Pertumbuhan Hanya 5%, PDIP Ingin Tim Ekonomi Dirombak
A
A
A
JAKARTA - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menilai pertumbuhan ekonomi yang berkutat di 5% selama era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, cukup memalukan. Karena itu, dalam menyusun kabinet mendatang, PDIP meminta Jokowi merombak tim ekonomi agar pertumbuhan ekonomi nasional bisa tumbuh hingga 7%.
Politikus senior PDIP, Effendi Simbolon, mengatakan dalam menyusun kabinet mendatang, jangan terjebak dalam dikotomi menteri dari profesional atau parpol, menteri usia muda (milenial) atau usia tua.
"Yang harus dibahas itu, bagaimana menciptakan pertumbuhan ekonomi 7%, menciptakan lapangan pekerjaan, bagaimana kriminalisasi turun, bagaimana menghilangkan narkoba, meningkatkan pendidikan agar memiliki standar internasional. Supaya berdaya saing. Lihat Filipina, tenaga kerjanya dihargai lebih tinggi," ujarnya dalam diskusi Dialektika Demokrasi dengan tema "Tebak-tebakan Isi Kabinet Jokowi, Parpol Nonparlemen Dilibatkan?" di Media Center Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (15/8/2019).
Anggota Komisi I DPR ini menambahkan, di era Jokowi ini, ketergantungan Indonesia terhadap pinjaman luar negeri sudah luar biasa. Padahal, seharusnya negeri ini bergantung pada obligasi rakyat yang bisa digali dari rakyat sendiri.
"Maksud saya yang (harus) dikoreksi itu justru ekonomi kita. Pertumbuhan ekonomi yang hanya 5%, padahal biaya yang kita itu luar biasa. Berapa ribu triliun rupiah kita harus utang? Berapa banyak tax holiday yang kita hambur-hamburkan? Berapa banyak yang kemudian dihambur-hamburkan para koruptor? Berapa banyak kita bertransasksi dengan memberikan kemudahan-kemudahan terhadap para investor. Tapi pertumbuhan hanya 5%? Saya kira itu bukan hanya memalukan, ini memprihatinkan," tuturnya.
Effendi menegaskan, pernyataannya itu bukan untuk mengkritik Jokowi, namun apa yang disampaikan adalah kenyataan yang ada saat ini. "Pak (Jokowi), ini kenyataan pak. Bukan bapak saja yang susah, kita semua susah. Bisnis habis, enggak jalan pak, orang lesu," katanya.
Karena itu, menurut Effendi, ekonomi yang menjadi persoalan mendasar masyarakat harus mendapatkan prioritas pembenahan. Sebab, persoalan ekonomi menyangkut hajat hidup banyak orang.
Menurutnya, hal yang tidak kalah penting adalah bagaimana memperbaiki sumber daya manusia (SDM) seperti yang dicita-citakan Jokowi di periode kedua mendatang. Namun, semua itu harus dimulai dari peningakatan taraf hidup.
"Tanpa itu pak, mohon maaf pak, kalau masih bapak mempertahankan Sri Mulyani (Menteri Keuangan), mempertahankan Rini Soemarno (Menteri BUMN), sudah ke laut aja lah. Mana bisa bergerak ekonomi, semua didominasi oleh BUMN," katanya.
Effendi membongkar praktik monopoli tender proyek infrastruktur yang mayoritas dimenangkan BUMN. Ironisnya, BUMN selaku pemenang tender kemudian disubproyekkan kepada pihak ketiga atau keempat.
"Mana ada sistem politik seperti itu? Presiden enggak tahu? Enggak mungkin lah, bohong lah. Sistem apa begitu? Seluruh infrastruktur proyek semua dimenangkan oleh BUMN? Kemudian BUMN mengerjakan? Tidak, BUMN mentenderkan lagi. Kenapa enggak langsung saja ke pihak ketiga, keempat, kelima, biar mereka bidding, mereka kompetisi, baru bergerak uang APBN itu sampai ke down stream. Ini enggak, BUMN semua coba. Direksi BUMN semua sugih. Enggak ada yang enggak kaya," katanya.
Effendi pun mengapresiasi keterbukaan sikap Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh yang menyebut Indonesia merupakan negara yang telah menganut sistem kapitalis liberal. Namun, Indonesia malu untuk mengakuinya.
Menurut Surya Paloh, dalam diskusi bertajuk Tantangan Bangsa Indonesia Kini dan Masa Depan di Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat, Rabu (14/8), Indonesia selalu mendeklarasikan diri sebagai negara Pancasila lantaran malu-malu kucing untuk mengakui bahwa sistem yang dianut sesungguhnya adalah kapitalis liberal.
"Kita ini malu-malu kucing untuk mendeklarasikan Indonesia hari ini adalah negara kapitalis yang liberal, itulah Indonesia hari ini," kata Surya Paloh.
