Kenapa Nadiem, Risa, atau Putri Tanjung Harus Pegang Kendali? (Bagian1)

Sabtu, 30 November 2019 - 07:02 WIB
Kenapa Nadiem, Risa,...
Kenapa Nadiem, Risa, atau Putri Tanjung Harus Pegang Kendali? (Bagian1)
A A A
Dua minggu ini para pemimpin milenial mendapat angin segar. Nadiem Makarim diangkat menjadi Mendikbud; Risa Santoso menjadi rektor termuda; dan terakhir minggu lalu 7 milenial diangkat menjadi Staf Khusus Jokowi.

Posisi-posisi penting di organisasi pemerintahan (eselon 1, 2, 3), di organisasi bisnis (posisi Manager dan GM ke atas), maupun organisasi nirlaba saat ini dipegang oleh para pemimpin dari generasi Baby Boomers (lahir 1946-1964) dan Generasi-X (lahir 1965-1980).

Memang, pemimpin milenial (lahir 1980-2000) kini seharusnya menduduki level kepemimpinan bawah-tengah organisasi. Karenanya tak heran ketika ada pemimpin dari kalangan milenial yang menduduki posisi kunci seperti menteri, rektor, atau staf khusus presiden kita menjadi heboh.

Namun keyakinan saya,makin banyaknya pemimpin milenial yang menduduki posisi-posisi teratas organisasi (menteri, dirjen, gubernur/bupati, CEO/direktur/GM) bakal menjadi sebuah “keniscayaan” karena adanya tuntutan perubahan dahsyat, ekstrim, dan super cepat yang kini sedang kita alami bersama.

Banyak sebutan diberikan para pakar kepada perubahan ekstrim itu: VUCA: “Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity” (Bennis-Nanus), “Inflection Point” (Andy Grove), “Disruption” (Clayton Christensen), Revolusi Industri 4.0 (Klaus Schwab), “The Age of Acceleration” (Thomas Friedman).

Menariknya, semua pakar sepakatbahwa perubahan itu tak lagi linier/inkremental tapi bersifat “patahan” (tectonicshift) dimana terjadi “keterlepasan” (decoupling) antara era lama dan era baru.

Artinya, era baru bukanlah kelanjutan (kontinuitas) dari era sebelumnya. Artinya, “newnormal” yang dihasilkan oleh perubahan dahsyat tersebut sama sekali berbeda dari sebelumnya. Artinya, paradigma baru berbeda sama sekali dari sebelumnya.

Apa akibatnya jika perubahan itu berupa patahan bukan kontinuitas?

Akibatnya, pemimpin Boomers dan Gen-X yang begitu mumpuni bergumul dengan tantangan-tantangan era lama menjadi tak relevan lagi di era baru yang kini kita hadapi.

Kearifan (wisdom), gaya kepemimpinan (leadershipstyle), kompetensi, nilai-nilai (values), perilaku (behavior/habit) mereka yang begitu ampuh menjadi solusi di era lama kini mandulalias tak mempan lagi menyelesaikan persoalan-persoalan kekinian di era baru.

Berikut ini adalah alasan-alasan kenapa para pemimpin Boomers/Gen-X harus mulai mau legowo untuk menyerahkan “tampuk kekuasaannya” kepada para pemimpin milenial agar organisasi lebih cakap dan bisa keluar dari kemelut perubahan ekstrim di era baru.

Era Baru, Eranya Milenial
“Setiap zaman ada generasinya, setiap generasi ada zamannya.” Era kepemimpinan Boomers/Gen-X kini telah lewat dan harus digantikan oleh era kepemimpinan baru, yaitu era kepemimpinan milenial.

Pemimpin milenial dilahirkan dan dibesarkan di tengah tantangan-tantangan era baru: krismon 1998, alam demokrasi-reformasi, gejolak sosial-politik berbau SARA awal 2000an, revolusi digital (internet, media sosial, apps) pertengahan 2000an, krisis global 2008, dan terakhir revolusi industri 4.0 (big data, AI, IoT, hingga blockchain).

Karena dilahirkan dan dibesarkan di tengah-tengah tantangan era baru, maka pola pikir, pola tindak, kecepatan respons, dan solusi yang mereka tawarkan kompatibel dengan situasi dan tantangan era baru. Pemimpin milenial terlahir untuk menjadi “obat penawar” bagi carut-marut persoalan era baru.

Pemimpin Boomers/Gen-X sebaliknya. Mereka terlahir dan dibesarkan di era lama yang berbeda sama sekali (decoupling) dengan era baru. Sehingga keyakinan, pola pikir, pola tindak, gaya kepemimpinan, pendekatan solusi yang mereka miliki kini sudah obsolet dan mulai tak kompatibel lagi dengan persoalan dan tantangan era baru.

Kualitas kepemimpinan Boomers/Gen-X hanya ampuh untuk mensolusikan persoalan dan tantangan era lama, namun tidak demikian halnya untuk era baru.

Konsekuensinya amat serius: Pemimpin Boomers/Gen-X banyak mengalami “gagal paham”, “gagal respons”, dan “gagal solusi” dalam menyelesaikan persoalan dan tantangan era baru. Mereka gagap di era yang baru. Wajar saja karena seumur-umur mereka tak pernah menemui dan mengalaminya.

Era disrupsi dan perubahan ekstrim adalah eranya milenial, bukan Boomer/Gen-X.. Bersambung (Bagian pertama dari dua tulisan)
Yuswohady

Managing Partner



(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6427 seconds (0.1#10.140)