Arvila Delitriana: Lawan Argumen Jepang, Yakinkan Prancis
A
A
A
ARVILA Delitriana tersenyum ketika menerima Sindo Media di sebuah kafe di kawasan Cawang, Jakarta. Mengenakan pakaian kasual dengan menggendong tas ransel, Alvira langsung menyapa. Wajahnya tidak menunjukkan rasa lelah meski saat pertemuan dengan Sindo Media dia sering melihat jam tangan jenis smart watch. Lulusan ITB angkatan 1989 ini mengaku tidak memiliki waktu yang banyak karena masih ada rapat lagi.
Kepada Sindo Media, Arvila menceritakan perihal namanya yang viral di media sosial setelah peresmian longspan LRT di Kuningan Lintas Pelayanan Dua Cawang–Dukuh Atas pada Senin, 11 November lalu. Dia juga bercerita tentang bagaimana awalnya harus mengerjakan longspan LRT di Kuningan sepanjang 148 meter dengan lengkungan 115 meter ini.
Pada malam sehari sebelum peresmian atau tepatnya pada Minggu, 10 November, Arvila dihubungi Project Manager LRT Jabodebek bernama Ujang. Alvira kaget, malam-malam Ujang meminta curriculum vittae (CV). Dalam hati dia bertanya “untuk apa?” Namun sebelum Arvila bertanya, Ujang menjelaskan bahwa Dirut PT Adhi Karya Budi Harto akan memberikan paparan tentang longspan Kuningan sebelum peresmian.
Arvila pun mengaku biasa saja ketika menerima undangan peresmian longspan LRT di Kuningan. “Saya sebenarnya kurang suka dengan seremoni, bukan apa-apa, kadang saya suntuk dan ngantuk,” ucapnya sambil tertawa.
Saat peresmian, Arvila memang tak bisa hadir. Padahal selain Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga hadir empat menteri, yaitu Menko Luhut Binsar Panjaitan, Menteri PUPR Basuki Hadimoeljono, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi serta Menteri BUMN Erick Tohir. Arvila beralasan ada urusan kantor yang tidak bisa ditinggalkan. Arvila memang tidak menyaksikan peresmian longspan dengan material beton seberat 9.688,8 ton itu. Longspan yang cukup besar itu memiliki berat tiga kali dari patung Garuda Wisnu Kencana di Bali. Besi yang digunakan 2.929,7 ton atau setara dengan lebih lima kali berat pesawat Airbus A-380.
Seusai peresmian, Arvila kaget. Smartphone-nya terus bergetar. Grup WhatsApp ITB angkatan 89 ramai membicarakan longspan rancangan dia. Sebuah capture picture cuitan Presiden Jokowi seusai peresmian menjadi pembicaraan seru di grup WA tersebut.
“Salah satu bagian tersulit konstruksi jalur LRT Jabodebek, pekerjaan jembatan bentang panjang yang melengkung 148 m di atas flyover Kuningan, Jaksel sudah tersabung. Selamat kepada Adhi Karya. Selamat juga untuk sang perancang, Ibu Arvila Delitriana, insinyur lulusan ITB."
Itulah cuitan Presiden Jokowi yang membuat Arvila kaget. Nama dia disebut orang nomer satu di Indonesia. Tak hanya itu, di akun resmi instagram Presiden Jokowi pun disebut nama dia. “….Untunglah, sang insinyur, Ibu Arvila Delitriana, lulusan Institut Teknologi Bandung berhasil merancang jembatan menakjubkan itu dan tersambung dengan presisi sejak kemarin.”
Perempuan kelahiran Tebing Tinggi, 23 April 1970 itu lalu bercerita bagaimana awalnya ia terlibat dalam proyek LRT Jabodebek. Saat dia masuk ke proyek ini, LRT Jabodebek telah memiliki beberapa konsultan perencana, yaitu dari Prancis, ITB, dan ITS. Karena proyek ini butuh percepatan, masuklah Arvila melalui Ujang (project manager).
Lewat perusahaan konsultan PT Cipta Graha Abadi, Arvila mulai menangani perhitungan desain yang sudah tersedia dari konsultan asal Prancis, Systra. Dari konsultan Prancis, sudah ada tiga opsi yang semuanya memanfaatkan pier atau tiang di tengah lengkungan. Lalu Alvira memberanikan diri memberikan opsi yang keempat. Tentu dengan argumentasi yang kuat. Opsi ini berbeda dengan tiga opsi awal. Opsi yang ditawarkan Alvira adalah membangun longspan 148 meter tanpa pier. Ide Alvira disanksikan seorang konsultan asal Jepang. Mustahil dan sulit dilakukan. Kalau toh bisa disambung tanpa tiang, kontraktor PT Adhi Karya tidak akan bisa.
