Ini yang Terjadi Jika Industri Media Cetak Mati

Selasa, 13 Agustus 2019 - 21:22 WIB
Ini yang Terjadi Jika Industri Media Cetak Mati
Ini yang Terjadi Jika Industri Media Cetak Mati
A A A
JAKARTA - Memasuki era digital yang serba canggih ini, informasi dan berita lebih mudah diperoleh dari berbagai sumber online. Hal ini, kemudian mengancam bisnis percetakan, khususnya koran dan buku, yang menjadi sumber informasi secara tradisional.

Dilihat dari sejarahnya, sebelum ada perkembangan internet dan smartphone, koran, TV, dan radio adalah sumber informasi utama di masyarakat. Meskipun TV dan radio menawarkan kecepatan informasi, tetapi koran, tetaplah menang dalam hal pendalaman berita.

Namun, kondisi ekonomi dan perkembangan dunia digital kian mendesak koran, membuat media ini makin kehilangan sirkulasinya dan mempekerjakan tenaga kerja yang lebih sedikit. Pengorbanan dilakukan, bahkan kehilangan esensi dari koran itu sendiri.

Lalu, bagaimana jika bisnis percetakan, baik itu koran dan buku, menghilang? Dilansir dari The Seattle Times, jika bisnis percetakan buku dan koran menghilang, akan muncul efek domino yang berdampak luas. Dilansir dari The Seattle Times, bukan hanya sekadar para jurnalis koran akan kehilangan pekerjaannya, matinya bisnis ini dinilai akan membuat demokrasi menjadi semakin gelap.

Hal ini juga akan berdampak terhadap pelanggan setianya. Tidak semua orang merasa nyaman membaca berita di layar smartphone. Media koran selalu memiliki pembaca yang loyal. Tidak semua pembacanya bisa bertransisi menjadi pembaca digital. Ketika koran menghilang, sebagian dari masyarakat itu akan kehilangan sesuatu bagian yang besar dalam hidupnya.

Tak bisa dimungkiri, koran adalah esensi besar dari demokrasi itu sendiri, karena pers adalah pertahanan terakhir demokrasi. Dilansir dari Forbes, pers melalui koran, adalah pengawas pemerintah, baik itu lokal maupun nasional. Koran memberikan validasi data sebagai bukti integritasnya. Kehilangan koran, berarti masyarakat akan kehilangan pengawas pemerintah.

Karena itu, di berbagai negara maju yang tingkat literasinya tinggi, seperti Norwegia, Jerman, Denmark, Swedia, dan bahkan India, insentif atas kertas koran diberlakukan. Maka, tak heran jika peran pers cetak di negara-negara tersebut masih sangat kuat dalam mendidik masyarakat.

Berdasarkan itu pula Serikat Perusahaan Pers (SPS) memperjuangkan "Bebas Pajak bagi Pengetahuan" (No Tax for Knowledge) untuk mendukung industri media di dalam negeri. Sayangnya, upaya itu kandas di tangan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati yang melalui surat tertanggal 7 Agustus 2019, Sri Mulyani merespons negatif permohonan Pengurus SPS Pusat untuk mendiskusikan ikhwal "No Tax for Knowledge" tersebut.

"No Tax for Knowledge" pada hakikatnya merupakan sebuah perjuangan para penerbit media cetak guna mendapatkan keringanan terhadap pajak pembelian kertas dan penjualan produknya. Hal yang sama telah dikenyam oleh penerbit buku di Tanah Air, yang memperoleh insentif atas pajak penjualan buku. Perjuangan ini tentu punya dasar yang kuat.

Sebagai satu-satunya asosiasi penerbit pers cetak di Indonesia yang beranggotakan 450 penerbit, SPS meyakini, pemberian insentif atas pembelian kertas koran dan penjualan media cetak, tidak akan membuat pundi-pundi keuangan Negara tergerus.

Sekretaris Jenderal SPS Pusat Asmono Wikan dalam keterangan resminya mengatakan, insentif tersebut akan mengundang minat baca masyarakat semakin tinggi terhadap media cetak. Pada gilirannya budaya membaca yang kuat akan berkontribusi terhadap pencerdasan bangsa.

"Ada sisi intangible advantage yang luput dari perhitungan Menkeu jika menolak kampanye 'No Tax for Knowledge' penerbit media cetak," tuturnya, Selasa (13/8/2019).

Dia menegaskan, sebagai bagian dari media arus utama, kontribusi penerbit pers cetak terhadap informasi yang utuh juga sangat kuat. Dalam berbagai kesempatan, pemerintah pun mengakui peran penting pers cetak dalam mendukung kampanye besar anti hoax.

"Pada akhirnya, ini soal keberpihakan. Barangkali Menkeu tidak melihat pentingnya memberi keberpihakan pada industri yang tiap tahun menyumbang pajak ke negara puluhan bahkan mungkin ratusan miliar. Itulah industri pers cetak di Tanah Air," pungkas Asmono.
(fjo)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3514 seconds (0.1#10.140)