Google, Brand Terkuat yang Lahir dari Salah Ketik
A
A
A
NEW YORK - Google merupakan brand terkuat dan terpopuler di dunia. Itu menjadi brand yang paling sukses sepanjang sejarah. Itu juga sudah dianggap sebagai kata kerja. Ternyata, nama brand tersebut lahir karena pengetikan yang salah. Perusahaan mesin pencari terbesar di dunia itu lahir dari sebuah forum diskusi brainstorming di Universitas Stanford. Di sanalah Google lahir.
Tepat pada 1997, Larry Page dan Sean Anderson duduk di sebuah meja untuk berdiskusi tentang penamaan situs indeks data besar dengan mahasiswa lainnya. Saat itu, Anderson mengusulkan nama “googolplex”, salah satu angka dengan kuantitas terbesar. Page menyingkatnya menjadi “googol”.
Namun, ketika Anderson mengecek ketersediaan untuk domain tersebut, dia membuat kesalahan saat mengetik dengan menulis “google”. Hingga akhirnya, Page mendaftarkan nama situs tersebut untuk dirinya dan Sergey Brin. Domain itu terdaftar pada 15 September 1997.
Jika Google justru dari kesalahan ketik, brand terkemuka seperti Rolex justru muncul dari cerita yang terkesan mistik. Rolex menjadi jam tangan paling populer dan mewah. Pendiri Rolex Hans Wilsdorf menginginkan sebuah nama brand yang bisa diterima semua bahasa. Dia juga menginginkan nama brand yang ditulis dengan huruf kapital.
“Saya mencoba mengombinasikan huruf dalam segala sisi kemungkinan,” kata Wilsdorf, dilansir Rolex dan dikutip Business Insider. “Itu memberikan ratusan nama, tetapi tidak ada yang cocok. Hingga suatu pagi saat duduk di kereta kuda di London, ada jin berbisik ke telinga saya, ‘Rolex’,” ujarnya.
Sebuah esai yang ditulis di situs Stern Business School Universitas New York mengklaim Wilsdorf berpikir kalau “Rolex” terlihat sebagai onomatopoeia atau pembentukan kata yang meniru suara. Namun, Rolex memang tidak memiliki arti apa pun. Wildsorf juga mengklaim tidak ada bukti apa pun ketika banyak orang mengatakan Rolex sebagai ilmu tentang jam yang paling keren.
Rolex juga merupakan brand yang awalnya memang dari Inggris dan tumbuh di London pada 1908. Namun, Wilsdorf memilih pindah ke Jenewa, Swiss, pada 1919. Dalam pandangan influencer di LinkedIn, Ilya Pozin, nama brand yang karen adalah memiliki kesan dan penilaian yang menarik dalam jangka waktu yang cepat.
Seperti penelitian Universitas Harvard bahwa penilaian singkat itu terjadi dalam tiga hingga empat detik ketika bertemu dengan seseorang. "Ketika seseorang mengatakan halo, orang sudah memiliki keputusan tentang kawan atau musuh," kata Pozin, dilansir enterpreneur.com.
Hal menarik lainnya, penelitian yang dilaksanakan Society of Personal and Social Psychology, Inc menyebutkan pelanggan atau investor memiliki pengaruh dengan kelancaran pelafalan dengan nama brand. "Hasil penelitian terhadap 700 nama perusahaan antara 1990–2004 menunjukkan 11% nama saham perusahaan memiliki tingkat kesulitan yang tinggi," demikian kesimpulan penelitian tersebut.
Hal senada diungkapkan peneliti psikologi dari Universitas Michigan. Mereka menyatakan kelancaran dalam pelafalan sebuah brand memberikan kesan tertentu. "Ketika nama brand dilafalkannya sulit, itu memberikan kesan tidak familier dan berbahaya," ujar mereka. Penilaian tersebut memang benar. Seperti brand Zara yang didirikan Amancio Ortega.
Dia memberi nama perusahaannya seperti film pada 1964 "Zorba the Greek". Dirasa terlalu panjang, Ortega pun memikirkan nama lain. Ortega memilih menyusun ulang nama tersebut hingga terpilih Zara. Itu juga terpengaruh dengan toko pertama yang dibuka di La Coruna pada 1975 dan berjarak dua blok dari sebuah bar yang disebut dengan Zorba.
Kemudian, pendiri Starbucks Gordon Bowker menyusun kata-kata dengan awalan "ST" karena menganggapnya memiliki pesan yang kuat. Seseorang mengatakan ada kota tambang di Cascades dan Gunung Rainier bernama Starbo. Bowker memutuskan nama Starbucks. Masih berkaitan dengan nama brand, IKEA bukan kata yang berasal dari Swedia.
