Potensi EBT Indonesia Besar, Pemanfaatannya Masih Terbatas
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Energi Terbarukan dan Lingkungan Hidup, Halim Kalla, menyatakan Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar dalam Energi Baru Terbarukan (EBT), terutama untuk ketenagalistrikan. Sumber-sumber energi tersebut mencakup panas bumi, air dan mikro-mini hidro, bioenergi, surya, angin, dan arus laut. Namun, pemanfaatannya masih terbatas.
"Potensi energi terbarukan yang dimiliki Indonesia untuk ketenagalistrikan mencapai 431 GW. Sayangnya pemanfaatannya masih terbatas," ungkap Halim Kalla dalam acara Biogas Asia Pacific Forum 2019 yang digelar di Gedung Tribrata, Jakarta.
Hal ini tak lepas dari iklim industri EBT masih sangat fluktuatif. Dari sisi industri, skema harga pembelian listrik melalui perhitungan BPP dianggap masih kurang kompetitif. Penyebabnya adalah perbedaan harga teknologi yang berasal dari sumber yang berbeda.
"Selain itu penambahan skema BOOT (build, own, operate, transfer) dianggap merugikan investor yang dampaknya, perbankan tidak mau menerima pembangkit listrik sebagai jaminan," lanjut Halim Kalla, Rabu (27/11/2019).
Dia menjelaskan, ada dua orientasi kebijakan yang perlu disinergikan. Di satu sisi, pemerintah memiliki target elektrifikasi dengan pemerataan listrik ke seluruh wilayah Indonesia. Di sisi lain, pemerintah juga ingin melakukan percepatan transformasi dari energi fosil ke EBT.
"Untuk itu, perlu adanya peraturan khusus yang dapat mengakomodasi kedua target tersebut," sambung Halim Kalla.
Dia melanjutkan, dalam 3 tahun terakhir, pelaku usaha merasakan sulitnya mengembangkan energi terbarukan. Ada beberapa faktor di lapangan yang secara langsung dialami para pelaku industri yang menghambat pengembangan EBT di Indonesia. Salah satunya terkait kebijakan dan regulasi yang dianggap hanya menguntungkan PLN.
Kondisi ini berdampak pada kegagalan menarik investasi sektor swasta ke sektor EBT. Selain itu, faktor penghambat lainnya adalah akses pembiayaan bunga rendah, kapasitas jaringan, dan terbatasnya proyek energi terbarukan yang bankable.
"Akibatnya investasi energi terbarukan terus turun sejak 2015," kata Halim.
Kadin menyodorkan beberapa rekomendasi terkait pengembangan EBT. Yang pertama, dibutuhkan adanya peraturan yang memprioritaskan pemanfaatan energi terbarukan dibandingkan energi tak terbarukan. Kedua, adanya pengaturan harga energi terbarukan berdasarkan jenis sumber energi terbarukan, lokasi dan kapasitas terpasang yang dibangun.
Apabila harga pembelian tenaga listrik yang ditetapkan lebih besar dari biaya produksi PLN, maka pemerintah harus menyediakan kompensasi kepada PLN. Ketiga, penyediaan insentif fiskal dan non-fiskal untuk percepatan investasi energi terbarukan hingga mencapai harga keekonomian.
Keempat, pembentukan Badan Pengelola Energi Terbarukan (BPET) yang akan berperan sentral untuk pencapaian target energi terbarukan dalam KEN sebesar 23% pada tahun 2025 dan penurunan emisi gas rumah kaca 29% pada tahun 2030 dari sektor energi.
Kelima, Pembentukan Dana Energi Terbarukan untuk menghimpun dana yang akan digunakan untuk mendorong percepatan investasi energi terbarukan, termasuk di dalamnya untuk penyediaan insentif, penelitian dan pengembangan, peningkatan kapasitas, kompensasi PLN, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan percepatan investasi energi terbarukan.
Untuk itulah, lanjut Halim Kalla, Kadin Indonesia bersama International Clean Energy & Sustainability Network (ICESN) menggelar Biogas Asia Pacific Forum 2019. Event ini merupakan upaya bersama dalam mendorong pengembangan EBT di Indonesia sebagai energi alternatif, khususnya yang terkait dengan pengembangan energi biogas. Dalam forum ini diharapkan menghasilkan solusi-solusi baru dalam implementasi bisnis biogas kedepan yang efisien dan berkelanjutan.
