Softbank Merugi Perdana dalam 14 Tahun Berpotensi Ganggu Bisnis Grab
A
A
A
JAKARTA - SoftBank mencatat kerugian dalam laporan keuangan kuartalan perusahaan, untuk menjadi yang pertama kali dalam kurun waktu 14 tahun. Kerugian ini disebabkan oleh banyaknya investasi pada startup teknologi yang besar, namun merugi seperti WeWork dan Uber.
Perusahaan asal Jepang itu di Indonesia juga memiliki banyak investasi startup, dimana belum lama ini SoftBank menyuntik Grab Indonesia sebesar USD2 miliar. Kondisi negatif yang menimpa SoftBank berpotensi mengganggu bisnis Grab sehingga memaksanya mencari cara untuk mengamankan profitabilitas dan margin perusahaan.
Situasi memang berubah cepat bagi Grab, perusahaan transportasi daring (online) asal Malaysia dengan valuasi USD14 miliar menurut CB Insights, hanya dalam waktu tiga bulan setelah kunjungan CEO SoftBank Group Masayoshi Son ke Indonesia pada bulan Juli 2019. Saat itu dia mengumbar janji investasi di Indonesia senilai USD2 miliar dan membangun "markas kedua" di Jakarta.
SoftBank yang notabene investor terbesar Grab dengan total investasi mencapai USD3 miliar di perusahaan itu mencatat kerugian sebesar USD8,9 miliar atau setara Rp125 triliun pada kuartal pertama 2019.
Kemudian, seperti dikutip dari fortune.com, pada Rabu (6/11) lalu, Softbank kembali melaporkan penurunan nilai aset besar-besaran atas investasinya di WeWork, startup penyewaan ruang kantor, hingga mencapai USD9,2 miliar atau setara 90% dari total investasi Softbank di WeWork yang tercatat sebesar USD10,3 miliar. “Ini murni kesalahan penilaian saya, yang saya harus renungkan,” ujar Masayoshi di hadapan para investor dan media.
Tidak hanya terancam dari sisi dukungan investor, kelangsungan bisnis Grab saat ini juga terancam setelah perusahaan yang berambisi menjadi superapp itu diyakini masih mencatat rugi akibat model bisnisnya yang terus membakar uang untuk membiayai promosi guna memenangkan persaingan pasar. Upaya Grab untuk dapat mendongkrak margin perusahaan terbentur persaingan bisnis yang sangat tinggi di Asia Tenggara dan sejumlah regulasi.
Baru-baru ini misalnya, sebuah peraturan baru telah diterbitkan oleh Pemerintah Singapura yang intinya melarang penggunaan skuter listrik di jalur pejalan kaki sehingga secara tidak langsung memukul bisnis layanan pesan-antar makanan yang dilayani Grab melalui aplikasi GrabFood.
GrabFood yang dilaporkan telah mendominasi pasar pesan-antar makanan di Singapura diketahui mengandalkan penggunaan skuter listrik untuk mempercepat pengiriman pesanan. Oleh karenanya, larangan tersebut diyakini pihak manajemen Grab akan mengakibatkan tertundanya pengiriman atau pembatalan pesanan.
Kemudian uji coba layanan telehealth Grab pada bulan lalu yang mengusung konsep konsultasi medis berbasis aplikasi untuk pengguna di Indonesia, diperkirakan akan sulit berkembang. Tidak hanya dinilai terlambat dari target peluncuran awalnya, yaitu kuartal pertama 2019 sejak diumumkan tahun 2018, peluncuran aplikasi itu juga dinilai terlambat dari pesaingnya.
Gojek bahkan telah lebih dulu menjajal bisnis telehealth dengan menggandeng startup lokal seperti Halodoc. “Gojek akan mengambil pendekatan yang lebih terukur. Sekarang kita berada di waktu yang berbeda, dan kita akan beroperasi dengan tepat," kata co-CEO baru Kevin Aluwi.
Di Indonesia, reputasi Grab juga menjadi dipertanyakan setelah Co-founder dan CEO Gojek Nadiem Makarim baru-baru ini memutuskan bergabung dengan pemerintahan baru Presiden Joko Widodo. Menurut pengamat investasi di Singapura, seperti dikutip dari asia.nikkei.com, tentunya penunjukkan Nadiem sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI ini membuktikan jika Gojek lebih dihormati di Indonesia ketimbang Grab, sehingga secara bersamaan hal itu menaikkan gengsi brand Gojek itu sendiri.
