Genjot Investasi, Jurus Hadapi Ancaman Resesi Ekonomi

Selasa, 05 November 2019 - 10:14 WIB
Genjot Investasi, Jurus...
Genjot Investasi, Jurus Hadapi Ancaman Resesi Ekonomi
A A A
Pada kuartal III tahun ini, realisasi investasi mengalami pertumbuhan sebesar 18%. Menggenjot investasi merupakan upaya dalam menghadapi ancaman resesi.

Bahlil Lahadia seperti mendapat berkah tersendiri. Baru sepekan lewat menjabat Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) di Kabinet Indonesia Maju, dirinya sudah dihadiahi angka-angka positif pencapaian realisasi investasi pada periode kuartal III tahun ini. Sepanjang tiga bulan kemarin, realisasi investasi mencapai Rp205,7 triliun.

“Dibanding periode tahun lalu, terjadi kenaikan sekitar 18%,” kata Bahlil Lahadia dalam konferensi persnya, Kamis pekan lalu.
Pencapaian kuartal III itu membuat realisasi investasi dalam sembilan bulan tahun ini mencapai Rp601,3 triliun atau sekitar 76% dari target yang ditetapkan sebesar Rp792 triliun.

Rinciannya, realisasi investasi asing (PMA) sebesar Rp317,8 triliun atau 65,7% dan investasi domestik (PMDN) sebesar Rp283,5 triliun alias 92%. Pencapaian PMA itu naik sebesar 8,2% dan PMDN 17,3%. Ada beberapa penyebab naiknya realisasi investasi pada kuartal III tahun ini.

Salah satunya adalah Pemilu dan Pilpres 2019 yang terlaksana dengan damai sehingga menunjukkan sinyal positif yang berdampak terhadap nilai realisasi. “Hal itu mengindikasikan kegiatan investasi kembali menggeliat,” kata Bahlil.

Melihat realisasi investasi itu, Bahlil meyakini bahwa target investasi tahun ini bisa dikejar. Sebab, sisanya yang sekitar Rp190,7 triliun masih dapat dicari di sisa waktu tahun ini. “Insyaallah kami punya keyakinan pada tahun ini target bisa tercapai sekalipun pertumbuhan ekonomi global belum terlalu menggembirakan,” tambah Bahlil.

Untuk mengejar target itu, Bahlil akan melakukan konsolidasi guna mengidentifikasi izin-izin mana yang selama ini menjadi keluhan bagi pengusaha. Mantan Ketua Umum Hipmi ini juga akan mengawal para investor agar mereka tidak kabur dari Indonesia. Bahkan, Bahlil menyatakan bakal turun langsung ke lapangan untuk menemui para investor.

“Saya akan langsung memimpin untuk memastikan agar seluruh investor yang masuk betul-betul merasa nyaman dan mendapat kepastian,” ujarnya. Strategi atau upaya Bahlil itu jelas tak lepas dari tugas-tugas berat yang menantinya.

Beberapa di antaranya adalah meningkatkan kemudahan berusaha (ease of doing business/EoDB). Dua tahun berturut-turut, peringkat EoDB Indonesia berada di nomor 73. Jokowi meminta dirinya agar EoDB di Indonesia bisa naik ke peringkat 50.
Tugas berikutnya adalah meningkatkan promosi investasi dan meningkatkan lagi investasi di dalam negeri.

Peningkatan investasi sangatlah penting dalam rangka mengantisipasi adanya ketidakpastian global. Sebab, itulah faktor yang membuat para investor asing lebih memilih untuk menahan investasinya. “Ini kerja besar. Kita juga akan minta para investor dalam negeri untuk mau berinvestasi ke dalam sektor UMKM,” tuturnya.

Ya, mudah-mudahan saja upaya Bahlil dalam mengerjakan tugasnya membuahkan hasil. Soalnya, menarik investasi agar masuk ke Tanah Air ini bukan perkara gampang. Tak cukup dengan kalimat-kalimat “heroik” macam turun langsung ke lapangan atau mengawal sendiri.

Butuh kerja keras, cerdas, dan juga sinergi antarlembaga terkait perizinan. “Masalah terbesar dalam ekosistem iklim investasi masih relatif sama, yaitu tidak efisiennya beban memulai bisnis lantaran perizinan dan birokrasinya,” kata Shinta Widjaja Kamdani, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), Kamis pekan lalu.

Shinta kemudian mengurai penyebab yang menjadi kendala bagi para investor tersebut, yaitu tingginya beban ketidakpastian berusaha karena masih belum ada sistem transparansi kebijakan dan putusannya yang memadai serta efektif dilaksanakan di semua level pemerintahan dan di seluruh institusi pemerintah.

Efisiensi juga menjadi kendala investor karena terlalu banyak regulasi yang mengikat kebebasan perusahaan dalam menciptakan efisiensi biaya operasional dan biaya produksi. “Dan tidak efisiennya biaya rantai suplai nasional. Namun, pada saat yang sama, beban regulasi perdagangan internasional juga semakin tinggi,” tambah Shinta.