Pendiri IKEA Ingvar Kamprad memilih nama itu dari huruf depan namanya, IK dan digabungkan dengan huruf depan kota di mana dia tumbuh besar, Elmtaryd dan Agunnaryd. Sementara Rauben Mattus, imigran asal Polandia, menamakan perusahaan es krimnya Haagen-Dazs sebagai bentuk penghormatan untuk Denmark. Dia mengungkapkan, Denmark sebagai negara yang menyelamatkan orang Yahudi selama Perang Dunia II.
Tepat pada 1997, Larry Page dan Sean Anderson duduk di sebuah meja untuk berdiskusi tentang penamaan situs indeks data besar dengan mahasiswa lainnya. Saat itu, Anderson mengusulkan nama “googolplex”, salah satu angka dengan kuantitas terbesar. Page menyingkatnya menjadi “googol”.
Namun, ketika Anderson mengecek ketersediaan untuk domain tersebut, dia membuat kesalahan saat mengetik dengan menulis “google”. Hingga akhirnya, Page mendaftarkan nama situs tersebut untuk dirinya dan Sergey Brin. Domain itu terdaftar pada 15 September 1997.
Jika Google justru dari kesalahan ketik, brand terkemuka seperti Rolex justru muncul dari cerita yang terkesan mistik. Rolex menjadi jam tangan paling populer dan mewah. Pendiri Rolex Hans Wilsdorf menginginkan sebuah nama brand yang bisa diterima semua bahasa. Dia juga menginginkan nama brand yang ditulis dengan huruf kapital.
“Saya mencoba mengombinasikan huruf dalam segala sisi kemungkinan,” kata Wilsdorf, dilansir Rolex dan dikutip Business Insider. “Itu memberikan ratusan nama, tetapi tidak ada yang cocok. Hingga suatu pagi saat duduk di kereta kuda di London, ada jin berbisik ke telinga saya, ‘Rolex’,” ujarnya.
Sebuah esai yang ditulis di situs Stern Business School Universitas New York mengklaim Wilsdorf berpikir kalau “Rolex” terlihat sebagai onomatopoeia atau pembentukan kata yang meniru suara. Namun, Rolex memang tidak memiliki arti apa pun. Wildsorf juga mengklaim tidak ada bukti apa pun ketika banyak orang mengatakan Rolex sebagai ilmu tentang jam yang paling keren.
Rolex juga merupakan brand yang awalnya memang dari Inggris dan tumbuh di London pada 1908. Namun, Wilsdorf memilih pindah ke Jenewa, Swiss, pada 1919. Dalam pandangan influencer di LinkedIn, Ilya Pozin, nama brand yang karen adalah memiliki kesan dan penilaian yang menarik dalam jangka waktu yang cepat.
Seperti penelitian Universitas Harvard bahwa penilaian singkat itu terjadi dalam tiga hingga empat detik ketika bertemu dengan seseorang. "Ketika seseorang mengatakan halo, orang sudah memiliki keputusan tentang kawan atau musuh," kata Pozin, dilansir enterpreneur.com.
Hal menarik lainnya, penelitian yang dilaksanakan Society of Personal and Social Psychology, Inc menyebutkan pelanggan atau investor memiliki pengaruh dengan kelancaran pelafalan dengan nama brand. "Hasil penelitian terhadap 700 nama perusahaan antara 1990–2004 menunjukkan 11% nama saham perusahaan memiliki tingkat kesulitan yang tinggi," demikian kesimpulan penelitian tersebut.
Hal senada diungkapkan peneliti psikologi dari Universitas Michigan. Mereka menyatakan kelancaran dalam pelafalan sebuah brand memberikan kesan tertentu. "Ketika nama brand dilafalkannya sulit, itu memberikan kesan tidak familier dan berbahaya," ujar mereka. Penilaian tersebut memang benar. Seperti brand Zara yang didirikan Amancio Ortega.
Dia memberi nama perusahaannya seperti film pada 1964 "Zorba the Greek". Dirasa terlalu panjang, Ortega pun memikirkan nama lain. Ortega memilih menyusun ulang nama tersebut hingga terpilih Zara. Itu juga terpengaruh dengan toko pertama yang dibuka di La Coruna pada 1975 dan berjarak dua blok dari sebuah bar yang disebut dengan Zorba.
Kemudian, pendiri Starbucks Gordon Bowker menyusun kata-kata dengan awalan "ST" karena menganggapnya memiliki pesan yang kuat. Seseorang mengatakan ada kota tambang di Cascades dan Gunung Rainier bernama Starbo. Bowker memutuskan nama Starbucks. Masih berkaitan dengan nama brand, IKEA bukan kata yang berasal dari Swedia.
Pendiri IKEA Ingvar Kamprad memilih nama itu dari huruf depan namanya, IK dan digabungkan dengan huruf depan kota di mana dia tumbuh besar, Elmtaryd dan Agunnaryd. Sementara Rauben Mattus, imigran asal Polandia, menamakan perusahaan es krimnya Haagen-Dazs sebagai bentuk penghormatan untuk Denmark. Dia mengungkapkan, Denmark sebagai negara yang menyelamatkan orang Yahudi selama Perang Dunia II.
(don)