Bank Indonesia Minta Pesantren Manfaatkan Teknologi Digital
A
A
A
JAKARTA - Bank Indonesia (BI) meminta pesantren memanfaatkan teknologi informasi terutama memasuki era digital saat ini. Sebab, digitalisasi telah menyebabkan perubahan besar di berbagai aspek kehidupan, mulai dari komunikasi, hubungan sosial, hingga kepada perilaku ekonomi.
Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo mengatakan, dari total populasi Indonesia yang sekitar 268 juta jiwa penduduk, sebanyak 56% di antaranya, atau 150 juta orang merupakan pengguna internet aktif. Dari 150 juta orang tersebut, sebanyak 91% menggunakan ponsel/smartphone dan lebih dari 10% sudah memanfaatkannya untuk melakukan pembelian/pembayaran online secara rutin.
“Bahkan, pada salah salah satu riset memprediksi jika market size ekonomi digital Indonesia pada akhir 2019 akan mencapai USD40 miliar atau sekitar Rp560 triliun. Lalu pada 2025 berpotensi mencapai USD100 miliar atau Rp1.400 triliun,” kata Dody pada acara Sarasehan Pesantren dengan tema "Atta’awun Dalam Peningkatan Sinergi dan Kolaborasi Antar-Pesantren Menuju Kemandirian Ekonomi Pesantren di Era Digital” di Jakarta, kemarin.
Karena itu, untuk bisa meningkatkan daya saing, strategi pengembangan kemandirian pesantren perlu memperhatikan Indonesia sebagai jumlah penduduk muslim terbesar di dunia yang memiliki preferensi tinggi terhadap produk-produk bersertifikat halal.
Kedua, pertumbuhan ekonomi digital dengan kecepatan dan angka yang mengesankan di dalam negeri, seiring tingginya akseptansi kaum milenial terhadap layanan jasa dan keuangan melalui saluran digital. “Dari sisi penyediaan produk-produk bersertifikat halal, tentunya secara keilmuan maupun praktiknya di lapangan sudah sangat dikuasai oleh kalangan pesantren,” ungkapnya.
Akan tetapi, persiapan yang matang justru harus dilakukan dalam mengantisipasi era baru ekonomi digital. Menurut Dody, adaptasi yang harus dilakukan tentu tidak mudah, apalagi jika tidak ditunjang dengan infrastruktur teknologi dan aksesibilitas layanan publik yang memadai.
“Tapi, bukan berarti itu adalah hal yang mustahil dilakukan. Sehingga, semangat gotong royong atau sinergi di kalangan pesantren dalam pandangan kami perlu untuk diperkuat,” urai Dody.
Hal tersebut juga dilandasi fakta bahwa inti dari implementasi ekonomi digital adalah membangun suatu ekosistem yang bisa menghubungkan antara seluruh kebutuhan dari konsumen dengan layanan yang bisa disediakan oleh produsen atau pelaku usaha lainnya. Dengan keberadaan sekitar 29.000 pondok pesantren dan 5 juta santri, modal besar pesantren untuk membangun ekosistem digital secara internal tidak diragukan lagi.
Bahkan, ekosistem digital antar pesantren tidak harus selalu diarahkan pada kegiatan ekonomi, namun juga bisa dimanfaatkan dalam rangka menunjang kegiatan pembelajaran maupun koordinasi antar pesantren. Dody menuturkan, pesantren tidak hanya menjadi obyek dan pasar dalam era ekonomi digital, tetapi juga menjadi subyek atau penggerak utama iklim ekonomi digital, terutama pada lingkup produk dan layanan berbasis syariah.
Dia meminta pimpinan pesantren agar dapat memperkuat sinergi dan kolaborasi antar pesantren, baik dalam lingkup pemberdayaan ekonomi, maupun kegiatan yang lainnya. “Terutama dengan tujuan memperkuat peran pesantren dalam rantai nilai halal nasional,” katanya. Untuk memperkuat bisnis para pelaku usaha dari pesantren, BI mendorong pembentukan induk usaha atau kelompok usaha (holding) pesantren di seluruh Indonesia.