“Tapi saya berkeyakinan bahwa setiap jembatan memang punya risiko, ya masing-masing. Tapi selama perhitungannya tepat saya yakinkan bahwa itu bisa dilakukan,” ucapnya.
Arvila berargumen, longspan perempatan Kuningan justru sulit dipasang dengan pier. Sebab di bawah jembatan lengkung terdapat dua ruas jalan yang saling berimpitan, yaitu Jalan Gatot Subroto dan tol layang dalam kota. Menurut Arvila, jalan yang berimpitan itu kalau dibangun fondasi untuk pier bisa rawan getaran kalau sewaktu-waktu ada gempa kecil.
“Makanya saya berkeyakinan dibangun saja tanpa tiang di tengah. Tentu perhitungannya harus tepat dengan menambah banyak gaya dalam perhitungannya,” jelasnya.
Konsultan asal Prancis tampaknya belum terlalu yakin. Lantas dia bertanya apakah Arvila juga pernah merancang jenis bangunan yang sama. Lalu Arvila menunjukkan proyek Jembatan Lingkar Semanggi yang dibangun semasa kepemimpinan Basuki Thajaja Purnama atau Ahok. Menurutnya tingkat kesulitannya kurang lebih sama.
Menurut Arvila, setiap enginer tak pernah bisa meremehkan pembangunan atau perencanaan suatu struktur atau bangunan jembatan sekalipun. Jika alasannya berbahaya dan penuh risiko, seharusnya semua pembangunan jembatan punya risiko sendiri-sendiri.
"Jadi waktu itu saya lawan argumen dari konsultan Jepang. Saya meyakinkan bahwa bisa pasang bentangan tanpa tiang dan alhamdulillah, dengan perhitungan matang, semua berjalan sesuai rencana,” katanya.
Menjadi insinyur bukan cita-cita Arvila. Kebanyakan anak-anak lainnya ingin jadi guru, kadang-kadang juga ingin menjadi pilot. Tapi sejak SMA atas dorongan ibunya, dia harus bisa bekerja atau melanjutkan pendidikan hingga Strata 2. Perempuan dua anak kelahiran Tebing Tinggi Sumatera Utara ini diminta oleh sang ibu supaya bisa bekerja dan tidak seperti ibunya yang hanya berpendidikan SMA.
“Ayah saya itu tentara, berpindah-pindah tempat, sedangkan ibu saya asli Sumatera Utara, ketika tugas dibanding usia saya sudah empat tahun. Nah bapak melihat Bandung sepertinya tempat atau home base yang tepat. Maka di Bandunglah saya sampai sekarang,” katanya menerawang masa lalu.
Bersama keluarga, Arvila kerap mengunjungi tempat-tempat baru di berbagai pulau di Indonesia. Dari situ dia punya cita-cita bagaimana menyambungkan kehidupan warga yang dibatasi oleh sungai hingga laut sekalipun dengan beramal membangun jembatan.
“Saya kadang risih, Mas. Kalau ada anak sekolah yang sampai harus menyeberang melewati sungai berenang dan memakai ban bekas. Kalau mungkin sudah tua nanti saya bersedia menyiapkan desainnya dan mencarikan pendanaannya,” katanya.
Dari sekian proyek jembatan yang pernah didesain oleh Arvila bersama timnya, ada salah satu jembatan yang punya nilai besar bagi kemaslahatan umat. Nama jembatan itu adalah Jembatan Pedamaran I dan Pedamaran II di Bagan Siapi-api di Rokan Hilir. Arvila sendiri merasakan susahnya membangun jembatan tersebut karena selama mendesain, dia harus melewati tiga kota, yakni Jakarta-Bandung-Prov Riau, Jembatan itu melintasi dua sungai sekaligus. Arvila sendiri merasakan bagaimana rasanya melintasi dua sungai dari tempat tinggalnya di Bandung.
“Bagaimana masyarakat di sana. Sementara kapal feri tidak ada yang mau lewat situ karena harus memutari dua sungai. Bayangkan dari dua hari perjalanan dengan adanya jembatan ini, hanya bisa ditempuh selama enam jam,” kenangnya.
