Puskepi Minta Pelindo II Turun Tangan Atasi Masalah PT JAI
A
A
A
JAKARTA - Aksi mogok kru kapal tunda PT Jakarta Armada Indonesia Tbk (JAI) harus disikapi serius. Mogoknya kru anak usaha PT Pelindo II yang tercatat di Bursa Efek Indonesia dengan kode IPCM ini, dilatarbelakangi oleh pengalihan manajemen kru kapal dari JAI kepada pihak ketiga atau vendor sejak setahun lalu.
Para kru mengkhawatirkan vendor sewaktu-waktu bisa memberhentikan atau memecat kru kapal dan mengganti dengan sumber daya manusia (SDM) dari vendor.
"Kasus ini harus mendapat penanganan prioritas dari direksi Pelindo II dan tidak terlalu bergantung kepada Direksi PT JAI. Karena mogoknya kru kapal akibat kebijakan direksi PT JAI," tegas Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi), Sofyano Zakaria dalam keterangan tertulisnya, Jumat (12/7/2019).
Apalagi status PT JAI merupakan perusahaan yang tercatat di BEI, sehingga bisa berpengaruh terhadap pemegang saham publik. Agar tidak kontra produktif, lanjut dia, maka keterlibatan anggota direksi JAI untuk ikut menyelesaikan masalah tersebut hanya untuk direksi yang dinilai dapat diterima oleh para kru dan Serikat Pekerja.
Menurut Sofyano, kru kapal tunda (PT JAI) memiliki peran yang hampir sama dengan pilot maskapai penerbangan. Karena core business PT JAI terkait dengan skill atau keahlian yang melekat pada kru.
"Kasus ini harus bisa diantisipasi dengan cerdas, cepat, dan bijak agar tidak menjadi permasalahan yang merugikan terhadap kelancaran arus logistik bagi negeri ini," kata Sofyano.
Mogoknya kru kapal tunda PT JAI, sejatinya bukan hanya bisa merugikan PT JAI dan PT Pelindo II saja, tapi juga merugikan secara langsung para pengguna jasa pelabuhan Tanjung Priok.
Sofyano menilai, hal yang perlu dipertimbangkan yakni apakah dengan menyerahkan pengelolaan kru kepada vendor merupakan satu satunya kebijakan yang mampu memberi manfaat besar kepada perusahaan.
"Peraturan IMO memang tidak menentukan boleh atau tidaknya kru kapal di outsourcing-kan tetapi ada ketentuan internasional terkait remunerasi mereka," tegasnya.
Karena itu, perlu dipastikan bahwa jika mereka di kelola oleh vendor, apakah remunerasi mereka malah jadi meningkat atau malah menurun. Perlu dipastikan juga apakah remunerasi dari PT JAI lebih tinggi dibandingkan remunerasi pada perusahaan sejenis.
Sementara, ekonom Defiyan Cori, menilai aksi stop operasi ini jelas mengganggu pelayanan pemanduan kapal-kapal yang akan masuk-keluar di terminal paling sibuk di Indonesia dalam rangka melayani pengangkutan logistik hajat hidup orang banyak, baik yang diekspor maupun impor berbagai komponen produk-produk industri yang dibutuhkan produsen di dalam negeri.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran pada Pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa: "Pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan lingkungan maritim".
Dengan adanya aksi stop operasi oleh seluruh kru kapal pandu tersebut, kata dia, maka sesuai UU No.17 Tahun 2008 tersebut jelas akan berakibat pada kelancaran pemberian informasi, saran pemanduan kapal untuk ketertiban, kelancaran dan keselamatan kapal dan lingkungan di area pelabuhan.
Dampaknya, lanjut dia, tentu saja akan mengganggu stabilitas kegiatan perekonomian nasional mencapai pertumbuhan ekonomi dalam suatu periode, apalagi jika aksi ini sampai terjadi di pelabuhan lainnya di Indonesia.
Mengacu pada data yang dipublikasikan oleh Asosiasi Tenaga Pemanduan Kapal Indonesia (Indonesia Maritime Pilots Association/Inampa), kalau 200 kapal bisa dipandu di pelabuhan atau selat di perairan laut Indonesia bisa mengantongi pendapatan Rp1,4 triliun per tahun atau Rp116 miliar per bulan dan hasil harian kurang lebih mencapai Rp464 Juta. Dengan adanya kegiatan aksi stop operasi oleh kru pelabuhan itu, maka tentu saja terdapat kehilangan potensi pendapatan per hari.