Sejatinya, pemerintah memahami benar keluhan para pengusaha ataupun investor. Makanya sejak beberapa tahun lalu pemerintah mulai menggenjot investasi dengan mengeluarkan berbagai aturan. Salah satunya kebijakan ekonomi jilid II yang dirilis pada 2015. Lalu, yang terbaru adalah kebijakan terkait online single submission (OSS) versi 1.1 yang saat ini tengah diuji coba.

Kendati pemerintah sudah pontang-panting menarik masuknya investasi asing, hasilnya masih dianggap belum memuaskan. Memang, sejak 2015, hanya pada 2018 target investasi tak tercapai. Masalahnya, jumlah investasi—terutama asing—yang masuk ke Indonesia masih kalah dibanding negara-negara kawasan ASEAN, terutama Vietnam.

Ditambah lagi ketika banyak perusahaan hengkang dari Tiongkok akibat perang dagang dengan Amerika Serikat (AS) semakin panas, Indonesia tak kebagian satupun imbas positifnya. Alhasil, Jokowi pun meradang.

“Dua bulan lalu, ada 33 perusahaan dari Tiongkok yang keluar, 23 di antaranya memilih Vietnam. Kemudian, sepuluh lainnya pergi ke Malaysia, Thailand, dan Kamboja. Enggak ada yang ke kita,” tandas Jokowi, beberapa waktu lalu.

Ada beberapa penyebab perusahaan-perusahaan asal Tiongkok itu lebih memilih Vietnam. Pajak penghasilan badan di Vietnam lebih rendah, tepatnya hanya 20%. Sementara, di Indonesia masih 25%. Selain itu, persoalan tenaga kerja. “SDM di Indonesia masih kalah dengan Vietnam dan Malaysia karena kedua negara tersebut memiliki SDM yang unggul dan lebih siap,” kata Bhima Yudhistira, ekonomi Indef.

Faktor selanjutnya adalah mahalnya biaya logistik di sini dibanding negara-negara tadi. Biaya logistik di Indonesia terbilang mahal di kisaran 22%–24% terhadap produk domestik bruto (PDB). Artinya, seperempat biaya sebuah produk sudah habis untuk ongkos kirim sendiri.

Fakta itu tercermin dari Logistik Performance Index Vietnam yang menempati peringkat 39 alias jauh lebih tinggi dibandingkan posisi Indonesia yang berada di peringkat 46. Ironis memang. Sejak lima tahun terakhir, pemerintah telah mengerahkan banyak usaha untuk memperbaiki masalah ekosistem investasi, tetapi pada kenyataannya tidak banyak berubah.

Musababnya, kebijakan-kebijakan yang sudah dikeluarkan tidak semuanya dikerjakan di lapangan. “Pada praktiknya di lapangan, pelaksanaan regulasi tidak konsisten dengan regulasinya dan semakin lama semakin dibiarkan, bukannya didisiplinkan atau diperbaiki kekurangannya,” kata Shinta.

Menurut Shinta, kalau kita mau menarik investasi (PMDN maupun PMA), pemerintah harus jauh lebih serius dan jauh lebih cepat bergerak untuk memperbaiki ekosistem iklim investasi dan iklim usaha kita yang tidak efisien serta tidak kompetitif dibandingkan dengan negara lain.

Konsistensi pelaksanaan reformasi kebijakan ekonomi kita dengan pelaksanaannya di lapangan harus menjadi prioritas utama yang dibenahi dan didisiplinkan oleh pemerintah di segala level. “Dengan demikian, kita bisa menunjukkan kepada investor bahwa iklim investasi Indonesia jauh lebih berdaya saing dari iklim usaha di negara-negara lain,” katanya.

Di tengah ancaman resesi ekonomi global, peningkatan ekspor dan investasi merupakan upaya untuk mengantisipasinya. “Kuncinya ada. Pertama, meningkatkan ekspor dan substitusi barang-barang impor. Kedua, yang sangat penting adalah investasi,” kata Presiden Jokowi saat memimpin rapat terbatas bidang ekonomi di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Rabu, 30 Oktober lalu.

Investasi memang sangat dibutuhkan untuk menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Seperti kata Sri Mulyani Juni lalu saat rapat dengan Komisi XI DPR terkait pembicaraan pendahuluan RAPBN 2020, bahwa andil investasi masih akan menjadi pendorong yang dominan bagi Indonesia untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3%–5,6% pada 2020.

“Inilah yang menggambarkan bahwa untuk bisa mencapai pertumbuhan ekonomi 5,3% hingga 5,6%, peranan investasi swasta menjadi sangat penting sehingga yang berhubungan dengan kebijakan investasi sangat menjadi kunci,” katanya.

Masuknya investasi, terutama dalam bentuk foreign direct investment (FDI) akan menciptakan efek domino yang positif. Salah satunya pembukaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Investasi pada kuartal III yang masuk sebesar Rp205,7 triliun telah menciptakan lapangan pekerjaan buat sebanyak 212.581 orang.

Sepanjang sembilan bulan tahun ini, dari investasi yang masuk, lapangan pekerjaan yang sudah tercipta sebanyak 600 ribu.
Banyaknya lapangan pekerjaan tentu akan menciptakan daya beli sehingga konsumsi domestik menjadi terdongkrak. Ingat, separuh dari perekonomian nasional ditopang oleh konsumsi domestik. (I. Husni Isnaini)
(don)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5974 seconds (0.1#10.140)