Indonesia Dinilai Bisa Tiru Malaysia Soal Riset dan Pengembangan

Jum'at, 01 Maret 2019 - 17:46 WIB
Indonesia Dinilai Bisa Tiru Malaysia Soal Riset dan Pengembangan
Indonesia Dinilai Bisa Tiru Malaysia Soal Riset dan Pengembangan
A A A
JAKARTA - Guru Besar International Islamic University Malaysia (IIUM) Erry Yulian Adesta mengungkapkan, pemerintah Malaysia sangat serius dalam menggarap anggaran riset dan pengembangan (R&D). Saat ini, anggaran riset dan pengembangan Malaysia mencapai RM400 juta.

Menurutnya, persoalan anggaran riset dan pengembangan ini menjadi salah satu penyebab melorotnya peringkat universitas-universitas di Indonesia. Berdasarkan Lembaga Pemeringkatan Universitas Dunia, Quacquarelli Symonds (QS) World University Ranking 2018, tiga universitas ternama di Indonesia masuk 500 terbaik di dunia yaitu Universitas Indonesia (UI) di posisi 292, Institut Teknologi Bandung (ITB) di peringkat 359 dan Universitas Gadjah Mada (UGM) berada di 391.

Namun, posisi dua universitas itu melorot dibanding tahun lalu. Pada 2017, UI menduduki peringkat 277 dunia, ITB berada di 331. Sementara, UGM mengalami peningkatan dari posisi 410 di tahun sebelumnya.

"Dari angka RM 400 juta, RM30 juta untuk menjalin riset dengan industri dan pihak internasional. Dana yang dialokasikan itu harus mampu dikelola dengan prinsip dan keluaran yang jelas dan terukur serta memiliki dampak. Bukan sekadar ritual melakukan riset sekadar mengisi Beban Kerja Dosen (BKD) seperti yang terjadi saat ini. Riset ada ekosistemnya yang saling bergantung satu sama lain. Dana riset yang kita miliki sudah terbatas, penggunaannya pun serampangan tidak jelas inginnya apa," ujar Erry kepada media, baru-baru ini.

Di Malaysia, lanjut Erry, penggunaan dana riset dan pengembangan ini bisa dipantau melalui aplikasi, MyGrants sehingga, penggunaan dananya bisa efektif dan efisien. "Malaysia punya instrumen yang jelas dan terukur. Hampir tidak ada yang abu-abu sehingga anggaran riset bisa efektif dan juga efisien," tegasnya.

Sementara, Ekonom Indef, Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan anggaran riset dan pengembangan masih relatif kecil, hanya sebesar 0,03% dari PDB. Untuk mengejar ketertinggalan, pemerintah harus meningkatkan anggaran riset dan pengembangan sebesar 2% dari PDB.

"Di Indonesia penggunaan dana riset masih terfragmentasi. tersebar lintas kementerian dan dampaknya kecil terhadap perekonomian. Solusinya adalah integrasi belanja penelitian di lintas sektoral pemerintah di bawah lembaga dana abadi penelitian atau LPDP," kata Bhima.

Sejak 2012, LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) tak hanya mengelola dana beasiswa pendidikan S2 sampai S3, tapi juga mengalokasikan dana untuk riset inovatif produktif. Total dana yang dikelola LPDP mencapai Rp55 triliun. "Itu dana abadi, artinya pokok dana tidak berkurang dan yang dipakai hanya imbal hasil atau bunga investasi," jelasnya.

Namun, menurut Bhima, angka Rp55 triliun tersebut masih perlu ditambah untuk mengejar ketertinggalan riset dan pengembangan dengan negara lain. Menurut dia, LPDP membutuh anggaran setidaknya Rp296 triliun untuk meningkatkan anggaran riset dan pengembangan hingga 2%. "Dikurangi angka yang ada saat ini maka total tambahan anggaran LPDP idealnya Rp241 triliun," ujarnya.

Sebelumnya, anggaran riset dan pengembangan ini sempat menjadi sorotan saat CEO Bukalapak Achmad Zaky mengemukakannya di laman media sosial. Menurutnya, peningkatan anggaran riset dan pengembangan sangat diperlukan untuk membuat Indonesia siap menghadapi revolusi industri 4.0

Zaky mengatakan pada prinsipnya ia sangat memperhatikan kemajuan industri teknologi di Indonesia. Ia sangat berharap agar semua pihak terlibat dalam investasi di bidang riset dan SDM secara berkelanjutan demi mendorong percepatan kemajuan bangsa di segala bidang.
(fjo)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6786 seconds (0.1#10.140)