Industri Hotel Merugi Rp21,5 T, Separuh Karyawan Dirumahkan
A
A
A
JAKARTA - Okupansi hotel terus menurun sejak mewabahnya virus corona. Kondisi ini membuat perusahaan mengambil keputusan untuk merumahkan karyawannya.
Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia(PHRI) Hariyadi B Sukamdani mengatakan, keputusan untuk mulai merumahkan karyawan perhotelan bukan murni pemutusan hubungan kerja (PHK).
Menurut dia, ada tiga jenis kategori karyawan yakni harian, karyawan kontrak, dan karyawan tetap. Untuk daily worker atau pekerja harian, saat ini tidak dipakai. Sementara sebagian karyawan kontrak maupun karyawan tetap memangsudah mulai dirumahkan. Langkah ini dilakukan demi menjaga cashflow atau arus kas dan menekan biaya operasional. (Baca: RI Positif Coruna, Okupansi Hotel Turun 40% Dalam Tiga Hari Terakhir)
”Yang karyawan kontrak dan permanen seperti di Bali, itu mereka masuknya giliran. Karena perusahaan harus jaga cashflow. Sekarang perusahaan coba menurunkan 50% biaya tenaga kerja,” ujarnya di Jakarta kemarin.
Hariyadi melanjutkan, memotong biaya tenaga kerja dengan cara masuk bergantian juga terjadi pada restoran. Hanya, karyawan restoran relatif sedikit, tidak sebanyak karyawan hotel.
”Di hotel dan restoran mau tidak mau melalui cara bergantian, giliran masuknya, yang intinya adalah mengurangi beban jadi 50%. Paling tidak kita harus mencapai 30%. Sedangkan untuk pekerja lepas, yang harian, itu beda lagi,” jelasnya.
Rugi Rp21,5 Triliun
Pada kesempatan itu, Haryadi juga mengungkapkan akibat mewabahnya virus corona, industri perhotelan mengalami kerugian sekitar USD1,5 miliar atau setara dengan Rp21,5 triliun (kurs Rp14.324).
Hal ini berdasarkan perhitungan dari turis China yang datang ke Indonesia mencapai 2 juta orang pada tahun lalu di mana spending per kali datang sebesar USD1.100. Disusul pembatalan dari negara lain dan domestik sehingga berdampak pada sektor pariwisata.
“Perkiraan kita, ambil separuhnya saja karena peak season China adalah Januari-Februari ketika Chinese New Year. Mulai awal Februari tidak ada pesawat China ke sini. Jadi kita baru asumsi separuhnya saja, itu baru USD1,1 miliar,” ujar Ketua Umum PHRI Hariyadi B Sukamdani di Jakarta kemarin.
Hariyadi melanjutkan, dari negara-negara yang membatalkan dan domestik yang tidak jadi bepergian diperkirakan mencapai USD400 juta. “Jadi, paling tidak USD1,5 miliar sudah terjadi di sektor pariwisata. Belum hitung sektor lainnya,” jelasnya.
Dia menuturkan, apabila ini terus berlanjut, maka akan berdampak lebih besar lagi terhadap sektor pariwisata. Ditambah lagi pameran wisata terbesar dunia, Internationale Tourismus-Börse (ITB) Berlin 2020 telah dibatalkan. Hal ini menjadi kerugian besar karena transaksi di ITB Berlin untuk mengisi liburan musim panas dari Mei sampai September.
“Dan jangan lupa bahwa USD1,5 miliar itu di industri perhotelan dan restoran, harus dihitung juga di supplier-nya. Supply chain untuk hotel saja sudah mencakup lebih dari 500 jenis untuk operasional sehari-hari. Itu juga termasuk UKM. Jadi ini tidak semudah yang dibayangkan dan bisa menghentikan kegiatan ekonomi kita,” jelasnya.
Hariyadi menuturkan, stimulus dari pemerintah memang belum berdampak karena tertutup kepanikan masyarakat. Menurut dia, pemberian insentif untuk mendorong peningkatan wisatawan Nusantara melalui diskon tiket pesawat sudah tepat.
“Sebenarnya stimulusnya sudah tepat. Tapi kalau masyarakat panik, mereka tidak akan bepergian. Dan stimulus pajak sudah tepat, hanya masalahnya seberapa cepat bisa dieksekusi,” tuturnya. (Baca juga: Menkeu: Insentif Pajak Hotel dan restoran Berlaku April 2020)
Sementara stimulus pariwisata yang terkait dengan penghapusan pajak hotel dan restoran juga dinilai sudah tepat. Hanya saja, eksekusinya membutuhkan waktu.
“Karena konsep dari pemerintah pusat adalah untuk mengganti pendapatan dari pajak hotel dan restoran yang hilang karena dinolkan. Sebenarnya kalau kita lihat dampak yang terjadi ini, tidak hanya terbatas pada daerah 10 destinasi saja,” imbuhnya.
Deputi Bidang Industri dan Investasi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Fadjar Hutomo mengatakan, mekanisme hibah pariwisata atau penghapusan pajak hotel dan restoran dalam tahap koordinasi dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Adapun yang dilakukan tahap awal adalah koordinasi dengan 36 kabupaten/kota yang diidentifikasi sebagai destinasi wisata terdampak.
“Kami berkoordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) untuk pertama, berdasarkan performa tahun lalu, berapa potential loss yang akan diterima daerah karena pajak restoran hotel masuk ke pajak daerah. Ini disiapkan mitigasi oleh Kemenkeu,” jelasnya.
