Emil Salim: Pemindahan Ibukota Bentuk Pelarian Tanggung Jawab

Jum'at, 23 Agustus 2019 - 19:00 WIB
Emil Salim: Pemindahan Ibukota Bentuk Pelarian Tanggung Jawab
Emil Salim: Pemindahan Ibukota Bentuk Pelarian Tanggung Jawab
A A A
JAKARTA - Wacana pemindahan ibukota semakin menguat. Bahkan pemerintah menyebut wilayah di Kalimantan Timur akan menjadi ibukota baru negara. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengatakan pemindahan ibukota agar tidak Jawa Sentris.

Data Bappenas menyatakan 57% penduduk Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa. Selain itu, pertumbuhan ekonomi di Jawa, 5,6% lebih tinggi dari daerah lain. Untuk mempersempit ketimpangan, selain masalah rawan gempa, banjir, dan kemacetan, pemerintah ingin memindahkan ibukota.

Namun, wacana ini mendapat kritik tajam dari ekonom senior yang mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup, Emil Salim. Ia menilai pemerintah seharusnya tidak lari dari tanggung jawab dengan pindah ibukota, melainkan membenahi Jakarta.

"Justru karena tantangan di Jakarta itu lah perlu ditangani, dengan pengembangan sosial dan technical engineering. Apakah dengan pindah ibukota menyelesaikan masalah-masalah tersebut? Ini bentuk pelarian tanggung jawab," tandas Emil Salim di Jakarta, Jumat (23/8/2019).

Mengenai lokasi Kalimantan yang berada di tengah-tengah Indonesia, Emil mengatakan yang menjadi permasalahan era sekarang bukanlah fisiknya, melainkan bagaimana mengimplementasikan regulasi dan aspek non-fisik, sehingga bisa mengoptimalkan potensi di Indonesia.

"Kita ada di abad ke-21, yang menentukan kemajuan Indonesia itu bukan fisik tapi keampuhan sarana transportasi dan kualitas dari sumber daya manusia," tegas Emil yang juga Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia.

Selain itu, Emil juga mempertanyakan dana besar untuk pemindahan ibukota yang disebut-sebut mencapai Rp466 triliun, berkorelasi dengan pemerataan ekonomi. "Diperlukan dana Rp466 triliun untuk pemindahan ibukota, tapi apakah benar-benar urgent pemindahannya? Apakah ini bisa menjamin pemerataan di pulau lain?," tegas Emil.

Emil menerangkan kesuksesan pemindahan ibukota di negara lain tidak bisa serta merta dijadikan rujukan untuk Indonesia. Ia mencontohkan 30 negara yang berhasil memindahkan ibukota secara fisik, seperti Brasilia oleh Brasil, Putrajaya Malaysia, Sejong oleh Korea Selatan, Astana di Kazakhstan, dan Canberra oleh Australia.

Tetapi, sambung Emil, negara-negara tersebut adalah negara non-kepulauan. Sementara Indonesia adalah negara kepulauan yang menjadi lalu lintas maritim di dunia "Jadi ini berbeda."

Karena itu, cermat Emil, ketimbang memindahkan ibukota, sebaiknya pemerintah mengutamakan hal lain yang lebih penting: pembangunan sumber daya manusia. Anggaran SDM setidaknya 36% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Pasalnya, kualitas SDM Indonesia masih berada di bawah Vietnam.

"Daripada kita pindah ibukota, kita tingkatkan kualitas SDM kita agar memadai. Terutama ketrampilan dan pengetahuan dalam menghadapi Industri 4.0, pendidikan kita masih banyak tertinggal," terangnya.

Ia pun memberi pilihan kepada pemerintah, "jadi mana yang lebih penting untuk menutup kesenjangan perekonomian, pembangunan SDM atau pindah ibukota?". Jika pembangunan dijalankan secara rasional maka pada tahun 2043, Indonesia bisa keluar dari jebakan negara kelas menengah alias middle income trap.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5211 seconds (0.1#10.140)