbedaan biaya investasi itu tergantung teknologinya seperti apa, kapan dimulai pekerjaan, volume dan jenis sampah,” kata Arcandra.
Kehadiran pembangunan PLTSa tak lepas dari terbitnya Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan program Pembangunan PLTSa. Di dalam aturan tersebut, Pemerintah Daerah (Pemda) bisa menugaskan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), BUMN, atau swasta untuk mengembangkan PLTSa yang nantinya akan mendapatkan bantuan Biaya Layanan Pengolahan Sampah (BLPS) kepada pemda maksimal Rp500.000 per ton sampah.
Terkait harga jual beli, Pemerintah akan menetapkan formula dan harga jual beli yang dipakai untuk dasar perjanjian jual beli listrik antara PLN dan pengembang.
“Sebelum Perpres ini ada, jual beli listrik sampah memakai skema feed in tariff dimana tarif ditetapkan sampai USD 17 - 18 sen per kilo Watt Hour (KWh). Padahal harga jual PLN untuk golongan tertentu sangat jauh di bawah USD17,” kata Arcandra.
Kehadiran Perpres ini, imbuh Arcandra, bisa menetapkan nilai keekonomian jauh di bawah USD17 sen atau sekitar USD 13 sen KWh dengan syarat penambahan tapping fee yang harus disediakan oleh Pemda sesuai dengan kemampuan finansial mereka. Sisa kekurangan tapping feetersebut nantinya akan dibayar oleh Pemerintah Pusat.
Pengembangan PLTSa juga didukung oleh perubahan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2019 - 2028 yang diluncurkan awal tahun ini. Sesuai peta jalan tersebit pembangkit EBT bisa dibangun di luar perencanaan RUPTL asal kapasitasnya di bawah 10 MW. “Ini jalur khusus sesuai diktum kelima,” kata dia.
Direktur Bioenergi pada Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Andriah Feby Misna menuturkan, saat ini pemerintah semakin memberikan perhatian terhadap pemanfaatan sampah sebagai salah satu sumber energi melalui penggunaan teknologi tertentu. Sampah yang dihasilkan oleh masyarakat, dapat menjadi salah satu sumber energi yang dapat dikembangkan pemanfaatannya dan diperkirakan mampu menghasilkan potensi sekitar 2000 MW.
“Kita menyadari sampah mempunyai potensi energi biomassa yang dapat kita konversikan menjadi energi lain. Salah satunya bisa menjadi listrik, tetapi juga tidak tertutup peluang untuk bisa kita manfaatkan menjadi biofuel,” kata dia.
Febby mengatakan, peningkatan pertumbuhan penduduk menyebabkan peningkatan volume sampah masyarakat, terbatasnya daya tampung dan usia pakai Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang ada, dan penetapan beberapa daerah sebagai daerah yang darurat sampah menjadi beberapa faktor pentingnya pengembangan sampah di Indonesia.
“Kalau kita melihat untuk sampah kota, itu ada sebesar 2000 MW yang bisa kita bangkitkan dari sampah. Beberapa kota memang sudah memiliki jumlah sampah yang cukup besar,” katanya.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan pemerintah tahun lalu terdapat sekitar 15 kota yang memiliki sampah dengan jumlah yang besar. Di antaranya DKI Jakarta dengan potensi sampah yang dapat mencapai 7.000 ton per hari, disusul oleh Surabaya, Bandung dan Bekasi.
“Kita sudah mempunyai komitmen untuk bisa mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% pada 2030. Diharapkan dengan memanfaatkan sampah menjadi energi maka kita bisa mengurangi penggunaan energi fosil baik itu yang kita manfaatkan untuk energi listrik maupun untuk biofuel,” tutur Febby. (Nanang Wijayanto)
(nfl)