Kembangkan Produk Herbal Baru, Phapros Siap Jadi Pemain Utama di Fitofarmaka
A
A
A
JAKARTA - PT Phapros Tbk yang merupakan anak usaha dari PT Kimia Farma (Persero) terus berupaya menambah portofolio produknya guna memenuhi kebutuhan masyarakat. Salah satunya melalui produk-produk herbal terbaru, dimana tengah menjadi tren masyarakat saat ini.
“Apalagi produk herbal dikenal dengan khasiatnya, yang tak kalah dengan obat-obatan kimia,” ujar Direktur Utama PT Phapros Tbk Barokah Sri Utami di Jakarta.
Produk herbal yang dikembangkan oleh Phapros adalah produk herbal antikolesterol dan antidiabetes. Produk herbal ini dipilih karena mempunyai pangsa pasar yang cukup besar dan mampu tumbuh hingga 5% dalam kurun waktu sepuluh tahun ke depan.
“Kategorisasi produk herbal di Indonesia sendiri terbagi menjadi tiga, yakni jamu, obat herbal terstandar, dan yang tertinggi dan telah lulus uji klinis adalah fitofarmaka. Saat ini dua dari tujuh produk fitofarmaka di Indonesia dimiliki oleh Phapros yakni Tensigard dan X-Gra, dan kami berharap produk herbal kami yang lain ke depannya akan menambah jumlah fitofarmaka di Indonesia,” ujar perempuan yang akrab disapa Emmy ini.
Emmy melanjutkan, butuh waktu lama dan biaya yang tak sedikit bagi perusahaan farmasi untuk mengembangkan produk fitofarmaka. Pasalnya, penelitian fitofarmaka harus melewati penelitian yang panjang dan teruji secara klinis dari sisi keamanan dan khasiat, “Termasuk membandingkan khasiatnya dengan obat kimia agar diketahui profil terapinya yang tepat bagi pasien,” tuturnya.
Inilah alasannya jumlah produk fitofarmaka sangat sedikit di Indonesia, “Padahal fitofarmaka lebih unggul dari sisi keamanan dibanding obat kimia karena menggunakan bahan baku alam dan telah teruji secara empiris penggunaannya secara turun temurun,” tambah Emmy.
Untuk mendorong percepatan pengembangan industri fitofarmaka di Indonesia, Emmy menilai dukungan pemerintah sudah sangat baik, terlebih saat ini sudah ada Formularium Obat Herbal dan pembentukan Satuan Tugas Nasional (Satgas) Percepatan Pengembangan dan Pemanfaatan Jamu dan Fitofarmaka yang diinisiasi BPOM RI yang terdiri dari lintas sektor terkait.
Pembentukan Satgas ini merupakan salah satu upaya perwujudan kebijakan hilirisasi untuk mendukung akses dan ketersediaan obat nasional dan pada saatnya akan berperan dalam Jaminan Kesehatan Nasional.
“Pemerintah melalui BPOM RI saat ini juga terus melakukan pendampingan penelitian, percepatan evaluasi dokumen penelitian, uji prakilnik dan klinik, workshop, bimbingan teknis, serta konsultasi dan advokasi sebagai upaya untuk mendorong pengembangan industri obat berbahan herbal termasuk di dalamnya ada jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka,” tutup Emmy.
“Apalagi produk herbal dikenal dengan khasiatnya, yang tak kalah dengan obat-obatan kimia,” ujar Direktur Utama PT Phapros Tbk Barokah Sri Utami di Jakarta.
Produk herbal yang dikembangkan oleh Phapros adalah produk herbal antikolesterol dan antidiabetes. Produk herbal ini dipilih karena mempunyai pangsa pasar yang cukup besar dan mampu tumbuh hingga 5% dalam kurun waktu sepuluh tahun ke depan.
“Kategorisasi produk herbal di Indonesia sendiri terbagi menjadi tiga, yakni jamu, obat herbal terstandar, dan yang tertinggi dan telah lulus uji klinis adalah fitofarmaka. Saat ini dua dari tujuh produk fitofarmaka di Indonesia dimiliki oleh Phapros yakni Tensigard dan X-Gra, dan kami berharap produk herbal kami yang lain ke depannya akan menambah jumlah fitofarmaka di Indonesia,” ujar perempuan yang akrab disapa Emmy ini.
Emmy melanjutkan, butuh waktu lama dan biaya yang tak sedikit bagi perusahaan farmasi untuk mengembangkan produk fitofarmaka. Pasalnya, penelitian fitofarmaka harus melewati penelitian yang panjang dan teruji secara klinis dari sisi keamanan dan khasiat, “Termasuk membandingkan khasiatnya dengan obat kimia agar diketahui profil terapinya yang tepat bagi pasien,” tuturnya.
Inilah alasannya jumlah produk fitofarmaka sangat sedikit di Indonesia, “Padahal fitofarmaka lebih unggul dari sisi keamanan dibanding obat kimia karena menggunakan bahan baku alam dan telah teruji secara empiris penggunaannya secara turun temurun,” tambah Emmy.
Untuk mendorong percepatan pengembangan industri fitofarmaka di Indonesia, Emmy menilai dukungan pemerintah sudah sangat baik, terlebih saat ini sudah ada Formularium Obat Herbal dan pembentukan Satuan Tugas Nasional (Satgas) Percepatan Pengembangan dan Pemanfaatan Jamu dan Fitofarmaka yang diinisiasi BPOM RI yang terdiri dari lintas sektor terkait.
Pembentukan Satgas ini merupakan salah satu upaya perwujudan kebijakan hilirisasi untuk mendukung akses dan ketersediaan obat nasional dan pada saatnya akan berperan dalam Jaminan Kesehatan Nasional.
“Pemerintah melalui BPOM RI saat ini juga terus melakukan pendampingan penelitian, percepatan evaluasi dokumen penelitian, uji prakilnik dan klinik, workshop, bimbingan teknis, serta konsultasi dan advokasi sebagai upaya untuk mendorong pengembangan industri obat berbahan herbal termasuk di dalamnya ada jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka,” tutup Emmy.
(akr)