Effendi mengatakan pernyataan Surya Paloh adalah hal menarik. Apalagi berbicara di Universitas Indonesia, yang memiliki bobot nilai tinggi. Karena itu, pemerintah harus setia pada Nawacita bukan pemerintahan dengan sistem kapitalis liberal yang terjadi selama ini.
Politikus senior PDIP, Effendi Simbolon, mengatakan dalam menyusun kabinet mendatang, jangan terjebak dalam dikotomi menteri dari profesional atau parpol, menteri usia muda (milenial) atau usia tua.
"Yang harus dibahas itu, bagaimana menciptakan pertumbuhan ekonomi 7%, menciptakan lapangan pekerjaan, bagaimana kriminalisasi turun, bagaimana menghilangkan narkoba, meningkatkan pendidikan agar memiliki standar internasional. Supaya berdaya saing. Lihat Filipina, tenaga kerjanya dihargai lebih tinggi," ujarnya dalam diskusi Dialektika Demokrasi dengan tema "Tebak-tebakan Isi Kabinet Jokowi, Parpol Nonparlemen Dilibatkan?" di Media Center Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (15/8/2019).
Anggota Komisi I DPR ini menambahkan, di era Jokowi ini, ketergantungan Indonesia terhadap pinjaman luar negeri sudah luar biasa. Padahal, seharusnya negeri ini bergantung pada obligasi rakyat yang bisa digali dari rakyat sendiri.
"Maksud saya yang (harus) dikoreksi itu justru ekonomi kita. Pertumbuhan ekonomi yang hanya 5%, padahal biaya yang kita itu luar biasa. Berapa ribu triliun rupiah kita harus utang? Berapa banyak tax holiday yang kita hambur-hamburkan? Berapa banyak yang kemudian dihambur-hamburkan para koruptor? Berapa banyak kita bertransasksi dengan memberikan kemudahan-kemudahan terhadap para investor. Tapi pertumbuhan hanya 5%? Saya kira itu bukan hanya memalukan, ini memprihatinkan," tuturnya.
Effendi menegaskan, pernyataannya itu bukan untuk mengkritik Jokowi, namun apa yang disampaikan adalah kenyataan yang ada saat ini. "Pak (Jokowi), ini kenyataan pak. Bukan bapak saja yang susah, kita semua susah. Bisnis habis, enggak jalan pak, orang lesu," katanya.
Karena itu, menurut Effendi, ekonomi yang menjadi persoalan mendasar masyarakat harus mendapatkan prioritas pembenahan. Sebab, persoalan ekonomi menyangkut hajat hidup banyak orang.
Menurutnya, hal yang tidak kalah penting adalah bagaimana memperbaiki sumber daya manusia (SDM) seperti yang dicita-citakan Jokowi di periode kedua mendatang. Namun, semua itu harus dimulai dari peningakatan taraf hidup.
"Tanpa itu pak, mohon maaf pak, kalau masih bapak mempertahankan Sri Mulyani (Menteri Keuangan), mempertahankan Rini Soemarno (Menteri BUMN), sudah ke laut aja lah. Mana bisa bergerak ekonomi, semua didominasi oleh BUMN," katanya.
Effendi membongkar praktik monopoli tender proyek infrastruktur yang mayoritas dimenangkan BUMN. Ironisnya, BUMN selaku pemenang tender kemudian disubproyekkan kepada pihak ketiga atau keempat.
"Mana ada sistem politik seperti itu? Presiden enggak tahu? Enggak mungkin lah, bohong lah. Sistem apa begitu? Seluruh infrastruktur proyek semua dimenangkan oleh BUMN? Kemudian BUMN mengerjakan? Tidak, BUMN mentenderkan lagi. Kenapa enggak langsung saja ke pihak ketiga, keempat, kelima, biar mereka bidding, mereka kompetisi, baru bergerak uang APBN itu sampai ke down stream. Ini enggak, BUMN semua coba. Direksi BUMN semua sugih. Enggak ada yang enggak kaya," katanya.
Effendi pun mengapresiasi keterbukaan sikap Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh yang menyebut Indonesia merupakan negara yang telah menganut sistem kapitalis liberal. Namun, Indonesia malu untuk mengakuinya.
Menurut Surya Paloh, dalam diskusi bertajuk Tantangan Bangsa Indonesia Kini dan Masa Depan di Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat, Rabu (14/8), Indonesia selalu mendeklarasikan diri sebagai negara Pancasila lantaran malu-malu kucing untuk mengakui bahwa sistem yang dianut sesungguhnya adalah kapitalis liberal.
"Kita ini malu-malu kucing untuk mendeklarasikan Indonesia hari ini adalah negara kapitalis yang liberal, itulah Indonesia hari ini," kata Surya Paloh.
Effendi mengatakan pernyataan Surya Paloh adalah hal menarik. Apalagi berbicara di Universitas Indonesia, yang memiliki bobot nilai tinggi. Karena itu, pemerintah harus setia pada Nawacita bukan pemerintahan dengan sistem kapitalis liberal yang terjadi selama ini.
(ven)