Bukan Milenial, Covid-19 Jadi Katalisator Work from Home
A
A
A
Yuswohady
Managing Partner Inventure
www.yuswohady.com
Dalam buku Millennials Kill Everything, saya meramalkan bahwa generasi milenial bakal “membunuh” jam kerja “9 to 5” karena mereka mulai bekerja di rumah ( work from home/WFH ).
Surprisingly, dalam beberapa hari ini, sejak muncul pengumuman korban meninggal akibat virus Covid-19, sekonyong-konyong WFH langsung naik daun di Indonesia.
Tak sekadar omongan di antara netizen di medsos, tapi karyawan baik negeri maupun swasta kini struggling bereksperimen untuk mencoba model bekerja gaya baru, yaitu WFH.
Rupanya “pembunuhan” jam kerja “9 to 5” tak hanya dilakukan oleh milenial, tapi juga oleh Covid-19. Wabah telah menjadi katalisator menuju budaya kerja baru, yaitu bekerja di rumah.
Akankah WFH menjadi kenormalan baru bahkan setelah krisis Covid-19 berakhir?
Belajar dari apa yang terjadi di China, Covid-19 telah memaksa karyawan untuk menerapkan pola kerja baru, yaitu bekerja di rumah.
Seperti di Indonesia, di China WFH merupakan hal yang tidak biasa karena sejak awal mereka tidak mengenal tradisi bekerja di rumah. Namun, sejak 3 Februari lalu saat pemerintah mengumumkan lockdown dan meminta masyarakat tinggal di rumah, semuanya berubah drastis.
Mulai saat itu mereka “dipaksa” untuk bekerja di rumah karena memang tidak ada pilihan lain. (Baca: Imbas Corona, Pemerintah Diminta Tunda Cicilan Bank bagi Pedagang Kecil)
Responsnya bermacam-macam. Ada yang protes karena bosnya terlalu instruksif dan tak percaya pada anak buah. Ada yang tak bisa fokus bekerja di rumah karena “gangguan” anak-anak. Ada yang sama sekali tidak bisa bekerja karena memang baru pertama kali menjalani WFH.
Di sisi lain ada juga yang nyaman dan merasakan produktivitas lebih tinggi. Banyak juga dari mereka yang menemukan life-work balance karena punya banyak waktu berkumpul dengan anak-anak.
Kita sekarang ini mengalami hal yang sama. Walaupun baru sebagian kantor yang menerapkan WFH kepada para karyawannya, namun seiring dengan pengumuman pemerintah terkait korban meninggal yang meroket akibat wabah Covid-19, kita akan “dipaksa” untuk mempraktikkan WFH.
Karena itu, saya menyebut, dalam beberapa minggu ke depan para karyawan akan “dipaksa” oleh keadaan untuk melakukan “eksperimen massal” mempraktikkan WFH.
Seperti umumnya eksperimen, karyawan akan mengalami secara langsung bagaimana enak dan tidak enaknya WFH. Seperti di China, ada yang mengeluh karena tidak bisa bekerja karena tidak biasa. Ada yang komplain kepada bosnya karena rewel minta ampun. Tapi, barangkali ada juga yang sudah nyaman dan merasakan lebih produktif.
Jangan anggap enteng eksperimen. Dalam konsep perubahan perilaku (behavior changes), termasuk perilaku bekerja, eksperimen memegang peranan penting bagi suksesnya sebuah perubahan perilaku.
Untuk suksesnya sebuah perubahan perilaku dari pola lama ke baru, umumnya dibutuhkan empat tahapan yaitu: penolakan (denial), hambatan (resistance), eksplorasi (exploration), dan akhirnya mau menjalankan perilaku baru (commitment) hingga menjadi kebiasaan. (Baca juga: Lega, Bekerja dari Rumah Pun tetap Dijamin BPJamsostek)
Sebelum ada musibah Covid-19 kita tak pernah mencoba WFH sehingga kita tak pernah berkesempatan merasakan siklus: denial-resistance-exploration-commitment. Karena tak berkesempatan menjalani siklus tersebut, maka sukses perubahan perilaku tak akan terwujud.
Nah, itu sebabnya, saya mengatakan Covid-19 akan memainkan peran penting menjadi katalisator WFH karena blessing in disguise musibah ini akan memaksa kita merasakannya: awalnya pasti menolak, tapi kemudian beradaptasi, bereksperimen, dan mengeksplorasi, hingga akhirnya menerimanya sebagai sebuah kebiasaan baru.
Peran Covid-19 sebagai katalisator WFH mendapatkan momentumnya saat ini karena bersamaan dengan pecahnya wabah ini teknologi pendukung remote working sudah siap dari sisi kemudahan, kenyamanan, dan keterjangkuan harga. Tak heran jika popularitas Google Hangouts, Zoom, WeChat Work, atau Slack langsung meroket selama krisis Covid-19.
Orang Indonesia dikenal paling sulit berubah kalau tidak benar-benar kepepet. Barangkali hanya wabah seganas Covid-19 ini yang mampu mengubah pola kerja orang Indonesia dari pola kerja “9to5” ke WFH.
