Pemerintah Tingkatkan Keandalan Sistem Ketenagalistrikan
A
A
A
JAKARTA - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menyebutkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) tahun 2018-2028 perlu perubahan karena adanya dinamika pertumbuhan kebutuhan listrik.
“Ada beberapa hal perlu penyesuaian, sebab untuk mengejar target rasio elektrifikasi,” kata Jonan saat membuka acara diseminasi Keputusan Menteri ESDM Nomor 39 K/20/MEM/ 2019 tanggal 20 Februari 2019 tentang Pengesahan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PTPLN (Persero) Tahun 2019 sampai 2028, di Jakarta, kemarin.
Jonan mengungkapkan, perubahan RUPTL PT PLN (Persero) tahun 2018-2028 perlu dilakukan karena adanya dinamika pertumbuhan kebutuhan listrik dan pembangunan infrastruktur ketenaga listrikan. Karena itu, perlu dilakukan perubahan terhadap lingkup dan kapasitas pembangkit, pergeseran commercial operation date (COD), dan penambahan proyek baru untuk peningkatan keandalan sistem ketenagalistrikan.
Pada kesempatan tersebut, Jonan kembali menegaskan dukungannya terhadap penggunaan energi baru terbarukan (EBT) dan meminta PLN agar bisa mempercepat proses pengembangan pembangkit EBT di Indonesia. “Pemerintah menetapkan energi baru terbarukan dalam bauran energi minimal 23% pada 2025. Ini tantangan yang amat besar sehingga pemerintah memutuskan inisiatif pembangkit EBT di bawah 10 MW tidak perlu ada dalam RUPTL, tujuannya mengejar bauran energi berasal dari EBT,” ungkap Jonan di depan perwakilan kementerian/lembaga, pemerintah daerah, pelaku usaha, serta para pemangku kepentingan lain subsektor ketenagalistrikan yang hadir.
Melalui RUPTL PT PLN (Persero) 2019-2028, Kementerian ESDM telah meng instruksikan pada PLN agar terus mendorong pengembangan energi terbarukan. Dalam RUPTL terbaru ini target penambahan pembangkit listrik dari energi terbarukan hingga tahun 2028 adalah sebesar 16.714 MW.
Menurut Jonan, hal terpenting lainnya adalah perluasan akses listrik, karena rasio elektrifikasi tahun lalu (2018) naik sebesar 14 % di banding empat tahun terakhir. “Sesuai arahan Presiden, energi harus berkeadilan, tantangannya (harga) harus terjangkau,” ujarnya.
Dia meminta PLN dapat merealisasikan target pada 2028 yang tertuang dalam RUPTL, seperti total rencana pembangunan pembangkit sebesar 56.395 MW, jaringan transmisi tenaga listrik sepanjang 57.293 kms, gardu induk sebesar 124.341 MVA, jaringan distribusi sepan jang 472.795 kms, dan gardu distribusi sebesar 33.730 MVA. Dalam RUPTL 2019-2028 ini, pemerintah juga mendorong penggunaan teknologi pem bangkit listrik ramah lingkungan. Hal ini telah dilakukan antara lain dengan mendorong penerapan teknologi PLTU Clean Coal Technology (CCT).
Kementerian ESDM juga menginstruksikan pada PLN agar bauran energi dari gas bisa dijaga sebesar minimum 22% pada 2025 dan seterusnya guna mendukung integrasi pembangkit EBT yang bersifat intermittent (Variable Renewable Energy). Pemerintah juga berkomitmen bahwa pemanfaatan gas untuk pembangkit listrik mem prioritaskan gas di mulut sumur (wellhead).
Terkait peng guna an BBM untuk pembangkit listrik, dibatasi maksimal 0,4 persen mulai tahun 2025 yang digunakan hanya untuk daerah perdesaan dan kawasan 3T (terdepan, tertinggal, dan terluar). Jonan berharap kebijakan ketenagalistrikan yang diimplementasikan melalui RUPTL ini bisa didukung semua pihak dalam mewujudkan energi berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai, perubahan RUPTL patut diapresiasi karena pemerintah berupaya meningkatkan penggunaan EBT. Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019–2028 PT PLN (Persero) tidak perlu menunggu rencana usaha baru jika ingin menambah pembangkit berbasis EBT.
“Meski begitu, menurut hemat saya kalau tidak masuk RUPTL, justru eksekusinya tidak mudah karena tidak ma suk RUPTL. Sementara untuk membangun pembangkit harus selalu butuh kajian inter koneksi dan studi jaringan,” ujar Fabby kepada KORAN SINDO, kemarin.
