Penurunan Kemiskinan di Indonesia Bakal Hadapi 4 Tantangan Serius

Senin, 17 Februari 2020 - 10:11 WIB
Penurunan Kemiskinan di Indonesia Bakal Hadapi 4 Tantangan Serius
Penurunan Kemiskinan di Indonesia Bakal Hadapi 4 Tantangan Serius
A A A
JAKARTA - Penurunan kemiskinan di Indonesia mendapatkan empat tantangan serius, dimana pertama yakni perlambatan ekonomi. Selanjutnya sifat kemiskinan yang satu digit (the last mile problem), ketidakpastian ekonomi global dan nasional yang semakin besar hingga korupsi yang sudah akut.

Hal tersebut di atas akan mempersulit tujuan pertama Sustainable Development Goals (SDGs) yang menyebutkan bahwa tahun 2030, dunia terbebas dari kemiskinan, tidak terkecuali Indonesia. Seperti diketahui, penurunan angka kemiskinan sejak tahun 1970 memang menunjukkan capaian yang luar biasa dengan penurunan lebih dari 50% .

Pada tahun 1970, tingkat kemiskinan di Indonesia mencapai 60%. Per September 2019, tingkat kemiskinannya turun menjadi 9,22% untuk menjadi ebuah capaian yang perlu diapresiasi.

Peneliti Senior Indef Rusli Abdullah memaparkan, tantangan pertama yakni mengenai perlambatan Ekonomi. Hal ini terlihat dari elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap angka kemiskinan periode 2010-2014 dibandingkan dengan 2015-2019.

Pada periode 2010-2014 di mana pertumbuhan ekonomi nasional pernah mencapai 6%, rata-rata elastisitas pertumbuhan ekonomi dalam penurunan kemiskinan sebesar 0,53%. Sedangkan pada periode 2015-2019 sebesar 0,43%

"Semakin rendah elastisitas, maka semakin rendah kemampuan pertumbuhan ekonomi dalam menurunkan kemiskinan atau dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi semakin tidak responsif/elastis terhadap penurunan angka kemiskinan," kata Rusli di Jakarta.

Lalu tantangan kedua terang dia, adalah the last mile problem atau tantangan etape terakhir kemiskinan. Pasalnya, angka kemiskinan dari level 20% ke 15% lebih mudah dibandingkan dengan menurunkan angka kemiskinan dari 9% ke 8%.

Pada kemiskinan 20%, kebijakan padat karya dan penyertaan modal usaha bisa mengentaskan angka kemiskinan, namun tidak pada level satu digit. Hal ini disebabkan perbedaan karakteristik orang-orang yang berada di kelompok dua digit dan satu digit kemiskinan.

"Pada level double digit, orang miskin yang melekat adalah mereka memiliki level pendidikan layak, akses kesehatan bagus, namun belum beruntung dalam akses ekonomi. Oleh karenanya kebijakan bersifat ke ekonomi bisa lebih mudah dalam mengentaskan mereka dari jurang kemiskinan," paparnya.

Sambung dia tantangan ketiga, ketidapastian global dan nasional yang semakin uncertain. Ketidapastian tersebut sering disebut Black Swan Theori yakni pristiwa langka yang sulit diprediksi, namun saat terjadi akan berdampak besar dan di luar perkiraan umum.

Sedangkan Uncertainty akan berpengaruh terhadap kebijakan ekonomi nsaional dalam rangka mencapai pertumbuhan yang optimal dan inklusif yang berujung pada pengurangan angka kemiskinan. "Peristiwa langka yang sulit diprediksi, namun saat terjadi akan berdampak besar dan di luar perkiraan umum dalam 1 tahun terakhir antara lainnya seperti Virus Corona," jelasnya

Lalu tantangan keempat adalah korupsi. Pasalnya, korupsi membuat alokasi sumber daya ekonomi tidak efisien dan terkonsentrasi hanya pada satu dua kelompok/entitas. "Korupsi juga menjadi sumber ketimpangan. Karena akses sumber daya ekonomi tidak merata dan hanya dikuasai oleh kelompok tertentu," tegas Rusli.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 4.0986 seconds (0.1#10.140)