Bagi Arvila, membangun jembatan punya nilai kemaslahatan yang besar untuk masyarakat bila dibandingkan dengan bangunan atau struktur lain. (Ichsan Amin)
Kepada Sindo Media, Arvila menceritakan perihal namanya yang viral di media sosial setelah peresmian longspan LRT di Kuningan Lintas Pelayanan Dua Cawang–Dukuh Atas pada Senin, 11 November lalu. Dia juga bercerita tentang bagaimana awalnya harus mengerjakan longspan LRT di Kuningan sepanjang 148 meter dengan lengkungan 115 meter ini.
Pada malam sehari sebelum peresmian atau tepatnya pada Minggu, 10 November, Arvila dihubungi Project Manager LRT Jabodebek bernama Ujang. Alvira kaget, malam-malam Ujang meminta curriculum vittae (CV). Dalam hati dia bertanya “untuk apa?” Namun sebelum Arvila bertanya, Ujang menjelaskan bahwa Dirut PT Adhi Karya Budi Harto akan memberikan paparan tentang longspan Kuningan sebelum peresmian.
Arvila pun mengaku biasa saja ketika menerima undangan peresmian longspan LRT di Kuningan. “Saya sebenarnya kurang suka dengan seremoni, bukan apa-apa, kadang saya suntuk dan ngantuk,” ucapnya sambil tertawa.
Saat peresmian, Arvila memang tak bisa hadir. Padahal selain Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga hadir empat menteri, yaitu Menko Luhut Binsar Panjaitan, Menteri PUPR Basuki Hadimoeljono, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi serta Menteri BUMN Erick Tohir. Arvila beralasan ada urusan kantor yang tidak bisa ditinggalkan. Arvila memang tidak menyaksikan peresmian longspan dengan material beton seberat 9.688,8 ton itu. Longspan yang cukup besar itu memiliki berat tiga kali dari patung Garuda Wisnu Kencana di Bali. Besi yang digunakan 2.929,7 ton atau setara dengan lebih lima kali berat pesawat Airbus A-380.
Seusai peresmian, Arvila kaget. Smartphone-nya terus bergetar. Grup WhatsApp ITB angkatan 89 ramai membicarakan longspan rancangan dia. Sebuah capture picture cuitan Presiden Jokowi seusai peresmian menjadi pembicaraan seru di grup WA tersebut.
“Salah satu bagian tersulit konstruksi jalur LRT Jabodebek, pekerjaan jembatan bentang panjang yang melengkung 148 m di atas flyover Kuningan, Jaksel sudah tersabung. Selamat kepada Adhi Karya. Selamat juga untuk sang perancang, Ibu Arvila Delitriana, insinyur lulusan ITB."
Itulah cuitan Presiden Jokowi yang membuat Arvila kaget. Nama dia disebut orang nomer satu di Indonesia. Tak hanya itu, di akun resmi instagram Presiden Jokowi pun disebut nama dia. “….Untunglah, sang insinyur, Ibu Arvila Delitriana, lulusan Institut Teknologi Bandung berhasil merancang jembatan menakjubkan itu dan tersambung dengan presisi sejak kemarin.”
Perempuan kelahiran Tebing Tinggi, 23 April 1970 itu lalu bercerita bagaimana awalnya ia terlibat dalam proyek LRT Jabodebek. Saat dia masuk ke proyek ini, LRT Jabodebek telah memiliki beberapa konsultan perencana, yaitu dari Prancis, ITB, dan ITS. Karena proyek ini butuh percepatan, masuklah Arvila melalui Ujang (project manager).
Lewat perusahaan konsultan PT Cipta Graha Abadi, Arvila mulai menangani perhitungan desain yang sudah tersedia dari konsultan asal Prancis, Systra. Dari konsultan Prancis, sudah ada tiga opsi yang semuanya memanfaatkan pier atau tiang di tengah lengkungan. Lalu Alvira memberanikan diri memberikan opsi yang keempat. Tentu dengan argumentasi yang kuat. Opsi ini berbeda dengan tiga opsi awal. Opsi yang ditawarkan Alvira adalah membangun longspan 148 meter tanpa pier. Ide Alvira disanksikan seorang konsultan asal Jepang. Mustahil dan sulit dilakukan. Kalau toh bisa disambung tanpa tiang, kontraktor PT Adhi Karya tidak akan bisa.