"Potensi energi terbarukan yang dimiliki Indonesia untuk ketenagalistrikan mencapai 431 GW. Sayangnya pemanfaatannya masih terbatas," ungkap Halim Kalla dalam acara Biogas Asia Pacific Forum 2019 yang digelar di Gedung Tribrata, Jakarta.
Hal ini tak lepas dari iklim industri EBT masih sangat fluktuatif. Dari sisi industri, skema harga pembelian listrik melalui perhitungan BPP dianggap masih kurang kompetitif. Penyebabnya adalah perbedaan harga teknologi yang berasal dari sumber yang berbeda.
"Selain itu penambahan skema BOOT (build, own, operate, transfer) dianggap merugikan investor yang dampaknya, perbankan tidak mau menerima pembangkit listrik sebagai jaminan," lanjut Halim Kalla, Rabu (27/11/2019).
Dia menjelaskan, ada dua orientasi kebijakan yang perlu disinergikan. Di satu sisi, pemerintah memiliki target elektrifikasi dengan pemerataan listrik ke seluruh wilayah Indonesia. Di sisi lain, pemerintah juga ingin melakukan percepatan transformasi dari energi fosil ke EBT.
"Untuk itu, perlu adanya peraturan khusus yang dapat mengakomodasi kedua target tersebut," sambung Halim Kalla.
Dia melanjutkan, dalam 3 tahun terakhir, pelaku usaha merasakan sulitnya mengembangkan energi terbarukan. Ada beberapa faktor di lapangan yang secara langsung dialami para pelaku industri yang menghambat pengembangan EBT di Indonesia. Salah satunya terkait kebijakan dan regulasi yang dianggap hanya menguntungkan PLN.
Kondisi ini berdampak pada kegagalan menarik investasi sektor swasta ke sektor EBT. Selain itu, faktor penghambat lainnya adalah akses pembiayaan bunga rendah, kapasitas jaringan, dan terbatasnya proyek energi terbarukan yang bankable.
"Akibatnya investasi energi terbarukan terus turun sejak 2015," kata Halim.
Kadin menyodorkan beberapa rekomendasi terkait pengembangan EBT. Yang pertama, dibutuhkan adanya peraturan yang memprioritaskan pemanfaatan energi terbarukan dibandingkan energi tak terbarukan. Kedua, adanya pengaturan harga energi terbarukan berdasarkan jenis sumber energi terbarukan, lokasi dan kapasitas terpasang yang dibangun.
Apabila harga pembelian tenaga listrik yang ditetapkan lebih besar dari biaya produksi PLN, maka pemerintah harus menyediakan kompensasi kepada PLN. Ketiga, penyediaan insentif fiskal dan non-fiskal untuk percepatan investasi energi terbarukan hingga mencapai harga keekonomian.
Keempat, pembentukan Badan Pengelola Energi Terbarukan (BPET) yang akan berperan sentral untuk pencapaian target energi terbarukan dalam KEN sebesar 23% pada tahun 2025 dan penurunan emisi gas rumah kaca 29% pada tahun 2030 dari sektor energi.
Kelima, Pembentukan Dana Energi Terbarukan untuk menghimpun dana yang akan digunakan untuk mendorong percepatan investasi energi terbarukan, termasuk di dalamnya untuk penyediaan insentif, penelitian dan pengembangan, peningkatan kapasitas, kompensasi PLN, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan percepatan investasi energi terbarukan.
Untuk itulah, lanjut Halim Kalla, Kadin Indonesia bersama International Clean Energy & Sustainability Network (ICESN) menggelar Biogas Asia Pacific Forum 2019. Event ini merupakan upaya bersama dalam mendorong pengembangan EBT di Indonesia sebagai energi alternatif, khususnya yang terkait dengan pengembangan energi biogas. Dalam forum ini diharapkan menghasilkan solusi-solusi baru dalam implementasi bisnis biogas kedepan yang efisien dan berkelanjutan.
(ven)