Globalisasi Reda, BI Siapkan Tiga Hal Merespon Penguatan Digital
A
A
A
JAKARTA - Para pengambil kebijakan termasuk bank sentral perlu memahami perubahan-perubahan pemikiran ekonomi dalam menghadapi digitalisasi ekonomi ke depan. Untuk itu, diperlukan respons kebijakan secara tepat dalam menghadapi tantangan tersebut.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, bank sentral perlu merespons era baru, khususnya sejak krisis keuangan global yang ditandai oleh meredanya globalisasi dan munculnya era digitalisasi.
Menurut dia, ada empat ciri yang menunjukkan meredanya globalisasi menuju meningkatnya digitalisasi. Pertama, banyaknya negara yang mengandalkan internal dalam merespons ketegangan perdagangan internasional.
Ini ditandai dengan terus berlangsungnya ketegangan perdagangan, seperti perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan China, perang dagang AS dengan Uni Eropa, dan beberapa negara lain.
"Ini sesuatu yang perlu kita sikapi bahwa ketegangan perdagangan tidak baik bagi dua negara yang terlibat maupun global," ujarnya pada pembukaan 13th International Conference and Call for Papers Bulletin of Monetary Economics and Banking (BMEB) di Badung, Bali, Kamis (29/8/2019).
Kedua, arus modal antar negara dan nilai tukar yang semakin bergejolak. Ketiga, respons kebijakan bank sentral tidak dapat mengandalkan suku bunga.
Mandat bank sentral di beberapa negara tidak hanya menjaga inflasi tapi juga stabilitas sistem keuangan, sehingga kebijakan makroprudensial menjadi penting.
"Terlihat di sejumlah negara maju, suku bunga sudah hampir nol persen tapi kurang mampu menjaga kestabilan harga dan mendorong pertumbuhan. Sehingga di beberapa negara maju melakukan kebijakan kuantitatif uang beredar," papar Perry.
Keempat, semakin maraknya digitalisasi di bidang ekonomi maupun keuangan.
"Munculnya digitalisasi khususnya keuangan, jasa keuangan seperti mobilisasi dana, pembiayaan ekonomi, sistem pembayaran, banyak dilakukan oleh fintech. Hal ini perlu direspon oleh pengambil kebijakan termasuk bank sentral," jelas Perry.
Dalam merespons hal tersebut, ada tiga hal yang menjadi perhatian bank sentral dan pengambil kebijakan. Pertama, para pengambil kebijakan perlu menerapkan bauran kebijakan bank sentral (policy mix).
Kedua, perlunya memperkuat sinergi dan koordinasi antar pemangku kebijakan dengan meningkatkan transparansi dan komunikasi.
Ketiga, perlunya memanfaatkan era digitalisasi untuk menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Perry melanjutkan, salah satu respon kebijakan BI adalah menyusun visi sistem pembayaran Indonesia 2025 untuk mengintegrasikan ekonomi dengan keuangan digital.
"Kami mendorong perbankan untuk mengembangkan digitalisasi dan bagaimana fintech tetap interlink dengan digitalisasi perbankan. Ini agar tidak terjadi shadow banking," tuturnya.
Di samping itu juga mendorong inovasi di sektor riil baik di start-up fintech maupun perbankan. Hal ini perlu diseimbangkan antara inovasi dengan perlindungan konsumen.
Kepala Institut BI Solikin M. Juhro mengatakan, ancaman shadow banking di Indonesia masih belum sebesar negara lain seperti China yang memiliki perkembangan fintech sangat pesat.
Meski begitu, perbankan harus gencar melakukan digitalisasi untuk mengantisipasi hal tersebut.
"Perbankan harus digitalisasi. Mengintegrasikan fintech dengan perbankan supaya tidak ada fintech liar, tetapi dia dioperasikan berdasarkan praktik perbankan yang terdigitalisasi," tuturnya.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, bank sentral perlu merespons era baru, khususnya sejak krisis keuangan global yang ditandai oleh meredanya globalisasi dan munculnya era digitalisasi.
Menurut dia, ada empat ciri yang menunjukkan meredanya globalisasi menuju meningkatnya digitalisasi. Pertama, banyaknya negara yang mengandalkan internal dalam merespons ketegangan perdagangan internasional.
Ini ditandai dengan terus berlangsungnya ketegangan perdagangan, seperti perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan China, perang dagang AS dengan Uni Eropa, dan beberapa negara lain.
"Ini sesuatu yang perlu kita sikapi bahwa ketegangan perdagangan tidak baik bagi dua negara yang terlibat maupun global," ujarnya pada pembukaan 13th International Conference and Call for Papers Bulletin of Monetary Economics and Banking (BMEB) di Badung, Bali, Kamis (29/8/2019).
Kedua, arus modal antar negara dan nilai tukar yang semakin bergejolak. Ketiga, respons kebijakan bank sentral tidak dapat mengandalkan suku bunga.
Mandat bank sentral di beberapa negara tidak hanya menjaga inflasi tapi juga stabilitas sistem keuangan, sehingga kebijakan makroprudensial menjadi penting.
"Terlihat di sejumlah negara maju, suku bunga sudah hampir nol persen tapi kurang mampu menjaga kestabilan harga dan mendorong pertumbuhan. Sehingga di beberapa negara maju melakukan kebijakan kuantitatif uang beredar," papar Perry.
Keempat, semakin maraknya digitalisasi di bidang ekonomi maupun keuangan.
"Munculnya digitalisasi khususnya keuangan, jasa keuangan seperti mobilisasi dana, pembiayaan ekonomi, sistem pembayaran, banyak dilakukan oleh fintech. Hal ini perlu direspon oleh pengambil kebijakan termasuk bank sentral," jelas Perry.
Dalam merespons hal tersebut, ada tiga hal yang menjadi perhatian bank sentral dan pengambil kebijakan. Pertama, para pengambil kebijakan perlu menerapkan bauran kebijakan bank sentral (policy mix).
Kedua, perlunya memperkuat sinergi dan koordinasi antar pemangku kebijakan dengan meningkatkan transparansi dan komunikasi.
Ketiga, perlunya memanfaatkan era digitalisasi untuk menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Perry melanjutkan, salah satu respon kebijakan BI adalah menyusun visi sistem pembayaran Indonesia 2025 untuk mengintegrasikan ekonomi dengan keuangan digital.
"Kami mendorong perbankan untuk mengembangkan digitalisasi dan bagaimana fintech tetap interlink dengan digitalisasi perbankan. Ini agar tidak terjadi shadow banking," tuturnya.
Di samping itu juga mendorong inovasi di sektor riil baik di start-up fintech maupun perbankan. Hal ini perlu diseimbangkan antara inovasi dengan perlindungan konsumen.
Kepala Institut BI Solikin M. Juhro mengatakan, ancaman shadow banking di Indonesia masih belum sebesar negara lain seperti China yang memiliki perkembangan fintech sangat pesat.
Meski begitu, perbankan harus gencar melakukan digitalisasi untuk mengantisipasi hal tersebut.
"Perbankan harus digitalisasi. Mengintegrasikan fintech dengan perbankan supaya tidak ada fintech liar, tetapi dia dioperasikan berdasarkan praktik perbankan yang terdigitalisasi," tuturnya.
(ind)