BCK: Risiko Biaya Penundaan Proyek Adalah Tanggung Jawab HIL

Jum'at, 27 September 2019 - 15:12 WIB
BCK: Risiko Biaya Penundaan Proyek Adalah Tanggung Jawab HIL
BCK: Risiko Biaya Penundaan Proyek Adalah Tanggung Jawab HIL
A A A
JAKARTA - Sidang perdana gugatan pailit terhadap PT Bangun Cipta Kontraktor (BCK) yang diajukan oleh H Infrastructure Limited (HIL) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang sekiranya digelar pada Kamis (26/9) kembali tertunda. Penundaan tersebut lantaran terdapat miss administration. Panitera PN Jakpus pun kembali menjadwalkan pelaksanaan sidang pada Kamis pekan depan.

Kuasa hukum BCK, Yanuar Aditya dari AKHH Lawyers, mengatakan pihaknya tidak keberatan dengan penundaan tersebut meskipun sebenarnya kedua pihak yang berpekara telah hadir di pengadilan. Menurutnya, gugatan yang diajukan HIL tersebut sebenarnya juga mengada-ngada. Sebab BCK merupakan perusahaan yang sehat secara keuangan dan tengah menangani sejumlah proyek infrastruktur nasional.

Salah satu bukti BCK perusahaan sehat adalah dengan telah membayar kewajiban-kewajiban BCK kepada para vendor yang memiliki tagihan yang sah berkaitan dengan proyek Karaha. "Justru HIL yang sampai saat ini belum membayar tagihan dari vendor-vendor tersebut. Sedangkan kami telah menyelesaikan sesuai porsi kami," ujar Yanuar, Jumat (27/9/2019).

Justru, lanjut Yanuar, dengan mengajukan gugatan ini, HIL seolah ingin membebankan kewajiban-kewajibannya itu kepada BCK. Seperti diketahui, dalam proyek Karaha, kedua perusahaan ini melakukan Joint Operation (JO). Dimana HIL melalui Representative Office (HIL RO) memegang porsi 70%, sedangkan BCK 30% untuk pengerjaan "onshore project" dari proyek panas bumi Karaha, di Jawa Barat.

"Pengerjaan proyek Karaha mengalami kerugian dan keterlambatan karena ketidak mampuan HIL membuat desain yang tepat dan konsisten dengan desain awal" kata Yanuar. Desain adalah lingkup dari "offshore project", dan itu sepenuhnya tanggung jawab HIL. "Sesuai ketentuan Purchase Order dari Alstom, segala perubahan yang menimbulkan resiko biaya termasuk yang terjadi akibat penundaan proyek dan perubahan akibat desain adalah tanggung jawab HIL," tambahnya.

Tanpa kepastian desain yang diminta oleh BCK, HIL RO selaku leader yang seharusnya mengajukan klaim terlebih dahulu ke HIL dan membuat addendum kontrak, memaksakan melaksanakan pekerjaan berdasarkan desain baru yang belum lengkap. Yang akhirnya dalam perjalanannya mengalami banyak perubahan dan mengakibatkan membengkaknya biaya.

Pembengkakan biaya ini seharusnya menjadi tanggung jawab HIL, namun para vendor sudah terlanjur mengerjakan, menagih pembayaran. BCK sebagai perusahaan nasional yang bertanggung jawab pun membayar kepada para vendor sesuai porsinya yaitu 30%, meskipun seharusnya hal ini diklaim kepada HIL. Pembayaran 30% kepada para vendor tersebut merupakan inisiatif BCK sebagai tanggung jawab moral dan komitmen bagi para vendor yang telah membantu JO.

Tetapi saat ini yang terjadi adalah BCK justru digugat oleh perusahaan asal Selandia Baru tersebut. Oleh karenanya, Yanuar meminta semua pihak melihat masalah ini secara keseluruhan.

"Kami juga tidak ingin HIL melimpahkan kewajibannya kepada kami. Sebab nanti bisa menjadi preseden buruk bagi dunia usaha, perusahaan asing lepas tanggung jawab dari kewajibannya. Dan mereka juga harus profesional terhadap proyek yang diperoleh," tegas Yanuar.

Sejatinya ini bukan pertama kali HIL mengajukan gugatan terhadap BCK. Pada 2017 lalu, HIL juga mengajukan gugatan kepada BCK di Forum Arbitrase Singapore International Arbitration Center (SIAC). Namun perkara bernomor 401 tahun 2017 tersebut digugurkan oleh SIAC karena HIL tidak membayar biaya arbitrase meskipun telah ditagih hingga 11 kali.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4687 seconds (0.1#10.140)