Produk Tembakau yang Dipanaskan Berbeda dengan Rokok Elektrik
A
A
A
JAKARTA - Produk tembakau yang dipanaskan (heated tobacco product) merupakan salah satu inovasi dari hasil pengembangan teknologi di industri tembakau. Produk ini dihadirkan untuk membantu perokok dewasa beralih ke produk tembakau yang memiliki risiko lebih rendah daripada rokok, sehingga pada akhirnya dapat berhenti merokok.
Namun, publik belum mendapatkan informasi yang komprehensif mengenai produk ini. Sehingga kebanyakan orang menganggap produk ini berbahaya bagi kesehatan. Padahal, berdasarkan hasil sejumlah kajian ilmiah, produk tembakau alternatif memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah daripada rokok.
Dosen Patologi Klinik dari Universitas Trisakti, Mario Loa, menceritakan pengalamannya setelah beralih dari rokok menjadi pengguna produk tembakau yang dipanaskan (heated tobacco product) dalam tujuh bulan terakhir ini.
Menurut dia ada perubahan positif terhadap saluran pernapasannya. "Produksi lendir pada saluran napas saya berkurang. Saya bernapas lebih panjang dan tidak terganggu ketika melakukan aktivitas berat," katanya kepada wartawan, Kamis (2/1/2020).
Selain memperbaiki kualitas pernapasan, Mario menjelaskan produk tembakau yang dipanaskan tidak menghasilkan asap, abu, dan memiliki bau yang tidak melekat pada pakaian. "Untuk orang-orang yang berada di sekitar pun menjadi tidak terganggu dengan uap yang dihasilkan dari produk ini," ujar Mario.
Berbeda dengan rokok elektrik yang menggunakan cairan nikotin, produk tembakau yang dipanaskan menggunakan bahan tembakau asli dan bekerja dengan cara memanaskan batang tembakau tersebut. Pemanasan dilakukan pada suhu tertentu sehingga hanya menghasilkan uap yang mengantarkan nikotin. Karena dipanaskan, maka produk ini ini tidak menghasilkan TAR dan mengandung zat kimia berbahaya yang jauh lebih rendah daripada rokok.
Namun, kata Mario, produk tembakau yang dipanaskan tetap memiliki risiko bagi kesehatan. "Dari literatur penelitian independen dikatakan produk tembakau yang dipanaskan tidak lebih berbahaya dari rokok, justru lebih rendah jika dibandingkan dengan rokok. Namun bukan berarti tidak berbahaya, semua itu hanya masalah pilihan masing-masing individu," katanya.
Institut Federal Jerman untuk Penilaian Risiko (German Federal Institute for Risk Assessment) pada 2018 lalu melaporkan produk tembakau yang dipanaskan memiliki tingkat toksisitas (tingkat merusak suatu sel) yang lebih rendah hingga 80%-99% daripada rokok.
Hasil penelitian dari UK Committee on Toxicology (COT), bagian dari Food Standards Agency, juga menunjukkan kesimpulan yang positif bagi produk tembakau yang dipanaskan. COT menyimpulkan bahwa produk tersebut mengurangi bahan kimia berbahaya sebesar 50% hingga 90% dibandingkan dengan asap rokok.
Saat ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mendorong rencana pelarangan total terhadap rokok elektrik dan produk tembakau alternatif lainnya. Sebagai konsumen, Mario keberatan jika rencana pelarangan tersebut diterapkan.
Menurut dia, pelarangan justru berdampak negatif bagi konsumen dan negara. "Daripada dibuat larangan, sebaiknya pemerintah membuat regulasi mengenai kandungan apa saja yang boleh maupun tidak boleh," ujarnya.
Untuk saat ini, Mario menyarankan Kemenkes bersama BPOM melakukan kajian ilmiah yang komprehensif terhadap segala jenis produk tembakau alternatif. "Pengaruhnya ini besar sekali dalam pembuatan regulasi. Karena melalui kajian ilmiah, baik pemerintah, produsen, penjual, serta pengguna, akan sama-sama mendapaktan informasi yang akurat," tutupnya.
Namun, publik belum mendapatkan informasi yang komprehensif mengenai produk ini. Sehingga kebanyakan orang menganggap produk ini berbahaya bagi kesehatan. Padahal, berdasarkan hasil sejumlah kajian ilmiah, produk tembakau alternatif memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah daripada rokok.
Dosen Patologi Klinik dari Universitas Trisakti, Mario Loa, menceritakan pengalamannya setelah beralih dari rokok menjadi pengguna produk tembakau yang dipanaskan (heated tobacco product) dalam tujuh bulan terakhir ini.
Menurut dia ada perubahan positif terhadap saluran pernapasannya. "Produksi lendir pada saluran napas saya berkurang. Saya bernapas lebih panjang dan tidak terganggu ketika melakukan aktivitas berat," katanya kepada wartawan, Kamis (2/1/2020).
Selain memperbaiki kualitas pernapasan, Mario menjelaskan produk tembakau yang dipanaskan tidak menghasilkan asap, abu, dan memiliki bau yang tidak melekat pada pakaian. "Untuk orang-orang yang berada di sekitar pun menjadi tidak terganggu dengan uap yang dihasilkan dari produk ini," ujar Mario.
Berbeda dengan rokok elektrik yang menggunakan cairan nikotin, produk tembakau yang dipanaskan menggunakan bahan tembakau asli dan bekerja dengan cara memanaskan batang tembakau tersebut. Pemanasan dilakukan pada suhu tertentu sehingga hanya menghasilkan uap yang mengantarkan nikotin. Karena dipanaskan, maka produk ini ini tidak menghasilkan TAR dan mengandung zat kimia berbahaya yang jauh lebih rendah daripada rokok.
Namun, kata Mario, produk tembakau yang dipanaskan tetap memiliki risiko bagi kesehatan. "Dari literatur penelitian independen dikatakan produk tembakau yang dipanaskan tidak lebih berbahaya dari rokok, justru lebih rendah jika dibandingkan dengan rokok. Namun bukan berarti tidak berbahaya, semua itu hanya masalah pilihan masing-masing individu," katanya.
Institut Federal Jerman untuk Penilaian Risiko (German Federal Institute for Risk Assessment) pada 2018 lalu melaporkan produk tembakau yang dipanaskan memiliki tingkat toksisitas (tingkat merusak suatu sel) yang lebih rendah hingga 80%-99% daripada rokok.
Hasil penelitian dari UK Committee on Toxicology (COT), bagian dari Food Standards Agency, juga menunjukkan kesimpulan yang positif bagi produk tembakau yang dipanaskan. COT menyimpulkan bahwa produk tersebut mengurangi bahan kimia berbahaya sebesar 50% hingga 90% dibandingkan dengan asap rokok.
Saat ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mendorong rencana pelarangan total terhadap rokok elektrik dan produk tembakau alternatif lainnya. Sebagai konsumen, Mario keberatan jika rencana pelarangan tersebut diterapkan.
Menurut dia, pelarangan justru berdampak negatif bagi konsumen dan negara. "Daripada dibuat larangan, sebaiknya pemerintah membuat regulasi mengenai kandungan apa saja yang boleh maupun tidak boleh," ujarnya.
Untuk saat ini, Mario menyarankan Kemenkes bersama BPOM melakukan kajian ilmiah yang komprehensif terhadap segala jenis produk tembakau alternatif. "Pengaruhnya ini besar sekali dalam pembuatan regulasi. Karena melalui kajian ilmiah, baik pemerintah, produsen, penjual, serta pengguna, akan sama-sama mendapaktan informasi yang akurat," tutupnya.
(ven)