Atasi Dampak Wabah Corona, Stimulus Ekonomi-Kesehatan Harus Sejalan
A
A
A
JAKARTA - Seiring dengan penanganan penyebaran virus corona (Covid-19) , pemerintah secara paralel memberikan berbagai stimulus untuk sektor ekonomi. Dengan begitu, diharapkan daya beli masyarakat terjaga sehingga aktivitas ekonomi tetap bisa berjalan kendati tidak sepenuhnya normal.
Harus disadari, dampak wabah Covid-19 memang tidak bisa dihindari. Selain mengancam keselamatan jiwa, penyebaran corona juga telah menyebabkan perekonomian nyaris lumpuh. Untuk itu, perlu keselarasan antara penanganan kesehatan masyarakat dan upaya mengurangi dampak negatif corona ke perekonomian.
Salah satu bentuk perhatian terhadap sektor ekonomi diperlihatkan dari besaran anggaran yang dialokasikan, yakni sebesar Rp330,1 triliun dari total Rp405,1 triliun. Adapun untuk penanganan kesehatan akibat penyebaran corona sebesar Rp75 triliun.
Secara rinci, jumlah anggaran untuk stimulus ekonomi itu Rp110 triliun untuk jaring pengaman sosial dan Rp70,1 triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus KUR. Selain itu, Rp150 triliun untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional, termasuk restrukturisasi kredit dan penjaminan serta pembiayaan untuk usaha kecil dan menengah (UMKM) dan dunia usaha guna menjaga daya tahan selama masa pemulihan. (Baca: Sri Mulyani: Skenario Terburuk Rupiah Bisa ke Rp20.000 per USD)
Berbagai stimulus tersebut tertuang pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo, Selasa (31/03/2020).
Alokasi anggaran pendemi corona tersebut sepenuhnya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020, yang payung hukumnya mengacu pada perppu tersebut. Dengan demikian, pemerintah tidak perlu menunggu APBN-Perubahan 2020.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, alokasi anggaran terbaru yang diumumkan pemerintah merupakan lanjutan dari stimulus-stimulus sebelumnya ketika virus corona mulai menyebar. Pada awalnya stimulus pertama menyasar sektor pariwisata, kemudian stimulus kedua ke sektor fiskal berupa relaksasi pajak penghasilan (PPh)."Semua work in progress, landasan hukum awal sudah dibuat sehingga nanti Menko (Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto) bisa desain. Karena sektor ekonomi yang terpengaruh sangat bervariasi," kata Sri Mulyani saat teleconference di Jakarta kemarin.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu juga menerangkan anggaran ini akan mencakup seluruh sektor yang terdampak. Misalnya untuk sektor dunia usaha pemerintah tengah merumuskan mekanisme dan aturan agar sektor ini bisa diberikan keringanan pajak.
"Menko sudah koordinasikan mengenai bagaimana melihat sektor ekonomi. Instrumennya dalam bentuk apa PPh 21 atau 25 atau PPN restitusi. Kami terus bersama merumuskan itu," katanya.
Mengenai pembiayaan APBN 2020 setelah keluarnya perppu tersebut, Sri Mulyani menegaskan bahwa ada instrumen utang yang akan dikeluarkan, yakni berupa surat utang yang diberi nama pandemic bond. Obligasi tersebut dapat dibeli oleh Bank Indonesia (BI), badan usaha milik negara (BUMN), maupun investor korporasi dan ritel. (Baca juga: Siap Cegah Penurunan Rupiah, BI Sebut Saat Ini Nilai tukar Memadai)
"Untuk penerbitan pandemic bond ada klausul sangat khusus, yakni kemungkinan dilakukannya pembiayaan melalui BI yang dapat membeli bond secara langsung," ujar Sri Mulyani.
Dia melanjutkan, kementeriannya bersama BI akan mengatur agar proses pembelian obligasi pemerintah itu bisa dilakukan secara hati-hati. Adapun aturan mengenai BI yang bisa membeli surat utang pemerintah di pasar primer tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1/2020.
Menurut Sri Mulyani, penerbitan pandemic bond itu untuk melakukan pencegahan apabila pasar sangat bergejolak sehingga menimbulkan harga yang tidak rasional. Penerbitan surat utang itu dirasa perlu mengingat penyebaran virus corona masih belum teratasi dan semakin memberatkan perekonomian. "Covid-19 belum bisa diatasi, penyebaran masih meningkat dan dampaknya ke ekonomi berat. Dampak ke keuangan akan terus semakin berat," keluhnya.