Menurut dia, Kemenkeu sudah merumuskan mekanismenya sehingga diharapkan bisa segera diimplementasikan. “Kami juga sedang menunggu itu. Semoga April dijalankan secara temporer, ada masa berlaku yakni enam bulan,” ujarnya. (Oktiani Endarwati)
Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia(PHRI) Hariyadi B Sukamdani mengatakan, keputusan untuk mulai merumahkan karyawan perhotelan bukan murni pemutusan hubungan kerja (PHK).
Menurut dia, ada tiga jenis kategori karyawan yakni harian, karyawan kontrak, dan karyawan tetap. Untuk daily worker atau pekerja harian, saat ini tidak dipakai. Sementara sebagian karyawan kontrak maupun karyawan tetap memangsudah mulai dirumahkan. Langkah ini dilakukan demi menjaga cashflow atau arus kas dan menekan biaya operasional. (Baca: RI Positif Coruna, Okupansi Hotel Turun 40% Dalam Tiga Hari Terakhir)
”Yang karyawan kontrak dan permanen seperti di Bali, itu mereka masuknya giliran. Karena perusahaan harus jaga cashflow. Sekarang perusahaan coba menurunkan 50% biaya tenaga kerja,” ujarnya di Jakarta kemarin.
Hariyadi melanjutkan, memotong biaya tenaga kerja dengan cara masuk bergantian juga terjadi pada restoran. Hanya, karyawan restoran relatif sedikit, tidak sebanyak karyawan hotel.
”Di hotel dan restoran mau tidak mau melalui cara bergantian, giliran masuknya, yang intinya adalah mengurangi beban jadi 50%. Paling tidak kita harus mencapai 30%. Sedangkan untuk pekerja lepas, yang harian, itu beda lagi,” jelasnya.
Rugi Rp21,5 Triliun
Pada kesempatan itu, Haryadi juga mengungkapkan akibat mewabahnya virus corona, industri perhotelan mengalami kerugian sekitar USD1,5 miliar atau setara dengan Rp21,5 triliun (kurs Rp14.324).
Hal ini berdasarkan perhitungan dari turis China yang datang ke Indonesia mencapai 2 juta orang pada tahun lalu di mana spending per kali datang sebesar USD1.100. Disusul pembatalan dari negara lain dan domestik sehingga berdampak pada sektor pariwisata.
“Perkiraan kita, ambil separuhnya saja karena peak season China adalah Januari-Februari ketika Chinese New Year. Mulai awal Februari tidak ada pesawat China ke sini. Jadi kita baru asumsi separuhnya saja, itu baru USD1,1 miliar,” ujar Ketua Umum PHRI Hariyadi B Sukamdani di Jakarta kemarin.
Hariyadi melanjutkan, dari negara-negara yang membatalkan dan domestik yang tidak jadi bepergian diperkirakan mencapai USD400 juta. “Jadi, paling tidak USD1,5 miliar sudah terjadi di sektor pariwisata. Belum hitung sektor lainnya,” jelasnya.
Dia menuturkan, apabila ini terus berlanjut, maka akan berdampak lebih besar lagi terhadap sektor pariwisata. Ditambah lagi pameran wisata terbesar dunia, Internationale Tourismus-Börse (ITB) Berlin 2020 telah dibatalkan. Hal ini menjadi kerugian besar karena transaksi di ITB Berlin untuk mengisi liburan musim panas dari Mei sampai September.
“Dan jangan lupa bahwa USD1,5 miliar itu di industri perhotelan dan restoran, harus dihitung juga di supplier-nya. Supply chain untuk hotel saja sudah mencakup lebih dari 500 jenis untuk operasional sehari-hari. Itu juga termasuk UKM. Jadi ini tidak semudah yang dibayangkan dan bisa menghentikan kegiatan ekonomi kita,” jelasnya.
Hariyadi menuturkan, stimulus dari pemerintah memang belum berdampak karena tertutup kepanikan masyarakat. Menurut dia, pemberian insentif untuk mendorong peningkatan wisatawan Nusantara melalui diskon tiket pesawat sudah tepat.
“Sebenarnya stimulusnya sudah tepat. Tapi kalau masyarakat panik, mereka tidak akan bepergian. Dan stimulus pajak sudah tepat, hanya masalahnya seberapa cepat bisa dieksekusi,” tuturnya. (Baca juga: Menkeu: Insentif Pajak Hotel dan restoran Berlaku April 2020)
Sementara stimulus pariwisata yang terkait dengan penghapusan pajak hotel dan restoran juga dinilai sudah tepat. Hanya saja, eksekusinya membutuhkan waktu.
“Karena konsep dari pemerintah pusat adalah untuk mengganti pendapatan dari pajak hotel dan restoran yang hilang karena dinolkan. Sebenarnya kalau kita lihat dampak yang terjadi ini, tidak hanya terbatas pada daerah 10 destinasi saja,” imbuhnya.
Deputi Bidang Industri dan Investasi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Fadjar Hutomo mengatakan, mekanisme hibah pariwisata atau penghapusan pajak hotel dan restoran dalam tahap koordinasi dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Adapun yang dilakukan tahap awal adalah koordinasi dengan 36 kabupaten/kota yang diidentifikasi sebagai destinasi wisata terdampak.
“Kami berkoordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) untuk pertama, berdasarkan performa tahun lalu, berapa potential loss yang akan diterima daerah karena pajak restoran hotel masuk ke pajak daerah. Ini disiapkan mitigasi oleh Kemenkeu,” jelasnya.
Menurut dia, Kemenkeu sudah merumuskan mekanismenya sehingga diharapkan bisa segera diimplementasikan. “Kami juga sedang menunggu itu. Semoga April dijalankan secara temporer, ada masa berlaku yakni enam bulan,” ujarnya. (Oktiani Endarwati)
(ysw)