Para kru mengkhawatirkan vendor sewaktu-waktu bisa memberhentikan atau memecat kru kapal dan mengganti dengan sumber daya manusia (SDM) dari vendor.
"Kasus ini harus mendapat penanganan prioritas dari direksi Pelindo II dan tidak terlalu bergantung kepada Direksi PT JAI. Karena mogoknya kru kapal akibat kebijakan direksi PT JAI," tegas Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi), Sofyano Zakaria dalam keterangan tertulisnya, Jumat (12/7/2019).
Apalagi status PT JAI merupakan perusahaan yang tercatat di BEI, sehingga bisa berpengaruh terhadap pemegang saham publik. Agar tidak kontra produktif, lanjut dia, maka keterlibatan anggota direksi JAI untuk ikut menyelesaikan masalah tersebut hanya untuk direksi yang dinilai dapat diterima oleh para kru dan Serikat Pekerja.
Menurut Sofyano, kru kapal tunda (PT JAI) memiliki peran yang hampir sama dengan pilot maskapai penerbangan. Karena core business PT JAI terkait dengan skill atau keahlian yang melekat pada kru.
"Kasus ini harus bisa diantisipasi dengan cerdas, cepat, dan bijak agar tidak menjadi permasalahan yang merugikan terhadap kelancaran arus logistik bagi negeri ini," kata Sofyano.
Mogoknya kru kapal tunda PT JAI, sejatinya bukan hanya bisa merugikan PT JAI dan PT Pelindo II saja, tapi juga merugikan secara langsung para pengguna jasa pelabuhan Tanjung Priok.
Sofyano menilai, hal yang perlu dipertimbangkan yakni apakah dengan menyerahkan pengelolaan kru kepada vendor merupakan satu satunya kebijakan yang mampu memberi manfaat besar kepada perusahaan.
"Peraturan IMO memang tidak menentukan boleh atau tidaknya kru kapal di outsourcing-kan tetapi ada ketentuan internasional terkait remunerasi mereka," tegasnya.
Karena itu, perlu dipastikan bahwa jika mereka di kelola oleh vendor, apakah remunerasi mereka malah jadi meningkat atau malah menurun. Perlu dipastikan juga apakah remunerasi dari PT JAI lebih tinggi dibandingkan remunerasi pada perusahaan sejenis.
Sementara, ekonom Defiyan Cori, menilai aksi stop operasi ini jelas mengganggu pelayanan pemanduan kapal-kapal yang akan masuk-keluar di terminal paling sibuk di Indonesia dalam rangka melayani pengangkutan logistik hajat hidup orang banyak, baik yang diekspor maupun impor berbagai komponen produk-produk industri yang dibutuhkan produsen di dalam negeri.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran pada Pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa: "Pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan lingkungan maritim".
Dengan adanya aksi stop operasi oleh seluruh kru kapal pandu tersebut, kata dia, maka sesuai UU No.17 Tahun 2008 tersebut jelas akan berakibat pada kelancaran pemberian informasi, saran pemanduan kapal untuk ketertiban, kelancaran dan keselamatan kapal dan lingkungan di area pelabuhan.
Dampaknya, lanjut dia, tentu saja akan mengganggu stabilitas kegiatan perekonomian nasional mencapai pertumbuhan ekonomi dalam suatu periode, apalagi jika aksi ini sampai terjadi di pelabuhan lainnya di Indonesia.
Mengacu pada data yang dipublikasikan oleh Asosiasi Tenaga Pemanduan Kapal Indonesia (Indonesia Maritime Pilots Association/Inampa), kalau 200 kapal bisa dipandu di pelabuhan atau selat di perairan laut Indonesia bisa mengantongi pendapatan Rp1,4 triliun per tahun atau Rp116 miliar per bulan dan hasil harian kurang lebih mencapai Rp464 Juta. Dengan adanya kegiatan aksi stop operasi oleh kru pelabuhan itu, maka tentu saja terdapat kehilangan potensi pendapatan per hari.
(ven)