Daya Tahan Ekonomi Indonesia Diyakini Tetap Kuat di 2020
A
A
A
JAKARTA - Pengamat pemasaran Yuswohady menilai tahun depan kurang menguntungkan karena masih dibayangi lambannya pertumbuhan ekonomi global yang disebabkan perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China. Bahkan, tidak menutup kemungkinan terjadi krisis ekonomi global apabila perang dagang berlanjut
"Trade war ini imbasnya sampai Eropa bahkan Amerika Latin dan Asia. Kalau ini terus berlanjut tidak menutup kemungkinan akan terjadi krisis global," ujarnya di Jakarta, Senin (30/12/2019).
Meski demikian, kata Yuswohady, hal itu tidak perlu dikhawatirkan karena pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan masih berada di angka 5%. Kalau pun turun, imbuh dia, tidak akan signifikan. Meski terjadi krisis global, Yuswohady yakin Indonesia akan mampu bertahan seperti yang pernah terjadi pada 2008-2009 lalu.
"Kendati terjadi krisis global, Indonesia masih bertahan. Itu terbukti saat terjadi krisis 2008-2009 lalu," kata dia.
Yuswo membeberkan, ketahanan ekonomi Indonesia kuat karena ditopang konsumsi sebesar 56% dibandingkan produksi. Sebab itu, ekonomi nasional tidak terlalu terpengaruh perang dagang. Kondisi itu berbeda dengan sejumlah negara yang mengandalkan ekspor seperti Jerman, Hong Kong, Korea dan Singapura.
"Mereka begitu ekspornya drop maka ekonomi akan jatuh. Berbeda dengan Indonesia, account defisit-nnya masih tertolong dari konsumsi penduduknya yang banyak," kata dia.
Tidak hanya itu, musim pilkada tahun depan juga dianggap mampu menciptakan daya tahan ekonomi. "Spending bakal calon untuk kampanye itu akan menggerakkan industri kendaraan motor," kata dia.
Dia mengatakan bahwa indikator pertumbuhan konsumsi Indonesia tahun depan diproyeksikan masih tumbuh 5%. Pertumbuhan konsumsi didominasi dari dari konsumsi milenial seperti coffe shop. Selain itu, pertumbuhan ekonomi tahun depan juga masih ditopang dari industri digital.
Yuswo meramalkan, pada 2020 digitalisasi industri akan berkembang di sektor pendidikan dan kesehatan, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang mendominasi sektor media, ritel dan fintech.
Namun yang perlu diwaspadai menurutnya ialah industri manufaktur. Di tengah lambannya pertumbuhan ekonomi tahun depan, industri manufaktur harus lebih kreatif melakukan inovasi supaya bebannya tidak terlalu berat. "Walapun berat itu tidak sampai menimbulkan gejolak sosial. Tapi memang perlu waspada," kata dia.
"Trade war ini imbasnya sampai Eropa bahkan Amerika Latin dan Asia. Kalau ini terus berlanjut tidak menutup kemungkinan akan terjadi krisis global," ujarnya di Jakarta, Senin (30/12/2019).
Meski demikian, kata Yuswohady, hal itu tidak perlu dikhawatirkan karena pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan masih berada di angka 5%. Kalau pun turun, imbuh dia, tidak akan signifikan. Meski terjadi krisis global, Yuswohady yakin Indonesia akan mampu bertahan seperti yang pernah terjadi pada 2008-2009 lalu.
"Kendati terjadi krisis global, Indonesia masih bertahan. Itu terbukti saat terjadi krisis 2008-2009 lalu," kata dia.
Yuswo membeberkan, ketahanan ekonomi Indonesia kuat karena ditopang konsumsi sebesar 56% dibandingkan produksi. Sebab itu, ekonomi nasional tidak terlalu terpengaruh perang dagang. Kondisi itu berbeda dengan sejumlah negara yang mengandalkan ekspor seperti Jerman, Hong Kong, Korea dan Singapura.
"Mereka begitu ekspornya drop maka ekonomi akan jatuh. Berbeda dengan Indonesia, account defisit-nnya masih tertolong dari konsumsi penduduknya yang banyak," kata dia.
Tidak hanya itu, musim pilkada tahun depan juga dianggap mampu menciptakan daya tahan ekonomi. "Spending bakal calon untuk kampanye itu akan menggerakkan industri kendaraan motor," kata dia.
Dia mengatakan bahwa indikator pertumbuhan konsumsi Indonesia tahun depan diproyeksikan masih tumbuh 5%. Pertumbuhan konsumsi didominasi dari dari konsumsi milenial seperti coffe shop. Selain itu, pertumbuhan ekonomi tahun depan juga masih ditopang dari industri digital.
Yuswo meramalkan, pada 2020 digitalisasi industri akan berkembang di sektor pendidikan dan kesehatan, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang mendominasi sektor media, ritel dan fintech.
Namun yang perlu diwaspadai menurutnya ialah industri manufaktur. Di tengah lambannya pertumbuhan ekonomi tahun depan, industri manufaktur harus lebih kreatif melakukan inovasi supaya bebannya tidak terlalu berat. "Walapun berat itu tidak sampai menimbulkan gejolak sosial. Tapi memang perlu waspada," kata dia.
(fjo)