Covid-19 akan memaksa WFH menjadi sebuah kenormalan.
Managing Partner Inventure
www.yuswohady.com
Dalam buku Millennials Kill Everything, saya meramalkan bahwa generasi milenial bakal “membunuh” jam kerja “9 to 5” karena mereka mulai bekerja di rumah ( work from home/WFH ).
Surprisingly, dalam beberapa hari ini, sejak muncul pengumuman korban meninggal akibat virus Covid-19, sekonyong-konyong WFH langsung naik daun di Indonesia.
Tak sekadar omongan di antara netizen di medsos, tapi karyawan baik negeri maupun swasta kini struggling bereksperimen untuk mencoba model bekerja gaya baru, yaitu WFH.
Rupanya “pembunuhan” jam kerja “9 to 5” tak hanya dilakukan oleh milenial, tapi juga oleh Covid-19. Wabah telah menjadi katalisator menuju budaya kerja baru, yaitu bekerja di rumah.
Akankah WFH menjadi kenormalan baru bahkan setelah krisis Covid-19 berakhir?
Belajar dari apa yang terjadi di China, Covid-19 telah memaksa karyawan untuk menerapkan pola kerja baru, yaitu bekerja di rumah.
Seperti di Indonesia, di China WFH merupakan hal yang tidak biasa karena sejak awal mereka tidak mengenal tradisi bekerja di rumah. Namun, sejak 3 Februari lalu saat pemerintah mengumumkan lockdown dan meminta masyarakat tinggal di rumah, semuanya berubah drastis.
Mulai saat itu mereka “dipaksa” untuk bekerja di rumah karena memang tidak ada pilihan lain. (Baca: Imbas Corona, Pemerintah Diminta Tunda Cicilan Bank bagi Pedagang Kecil)
Responsnya bermacam-macam. Ada yang protes karena bosnya terlalu instruksif dan tak percaya pada anak buah. Ada yang tak bisa fokus bekerja di rumah karena “gangguan” anak-anak. Ada yang sama sekali tidak bisa bekerja karena memang baru pertama kali menjalani WFH.
Di sisi lain ada juga yang nyaman dan merasakan produktivitas lebih tinggi. Banyak juga dari mereka yang menemukan life-work balance karena punya banyak waktu berkumpul dengan anak-anak.
Kita sekarang ini mengalami hal yang sama. Walaupun baru sebagian kantor yang menerapkan WFH kepada para karyawannya, namun seiring dengan pengumuman pemerintah terkait korban meninggal yang meroket akibat wabah Covid-19, kita akan “dipaksa” untuk mempraktikkan WFH.
Karena itu, saya menyebut, dalam beberapa minggu ke depan para karyawan akan “dipaksa” oleh keadaan untuk melakukan “eksperimen massal” mempraktikkan WFH.
Seperti umumnya eksperimen, karyawan akan mengalami secara langsung bagaimana enak dan tidak enaknya WFH. Seperti di China, ada yang mengeluh karena tidak bisa bekerja karena tidak biasa. Ada yang komplain kepada bosnya karena rewel minta ampun. Tapi, barangkali ada juga yang sudah nyaman dan merasakan lebih produktif.
Jangan anggap enteng eksperimen. Dalam konsep perubahan perilaku (behavior changes), termasuk perilaku bekerja, eksperimen memegang peranan penting bagi suksesnya sebuah perubahan perilaku.
Untuk suksesnya sebuah perubahan perilaku dari pola lama ke baru, umumnya dibutuhkan empat tahapan yaitu: penolakan (denial), hambatan (resistance), eksplorasi (exploration), dan akhirnya mau menjalankan perilaku baru (commitment) hingga menjadi kebiasaan. (Baca juga: Lega, Bekerja dari Rumah Pun tetap Dijamin BPJamsostek)
Sebelum ada musibah Covid-19 kita tak pernah mencoba WFH sehingga kita tak pernah berkesempatan merasakan siklus: denial-resistance-exploration-commitment. Karena tak berkesempatan menjalani siklus tersebut, maka sukses perubahan perilaku tak akan terwujud.
Nah, itu sebabnya, saya mengatakan Covid-19 akan memainkan peran penting menjadi katalisator WFH karena blessing in disguise musibah ini akan memaksa kita merasakannya: awalnya pasti menolak, tapi kemudian beradaptasi, bereksperimen, dan mengeksplorasi, hingga akhirnya menerimanya sebagai sebuah kebiasaan baru.
Peran Covid-19 sebagai katalisator WFH mendapatkan momentumnya saat ini karena bersamaan dengan pecahnya wabah ini teknologi pendukung remote working sudah siap dari sisi kemudahan, kenyamanan, dan keterjangkuan harga. Tak heran jika popularitas Google Hangouts, Zoom, WeChat Work, atau Slack langsung meroket selama krisis Covid-19.
Orang Indonesia dikenal paling sulit berubah kalau tidak benar-benar kepepet. Barangkali hanya wabah seganas Covid-19 ini yang mampu mengubah pola kerja orang Indonesia dari pola kerja “9to5” ke WFH.
Covid-19 akan memaksa WFH menjadi sebuah kenormalan.
(ysw)