Menurut dia, perubahan aturan RUPTL tersebut justru tidak bisa memastikan ketersediaan jaringan. Pasalnya, pem bangunan bangkit baru, baik EBT maupun non-EBT, harus sinkronisasi dengan jaringan. “Hal itu supaya ada kepastian kebutuhan sistem dan ketersediaan jaringan. Kalau seperti ini, tidak ada guna fungsi perencanaan kecuali ada aturan PLN wajib beli EBT,” kata dia. (Nanang Wijayanto/Ant)
“Ada beberapa hal perlu penyesuaian, sebab untuk mengejar target rasio elektrifikasi,” kata Jonan saat membuka acara diseminasi Keputusan Menteri ESDM Nomor 39 K/20/MEM/ 2019 tanggal 20 Februari 2019 tentang Pengesahan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PTPLN (Persero) Tahun 2019 sampai 2028, di Jakarta, kemarin.
Jonan mengungkapkan, perubahan RUPTL PT PLN (Persero) tahun 2018-2028 perlu dilakukan karena adanya dinamika pertumbuhan kebutuhan listrik dan pembangunan infrastruktur ketenaga listrikan. Karena itu, perlu dilakukan perubahan terhadap lingkup dan kapasitas pembangkit, pergeseran commercial operation date (COD), dan penambahan proyek baru untuk peningkatan keandalan sistem ketenagalistrikan.
Pada kesempatan tersebut, Jonan kembali menegaskan dukungannya terhadap penggunaan energi baru terbarukan (EBT) dan meminta PLN agar bisa mempercepat proses pengembangan pembangkit EBT di Indonesia. “Pemerintah menetapkan energi baru terbarukan dalam bauran energi minimal 23% pada 2025. Ini tantangan yang amat besar sehingga pemerintah memutuskan inisiatif pembangkit EBT di bawah 10 MW tidak perlu ada dalam RUPTL, tujuannya mengejar bauran energi berasal dari EBT,” ungkap Jonan di depan perwakilan kementerian/lembaga, pemerintah daerah, pelaku usaha, serta para pemangku kepentingan lain subsektor ketenagalistrikan yang hadir.
Melalui RUPTL PT PLN (Persero) 2019-2028, Kementerian ESDM telah meng instruksikan pada PLN agar terus mendorong pengembangan energi terbarukan. Dalam RUPTL terbaru ini target penambahan pembangkit listrik dari energi terbarukan hingga tahun 2028 adalah sebesar 16.714 MW.
Menurut Jonan, hal terpenting lainnya adalah perluasan akses listrik, karena rasio elektrifikasi tahun lalu (2018) naik sebesar 14 % di banding empat tahun terakhir. “Sesuai arahan Presiden, energi harus berkeadilan, tantangannya (harga) harus terjangkau,” ujarnya.
Dia meminta PLN dapat merealisasikan target pada 2028 yang tertuang dalam RUPTL, seperti total rencana pembangunan pembangkit sebesar 56.395 MW, jaringan transmisi tenaga listrik sepanjang 57.293 kms, gardu induk sebesar 124.341 MVA, jaringan distribusi sepan jang 472.795 kms, dan gardu distribusi sebesar 33.730 MVA. Dalam RUPTL 2019-2028 ini, pemerintah juga mendorong penggunaan teknologi pem bangkit listrik ramah lingkungan. Hal ini telah dilakukan antara lain dengan mendorong penerapan teknologi PLTU Clean Coal Technology (CCT).
Kementerian ESDM juga menginstruksikan pada PLN agar bauran energi dari gas bisa dijaga sebesar minimum 22% pada 2025 dan seterusnya guna mendukung integrasi pembangkit EBT yang bersifat intermittent (Variable Renewable Energy). Pemerintah juga berkomitmen bahwa pemanfaatan gas untuk pembangkit listrik mem prioritaskan gas di mulut sumur (wellhead).
Terkait peng guna an BBM untuk pembangkit listrik, dibatasi maksimal 0,4 persen mulai tahun 2025 yang digunakan hanya untuk daerah perdesaan dan kawasan 3T (terdepan, tertinggal, dan terluar). Jonan berharap kebijakan ketenagalistrikan yang diimplementasikan melalui RUPTL ini bisa didukung semua pihak dalam mewujudkan energi berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai, perubahan RUPTL patut diapresiasi karena pemerintah berupaya meningkatkan penggunaan EBT. Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019–2028 PT PLN (Persero) tidak perlu menunggu rencana usaha baru jika ingin menambah pembangkit berbasis EBT.
“Meski begitu, menurut hemat saya kalau tidak masuk RUPTL, justru eksekusinya tidak mudah karena tidak ma suk RUPTL. Sementara untuk membangun pembangkit harus selalu butuh kajian inter koneksi dan studi jaringan,” ujar Fabby kepada KORAN SINDO, kemarin.
Menurut dia, perubahan aturan RUPTL tersebut justru tidak bisa memastikan ketersediaan jaringan. Pasalnya, pem bangunan bangkit baru, baik EBT maupun non-EBT, harus sinkronisasi dengan jaringan. “Hal itu supaya ada kepastian kebutuhan sistem dan ketersediaan jaringan. Kalau seperti ini, tidak ada guna fungsi perencanaan kecuali ada aturan PLN wajib beli EBT,” kata dia. (Nanang Wijayanto/Ant)
(nfl)