“Tapi saya berkeyakinan bahwa setiap jembatan memang punya risiko, ya masing-masing. Tapi selama perhitungannya tepat saya yakinkan bahwa itu bisa dilakukan,” ucapnya.
Arvila berargumen, longspan perempatan Kuningan justru sulit dipasang dengan pier. Sebab di bawah jembatan lengkung terdapat dua ruas jalan yang saling berimpitan, yaitu Jalan Gatot Subroto dan tol layang dalam kota. Menurut Arvila, jalan yang berimpitan itu kalau dibangun fondasi untuk pier bisa rawan getaran kalau sewaktu-waktu ada gempa kecil.
“Makanya saya berkeyakinan dibangun saja tanpa tiang di tengah. Tentu perhitungannya harus tepat dengan menambah banyak gaya dalam perhitungannya,” jelasnya.
Konsultan asal Prancis tampaknya belum terlalu yakin. Lantas dia bertanya apakah Arvila juga pernah merancang jenis bangunan yang sama. Lalu Arvila menunjukkan proyek Jembatan Lingkar Semanggi yang dibangun semasa kepemimpinan Basuki Thajaja Purnama atau Ahok. Menurutnya tingkat kesulitannya kurang lebih sama.
Menurut Arvila, setiap enginer tak pernah bisa meremehkan pembangunan atau perencanaan suatu struktur atau bangunan jembatan sekalipun. Jika alasannya berbahaya dan penuh risiko, seharusnya semua pembangunan jembatan punya risiko sendiri-sendiri.
"Jadi waktu itu saya lawan argumen dari konsultan Jepang. Saya meyakinkan bahwa bisa pasang bentangan tanpa tiang dan alhamdulillah, dengan perhitungan matang, semua berjalan sesuai rencana,” katanya.
Menjadi insinyur bukan cita-cita Arvila. Kebanyakan anak-anak lainnya ingin jadi guru, kadang-kadang juga ingin menjadi pilot. Tapi sejak SMA atas dorongan ibunya, dia harus bisa bekerja atau melanjutkan pendidikan hingga Strata 2. Perempuan dua anak kelahiran Tebing Tinggi Sumatera Utara ini diminta oleh sang ibu supaya bisa bekerja dan tidak seperti ibunya yang hanya berpendidikan SMA.
“Ayah saya itu tentara, berpindah-pindah tempat, sedangkan ibu saya asli Sumatera Utara, ketika tugas dibanding usia saya sudah empat tahun. Nah bapak melihat Bandung sepertinya tempat atau home base yang tepat. Maka di Bandunglah saya sampai sekarang,” katanya menerawang masa lalu.
Bersama keluarga, Arvila kerap mengunjungi tempat-tempat baru di berbagai pulau di Indonesia. Dari situ dia punya cita-cita bagaimana menyambungkan kehidupan warga yang dibatasi oleh sungai hingga laut sekalipun dengan beramal membangun jembatan.
“Saya kadang risih, Mas. Kalau ada anak sekolah yang sampai harus menyeberang melewati sungai berenang dan memakai ban bekas. Kalau mungkin sudah tua nanti saya bersedia menyiapkan desainnya dan mencarikan pendanaannya,” katanya.
Dari sekian proyek jembatan yang pernah didesain oleh Arvila bersama timnya, ada salah satu jembatan yang punya nilai besar bagi kemaslahatan umat. Nama jembatan itu adalah Jembatan Pedamaran I dan Pedamaran II di Bagan Siapi-api di Rokan Hilir. Arvila sendiri merasakan susahnya membangun jembatan tersebut karena selama mendesain, dia harus melewati tiga kota, yakni Jakarta-Bandung-Prov Riau, Jembatan itu melintasi dua sungai sekaligus. Arvila sendiri merasakan bagaimana rasanya melintasi dua sungai dari tempat tinggalnya di Bandung.
“Bagaimana masyarakat di sana. Sementara kapal feri tidak ada yang mau lewat situ karena harus memutari dua sungai. Bayangkan dari dua hari perjalanan dengan adanya jembatan ini, hanya bisa ditempuh selama enam jam,” kenangnya.
Bagi Arvila, membangun jembatan punya nilai kemaslahatan yang besar untuk masyarakat bila dibandingkan dengan bangunan atau struktur lain. (Ichsan Amin)
(nfl)