Every Business is Crowd Business

Sabtu, 02 November 2019 - 10:10 WIB
Every Business is Crowd Business
Every Business is Crowd Business
A A A
TIGA hari lalu saya ngobrol dengan Pak Awaluddin, CEO PT Angkasa Pura II (AP II) pengelola 19 bandara di Tanah Air. Saya kenal Pak Awal sudah lebih dari 10 tahun lampau saat masih di Telkom.

Sejak awal saya tahu Pak Awal memiliki “disruptive thinking”. Kenapa? Karena sejak 20 tahun lalu Telkom sudah “dibantai” oleh gonjang-ganjing disrupsi, jauh sebelum istilah “disrupsi” begitu terkenal seperti sekarang.

Kala itu Telkom terkena gelombang disrupsi bertubi-tubi dari “kematian” telepon rumah, revolusi seluler, era TIMES (telecommunication, information, media, edutainment, services), serbuan OTT (over-the-top) services, hingga era digital ecosystem/platform sekarang.

Tak heran saat menakhodai AP II pun ia menerapkan pendekatan “disruptive” dan “paradox”, bukan pendekatan BAU (business as usual) dalam mengelola bandara.

Tak heran pula jika ia mengusung “Beyong the Core” sebagai corporate tagline perusahaan. Pesannya simpel, mentransformasi AP II dari sebatas fokus ke core business menuju ke adjacent business dengan menggunakan pendekatan anti-mainstream dan paradoks.

Pendekatan BAU mengatakan operator bandara bisnisnya adalah melulu menjadi “tukang parkir” pesawat: mendaratkan pesawat, mengurusi segala sesuatu selama di darat, dan meninggal-landaskannya. Dalam terminologi kebandarudaraan, ini sering disebut bisnis “Aero” dan “Non-Aero”. Lebih tepatnya: “Aero dan Non-Aero tradisional”.

Alih-alih menggunakan pendekatan BAU, Pak Awal mengusung pendekatan paradoks dengan fokus ke bisnis “Aero non-tradisional” dan “Non Aero non-tradisional”. Ketika mindset-nya terbuka semacam ini, maka kemudian bandara sudah menjadi sebuah “platform” yang potensi bisnisnya menjadi limitless: apapun bisa menjadi bisnis. Bagi AP II ini adalah: “A whole new world of business”.

Dan untuk menangkap peluang bisnis yang praktis tak terbatas tersebut, so pasti AP II tak bisa berjalan sendiri. Konsekuensinya, model operasinya haruslah berkolaborasi dengan pihak lain. Karena itu fokusnya bukanlah “organic growth”, tapi “inorganic growth”.

Di era disrupsi dimana industri “dirusak” sedemikian radikal, pekerjaan pertama dan terpenting seorang CEO adalah “UNLEARN” alias mengosongkan pikiran dan memulai dengan “kanvas kosong”. Artinya, si CEO harus menyingkirkan jauh-jauh semua hal yang BAU-BAU alias “break with the past!!!”

Setelah terbebas dari semua hal yang BAU, maka CEO siap melukis di “kanvas yang betul-betul kosong”. Strategi dan pendekatan yang diambil haruslah betul-betul fresh dan tak terpolusi oleh paradigma dan cara-cara lama.

Bagi saya, di era disrupsi, bisnis bandara itu tak jauh beda dengan bisnisnya Facebook, Google, GoJek: apa yang saya sebut “crowd business”. Bahkan saya berani menyimpulkan, pada akhirnya semua bisnis nantinya adalah crowd business. “At the end, EVERY business is crowd business.” Apakah Anda di industri transportasi, retail, perhotelan, bank, atau bandara seperti AP II, ujung-ujungnya Anda harus mentransformasi diri menjadi crowd business.

Apa itu crowd business?
Gampangnya begini, model bisnisnya Facebook, Google, dan GoJek itu simpel yaitu mengumpulkan massa (crowd). Facebook misalnya, hingga tahun 2019 ini mengumpulkan crowd hampir 2,5 miliar, artinya hampir setengah populasi dunia.

Caranya gimana? Kalau dalam kasus Facebook caranya adalah dengan memberi kita “mainan” gratis berupa layanan jejaring sosial yang membuat kita mabuk kepayang. Dalam kasus Google kita diberi alat pencari super pintar yang memudahkan kita mencari informasi apapun. Sementara dalam kasus GoJek menyediakan apps yang memudahkan kita mendapatkan layanan transportasi.

Nah setelah crowd terkumpul, maka mereka menciptakan beragam creative business model untuk memonetisasi masa konsumen yang sudah terkumpul tersebut. Istilah saya adalah: “membangun kebun binatang, lalu berburu di kebun binatang”.

Dalam kasus Facebook dan Google, creative business model tersebut adalah menganalisa big data konsumen lalu menjualnya ke pengiklan. Dalam kasus GoJek adalah menyediakan beragam layanan GoSend, GoShop, GoTix, GoFood, GoGlam, GoMed, hingga GoPay.

Lalu bagaimana dengan AP II? Sama persis. Seluruh bandara yang dikelola AP II tahun 2018 lalu telah mendatangkan crowd sekitar 115 juta penumpang. Menariknya, 115 juta prospek tersebut adalah kalangan menengah-atas (A+, A, B) yang duit dan spending-nya sangat besar. Dengan massa konsumen seperti itu, coba bayangkan betapa besar potensi crowd business yang telah dibangun AP II.

Celakanya, selama bertahun-tahun bisnis bandara hanya dilihat sebagai bisnis “parkir pesawat” bukan “crowd business”. Itu sebabnya potensi crowd yang luar biasa besar itu tak pernah disentuh.

Pak Awal berpikir lain, ketika crowd-nya sudah terkumpul, maka seperti halnya Facebok dan Google, AP II harus memonetisasinya dengan menciptakan creative business model baru yang disruptif. Potensi luar biasa itu ia kelompokkan menjadi lima yang disingkat menjadi X-CODE: Xperience, Continuity, Operation, Digital, Entertainment/Lifestyle.

Dengan konsep X-CODE, maka akan terbuka luas berbagai kemungkinan bisnis di lingkungan ekosistem bandara mulai dari: mal, hotel, media, periklanan, co-working space, games, tempat konser musik, MICE (meeting, incentive, conference, exhibition), hingga destinasi wisata seperti Jewel di bandara Changi. Dan AP II harus bisa mengajak banyak partner untuk memonetisasi potensi crowd sebesar itu.

Ini belum termasuk potensi pasar digital. Coba bayangkan jika 115 juta crowd itu dikumpulkan di dalam sebauah platform digital seperti apps-nya GoJek dan kemudian dimonetisasi dengan beragam layanan digital end-to-end airport services, e-commerce, e-entertainment, e-media, e-education, e-peyment, dan beragam layanan e yang lain. Ingat prinsip dasar crowd business: “ketika ada kerumunan orang, maka di situ akan ada uang”.

Belajar dari Pak Awaluddin, ketika kita bisa unlearn dan mengubah cara pandang kita dari pendekatan bisnis konvensional ke pendekatan crowd business maka akan terbuka peluang bisnis baru yang luar biasa, “a whole new world of business”.

Ingat sekali lagi, pada akhirnya every business is crowd business.

YUSWOHADY
Managing Partner Inventure www.yuswohady.com
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0160 seconds (0.1#10.140)