Pada kesempatan itu Sri Mulyani juga menyatakan, dampak virus corona bisa menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini terkoreksi ke level 2,3%. Bahkan, skenario terburuknya bisa mencapai minus 0,4%. Angka tersebut jauh di bawah target APBN 2020, yang mematok pertumbuhan ekonomi di kisaran 5,3%.
"Kondisi ini (pelemahan ekonomi) menyebabkan penurunan kegiatan ekonomi dan berpotensi menekan lembaga keuangan karena kredit tidak bisa dibayarkan dan perusahaan mengalami kesulitan dari revenue," ujar Sri Mulyani.
Kendati demikian, dia memastikan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan membaik seiring pandemi virus ini bisa ditangani. Adapun pemulihan ekonomi akan secara bertahap terjadi pada 2021 dan 2022.
Dia menjelaskan, beberapa faktor pendorong pelemahan ekonomi antara lain konsumsi rumah tangga yang diprediksi turun di kisaran 3,2% hingga 1,6%. Kemudian pertumbuhan investasi diprediksi hanya 1% dari sebelumnya 6%.
“Investasi ini bisa minus 4%. Demikian juga ekspor, pada tahun lalu mengalami kinerja negatif, akan turun lebih dalam pada tahun ini,” katanya.
Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Airlangga Hartarto saat konferensi pers virtual kemarin menambahkan, ”antivirus” dalam bentuk stimulus untuk menekan dampak ekonomi dari akibat corona merupakan upaya komprehensif dengan memperhatikan semua aspek.
"Penanganan pandemi Covid-19 memerlukan upaya serius yang komprehensif dari semua aspek, mengingat penyebarannya bukan hanya berdampak pada masalah kesehatan, tetapi juga masalah kemanusiaan. Hingga berdampak pada aspek sosial, ekonomi, dan mempengaruhi fundamental perekonomian nasional kita," ujarnya.
Sementara itu, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) mengapresiasi terbitnya Perppu Nomor 1/2020 untuk menanggulangi dampak pandemi Covid-19 di Indonesia. Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Hipmi Mardani H Maming mengatakan, adanya tambahan belanja dan pembiayaan APBN 2020 untuk penanganan Covid-19 sebesar Rp405,1 triliun penting untuk menjaga daya beli masyarakat. (Baca juga: Ini Sederet Kebijakan BI untuk Tangkal Dampak Corona)
"Dari Hipmi, kami apresiasi. Langkah ini positif mengingat kita dalam kondisi ekonomi terdampak pandemi Covid-19. Ini penting untuk menjaga daya beli masyarakat," ujarnya.
Maming melanjutkan, kebijakan tersebut tepat untuk kondisi saat ini mengingat pasar dalam kondisi kekurangan suplai bahan baku dan bahan pendukung produksi karena disrupsi produksi di China.
"Ke depannya kita juga harus mengantisipasi adanya disrupsi produksi/suplai dari negara lain karena wabah semakin berkembang. Kalau impor tidak dibuka, kondisi kelangkaan suplai tidak akan terkoreksi karena saat ini mencari suplai alternatif saja sudah sulit," paparnya.
Pengamat ekonomi Sutrisno Iwantono menyarankan, agar anggaran tersebut lebih dikonsentrasikan untuk menghentikan penyebaran Corona. Menurutnya, dalam situasi seperti ini seharus fokus pada akar masalah yaitu wabah virus corona.
"Jadi segala daya diarahkan untuk menghentikan penyebaran virus corona. Kalau virus corona itu bisa dihentikan maka berbagai persoalan ekonomi akan berhenti dengan sendirinya," tutur Sutrisno.Peneliti Senior Institute of Developing Entrepreneurship ini menambahkkan, dengan keterbatasan anggaran, pengeluaran untuk hal lain seperti perpajakan, KUR, stimulus ekonomi dan lainnya bisa dilakukan di lain waktu untuk pemulihan ekonomi. (Oktiani Endarwati/Rina Anggraeni/Abdul Rochim)
Harus disadari, dampak wabah Covid-19 memang tidak bisa dihindari. Selain mengancam keselamatan jiwa, penyebaran corona juga telah menyebabkan perekonomian nyaris lumpuh. Untuk itu, perlu keselarasan antara penanganan kesehatan masyarakat dan upaya mengurangi dampak negatif corona ke perekonomian.
