BI Buka-bukaan Soal Hitungan Dampak PPN 12 Persen ke Inflasi dan PDB
loading...
A
A
A
JAKARTA - Bank Indonesia (BI) menyebut kenaikan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN menjadi 12% yang akan diberlakukan pemerintah memiliki dampak yang terukur terhadap inflasi dan Produk Domestik Bruto (PDB).
Deputi Gubernur BI, Aida Suwandi Budiman menjelaskan, kenaikan PPN ini akan berlaku pada barang dan jasa premium, seperti bahan makanan premium, jasa pendidikan premium, pelayanan kesehatan medis premium, serta listrik pelanggan rumah tangga 3.500-6.600 VA.
Berdasarkan data Survei Biaya Hidup (SBH) 2022, barang-barang tersebut memiliki bobot 52,7 persen di dalam keranjang Indeks Harga Konsumen (IHK). Dia memaparkan, dampak kenaikan PPN terhadap inflasi dihitung berdasarkan asumsi historis Bank Indonesia, terkait tingkat pass-through ke harga barang.
"Berapa sih yang akan di passthru atau dijadikan langsung kenaikan harga, kan kalau pajak naik langsung harganya naik, itu kan kadang-kadang pengusaha juga bisa mengabsorb karena dia punya keuntungan dan lain-lain. Nah, berdasarkan historisnya sekitar 50 persen yang di pass trough. Nah, hitungannya ini mengakibatkan sekitar penambahan inflasi 0,2 persen. Tetapi apakah ini besar? Jawabannya tidak," jelas Aida dalam konferensi pers RDG BI di Jakarta, Rabu (18/12/2024).
Menurut Aida, inflasi akibat kenaikan PPN tetap terkendali dalam proyeksi target inflasi 2025 sebesar 2,5% plus minus 1%. Selain itu terdapat faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi inflasi, seperti penurunan harga komoditas global dan kebijakan moneter yang konsisten dari BI.
"Jangan lupa juga ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi, kan enggak hanya satu ya, PPN naik, tapi yang lain-lain juga itu harus dilihat," ungkapnya.
Terkait dampaknya pada PDB, Aida menyebutkan pengaruh kenaikan PPN ini relatif kecil. "Kalau hitungannya langsung-langsung juga enggak terlalu besar, sekitar 0,02 sampai 0,03 tetapi sekali lagi kita jangan hanya menghitung seperti itu," imbuhnya.
Aida juga mengungkapkan, pemerintah telah menyiapkan berbagai insentif ekonomi. Hal ini guna menjaga keseimbangan dampak dari kebijakan fiskal ini.
“Pemerintah juga melakukan berbagai macam insentif yang lainnya, seperti kemarin kan diumumkan tentang Paket Stimulus Ekonomi 2025. Ada berbagai macam di sana, termasuk ada penghapusan BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan), PBG (Persetujuan Bangunan Gedung), dan lain-lain. Dan ini kami lihat akibatnya dampaknya kepada PDB tidak terlalu minimal sekali," pungkas Aida.
Deputi Gubernur BI, Aida Suwandi Budiman menjelaskan, kenaikan PPN ini akan berlaku pada barang dan jasa premium, seperti bahan makanan premium, jasa pendidikan premium, pelayanan kesehatan medis premium, serta listrik pelanggan rumah tangga 3.500-6.600 VA.
Berdasarkan data Survei Biaya Hidup (SBH) 2022, barang-barang tersebut memiliki bobot 52,7 persen di dalam keranjang Indeks Harga Konsumen (IHK). Dia memaparkan, dampak kenaikan PPN terhadap inflasi dihitung berdasarkan asumsi historis Bank Indonesia, terkait tingkat pass-through ke harga barang.
"Berapa sih yang akan di passthru atau dijadikan langsung kenaikan harga, kan kalau pajak naik langsung harganya naik, itu kan kadang-kadang pengusaha juga bisa mengabsorb karena dia punya keuntungan dan lain-lain. Nah, berdasarkan historisnya sekitar 50 persen yang di pass trough. Nah, hitungannya ini mengakibatkan sekitar penambahan inflasi 0,2 persen. Tetapi apakah ini besar? Jawabannya tidak," jelas Aida dalam konferensi pers RDG BI di Jakarta, Rabu (18/12/2024).
Menurut Aida, inflasi akibat kenaikan PPN tetap terkendali dalam proyeksi target inflasi 2025 sebesar 2,5% plus minus 1%. Selain itu terdapat faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi inflasi, seperti penurunan harga komoditas global dan kebijakan moneter yang konsisten dari BI.
"Jangan lupa juga ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi, kan enggak hanya satu ya, PPN naik, tapi yang lain-lain juga itu harus dilihat," ungkapnya.
Terkait dampaknya pada PDB, Aida menyebutkan pengaruh kenaikan PPN ini relatif kecil. "Kalau hitungannya langsung-langsung juga enggak terlalu besar, sekitar 0,02 sampai 0,03 tetapi sekali lagi kita jangan hanya menghitung seperti itu," imbuhnya.
Aida juga mengungkapkan, pemerintah telah menyiapkan berbagai insentif ekonomi. Hal ini guna menjaga keseimbangan dampak dari kebijakan fiskal ini.
“Pemerintah juga melakukan berbagai macam insentif yang lainnya, seperti kemarin kan diumumkan tentang Paket Stimulus Ekonomi 2025. Ada berbagai macam di sana, termasuk ada penghapusan BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan), PBG (Persetujuan Bangunan Gedung), dan lain-lain. Dan ini kami lihat akibatnya dampaknya kepada PDB tidak terlalu minimal sekali," pungkas Aida.
(akr)