Sebelumnya pendiri Grab, Tan Hooi Ling kepada Nikkei Asian Review pernah mengatakan bahwa pihaknya percaya pemerintah Indonesia bersikap adil dengan menciptakan kesempatan bisnis yang sama bagi semua orang, karena hal itu juga menyangkut kepentingan pemerintah Indonesia.
Perusahaan asal Jepang itu di Indonesia juga memiliki banyak investasi startup, dimana belum lama ini SoftBank menyuntik Grab Indonesia sebesar USD2 miliar. Kondisi negatif yang menimpa SoftBank berpotensi mengganggu bisnis Grab sehingga memaksanya mencari cara untuk mengamankan profitabilitas dan margin perusahaan.
Situasi memang berubah cepat bagi Grab, perusahaan transportasi daring (online) asal Malaysia dengan valuasi USD14 miliar menurut CB Insights, hanya dalam waktu tiga bulan setelah kunjungan CEO SoftBank Group Masayoshi Son ke Indonesia pada bulan Juli 2019. Saat itu dia mengumbar janji investasi di Indonesia senilai USD2 miliar dan membangun "markas kedua" di Jakarta.
SoftBank yang notabene investor terbesar Grab dengan total investasi mencapai USD3 miliar di perusahaan itu mencatat kerugian sebesar USD8,9 miliar atau setara Rp125 triliun pada kuartal pertama 2019.
Kemudian, seperti dikutip dari fortune.com, pada Rabu (6/11) lalu, Softbank kembali melaporkan penurunan nilai aset besar-besaran atas investasinya di WeWork, startup penyewaan ruang kantor, hingga mencapai USD9,2 miliar atau setara 90% dari total investasi Softbank di WeWork yang tercatat sebesar USD10,3 miliar. “Ini murni kesalahan penilaian saya, yang saya harus renungkan,” ujar Masayoshi di hadapan para investor dan media.
Tidak hanya terancam dari sisi dukungan investor, kelangsungan bisnis Grab saat ini juga terancam setelah perusahaan yang berambisi menjadi superapp itu diyakini masih mencatat rugi akibat model bisnisnya yang terus membakar uang untuk membiayai promosi guna memenangkan persaingan pasar. Upaya Grab untuk dapat mendongkrak margin perusahaan terbentur persaingan bisnis yang sangat tinggi di Asia Tenggara dan sejumlah regulasi.
Baru-baru ini misalnya, sebuah peraturan baru telah diterbitkan oleh Pemerintah Singapura yang intinya melarang penggunaan skuter listrik di jalur pejalan kaki sehingga secara tidak langsung memukul bisnis layanan pesan-antar makanan yang dilayani Grab melalui aplikasi GrabFood.
GrabFood yang dilaporkan telah mendominasi pasar pesan-antar makanan di Singapura diketahui mengandalkan penggunaan skuter listrik untuk mempercepat pengiriman pesanan. Oleh karenanya, larangan tersebut diyakini pihak manajemen Grab akan mengakibatkan tertundanya pengiriman atau pembatalan pesanan.
Kemudian uji coba layanan telehealth Grab pada bulan lalu yang mengusung konsep konsultasi medis berbasis aplikasi untuk pengguna di Indonesia, diperkirakan akan sulit berkembang. Tidak hanya dinilai terlambat dari target peluncuran awalnya, yaitu kuartal pertama 2019 sejak diumumkan tahun 2018, peluncuran aplikasi itu juga dinilai terlambat dari pesaingnya.
Gojek bahkan telah lebih dulu menjajal bisnis telehealth dengan menggandeng startup lokal seperti Halodoc. “Gojek akan mengambil pendekatan yang lebih terukur. Sekarang kita berada di waktu yang berbeda, dan kita akan beroperasi dengan tepat," kata co-CEO baru Kevin Aluwi.
Di Indonesia, reputasi Grab juga menjadi dipertanyakan setelah Co-founder dan CEO Gojek Nadiem Makarim baru-baru ini memutuskan bergabung dengan pemerintahan baru Presiden Joko Widodo. Menurut pengamat investasi di Singapura, seperti dikutip dari asia.nikkei.com, tentunya penunjukkan Nadiem sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI ini membuktikan jika Gojek lebih dihormati di Indonesia ketimbang Grab, sehingga secara bersamaan hal itu menaikkan gengsi brand Gojek itu sendiri.
Sebelumnya pendiri Grab, Tan Hooi Ling kepada Nikkei Asian Review pernah mengatakan bahwa pihaknya percaya pemerintah Indonesia bersikap adil dengan menciptakan kesempatan bisnis yang sama bagi semua orang, karena hal itu juga menyangkut kepentingan pemerintah Indonesia.
(akr)