Holding ini akan meningkatkan modal usaha pesantren sekaligus kapasitas pelaku bisnis dari lingkungan pesantren. “Dalam naungan holding bisnis pesantren tersebut, kita mengharapkan terbentuknya manajemen dan tata kelola yang baik bagi setiap entitas pesantren,” ungkapnya.
Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo mengatakan, dari total populasi Indonesia yang sekitar 268 juta jiwa penduduk, sebanyak 56% di antaranya, atau 150 juta orang merupakan pengguna internet aktif. Dari 150 juta orang tersebut, sebanyak 91% menggunakan ponsel/smartphone dan lebih dari 10% sudah memanfaatkannya untuk melakukan pembelian/pembayaran online secara rutin.
“Bahkan, pada salah salah satu riset memprediksi jika market size ekonomi digital Indonesia pada akhir 2019 akan mencapai USD40 miliar atau sekitar Rp560 triliun. Lalu pada 2025 berpotensi mencapai USD100 miliar atau Rp1.400 triliun,” kata Dody pada acara Sarasehan Pesantren dengan tema "Atta’awun Dalam Peningkatan Sinergi dan Kolaborasi Antar-Pesantren Menuju Kemandirian Ekonomi Pesantren di Era Digital” di Jakarta, kemarin.
Karena itu, untuk bisa meningkatkan daya saing, strategi pengembangan kemandirian pesantren perlu memperhatikan Indonesia sebagai jumlah penduduk muslim terbesar di dunia yang memiliki preferensi tinggi terhadap produk-produk bersertifikat halal.
Kedua, pertumbuhan ekonomi digital dengan kecepatan dan angka yang mengesankan di dalam negeri, seiring tingginya akseptansi kaum milenial terhadap layanan jasa dan keuangan melalui saluran digital. “Dari sisi penyediaan produk-produk bersertifikat halal, tentunya secara keilmuan maupun praktiknya di lapangan sudah sangat dikuasai oleh kalangan pesantren,” ungkapnya.
Akan tetapi, persiapan yang matang justru harus dilakukan dalam mengantisipasi era baru ekonomi digital. Menurut Dody, adaptasi yang harus dilakukan tentu tidak mudah, apalagi jika tidak ditunjang dengan infrastruktur teknologi dan aksesibilitas layanan publik yang memadai.
“Tapi, bukan berarti itu adalah hal yang mustahil dilakukan. Sehingga, semangat gotong royong atau sinergi di kalangan pesantren dalam pandangan kami perlu untuk diperkuat,” urai Dody.
Hal tersebut juga dilandasi fakta bahwa inti dari implementasi ekonomi digital adalah membangun suatu ekosistem yang bisa menghubungkan antara seluruh kebutuhan dari konsumen dengan layanan yang bisa disediakan oleh produsen atau pelaku usaha lainnya. Dengan keberadaan sekitar 29.000 pondok pesantren dan 5 juta santri, modal besar pesantren untuk membangun ekosistem digital secara internal tidak diragukan lagi.
Bahkan, ekosistem digital antar pesantren tidak harus selalu diarahkan pada kegiatan ekonomi, namun juga bisa dimanfaatkan dalam rangka menunjang kegiatan pembelajaran maupun koordinasi antar pesantren. Dody menuturkan, pesantren tidak hanya menjadi obyek dan pasar dalam era ekonomi digital, tetapi juga menjadi subyek atau penggerak utama iklim ekonomi digital, terutama pada lingkup produk dan layanan berbasis syariah.
Dia meminta pimpinan pesantren agar dapat memperkuat sinergi dan kolaborasi antar pesantren, baik dalam lingkup pemberdayaan ekonomi, maupun kegiatan yang lainnya. “Terutama dengan tujuan memperkuat peran pesantren dalam rantai nilai halal nasional,” katanya. Untuk memperkuat bisnis para pelaku usaha dari pesantren, BI mendorong pembentukan induk usaha atau kelompok usaha (holding) pesantren di seluruh Indonesia.
Holding ini akan meningkatkan modal usaha pesantren sekaligus kapasitas pelaku bisnis dari lingkungan pesantren. “Dalam naungan holding bisnis pesantren tersebut, kita mengharapkan terbentuknya manajemen dan tata kelola yang baik bagi setiap entitas pesantren,” ungkapnya.
(don)