Salah satu bentuk perhatian terhadap sektor ekonomi diperlihatkan dari besaran anggaran yang dialokasikan, yakni sebesar Rp330,1 triliun dari total Rp405,1 triliun. Adapun untuk penanganan kesehatan akibat penyebaran corona sebesar Rp75 triliun.
Secara rinci, jumlah anggaran untuk stimulus ekonomi itu Rp110 triliun untuk jaring pengaman sosial dan Rp70,1 triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus KUR. Selain itu, Rp150 triliun untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional, termasuk restrukturisasi kredit dan penjaminan serta pembiayaan untuk usaha kecil dan menengah (UMKM) dan dunia usaha guna menjaga daya tahan selama masa pemulihan. (Baca: Sri Mulyani: Skenario Terburuk Rupiah Bisa ke Rp20.000 per USD)
Berbagai stimulus tersebut tertuang pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo, Selasa (31/03/2020).
Alokasi anggaran pendemi corona tersebut sepenuhnya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020, yang payung hukumnya mengacu pada perppu tersebut. Dengan demikian, pemerintah tidak perlu menunggu APBN-Perubahan 2020.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, alokasi anggaran terbaru yang diumumkan pemerintah merupakan lanjutan dari stimulus-stimulus sebelumnya ketika virus corona mulai menyebar. Pada awalnya stimulus pertama menyasar sektor pariwisata, kemudian stimulus kedua ke sektor fiskal berupa relaksasi pajak penghasilan (PPh)."Semua work in progress, landasan hukum awal sudah dibuat sehingga nanti Menko (Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto) bisa desain. Karena sektor ekonomi yang terpengaruh sangat bervariasi," kata Sri Mulyani saat teleconference di Jakarta kemarin.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu juga menerangkan anggaran ini akan mencakup seluruh sektor yang terdampak. Misalnya untuk sektor dunia usaha pemerintah tengah merumuskan mekanisme dan aturan agar sektor ini bisa diberikan keringanan pajak.
"Menko sudah koordinasikan mengenai bagaimana melihat sektor ekonomi. Instrumennya dalam bentuk apa PPh 21 atau 25 atau PPN restitusi. Kami terus bersama merumuskan itu," katanya.
Mengenai pembiayaan APBN 2020 setelah keluarnya perppu tersebut, Sri Mulyani menegaskan bahwa ada instrumen utang yang akan dikeluarkan, yakni berupa surat utang yang diberi nama pandemic bond. Obligasi tersebut dapat dibeli oleh Bank Indonesia (BI), badan usaha milik negara (BUMN), maupun investor korporasi dan ritel. (Baca juga: Siap Cegah Penurunan Rupiah, BI Sebut Saat Ini Nilai tukar Memadai)
"Untuk penerbitan pandemic bond ada klausul sangat khusus, yakni kemungkinan dilakukannya pembiayaan melalui BI yang dapat membeli bond secara langsung," ujar Sri Mulyani.
Dia melanjutkan, kementeriannya bersama BI akan mengatur agar proses pembelian obligasi pemerintah itu bisa dilakukan secara hati-hati. Adapun aturan mengenai BI yang bisa membeli surat utang pemerintah di pasar primer tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1/2020.
Menurut Sri Mulyani, penerbitan pandemic bond itu untuk melakukan pencegahan apabila pasar sangat bergejolak sehingga menimbulkan harga yang tidak rasional. Penerbitan surat utang itu dirasa perlu mengingat penyebaran virus corona masih belum teratasi dan semakin memberatkan perekonomian. "Covid-19 belum bisa diatasi, penyebaran masih meningkat dan dampaknya ke ekonomi berat. Dampak ke keuangan akan terus semakin berat," keluhnya.
Pada kesempatan itu Sri Mulyani juga menyatakan, dampak virus corona bisa menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini terkoreksi ke level 2,3%. Bahkan, skenario terburuknya bisa mencapai minus 0,4%. Angka tersebut jauh di bawah target APBN 2020, yang mematok pertumbuhan ekonomi di kisaran 5,3%.
"Kondisi ini (pelemahan ekonomi) menyebabkan penurunan kegiatan ekonomi dan berpotensi menekan lembaga keuangan karena kredit tidak bisa dibayarkan dan perusahaan mengalami kesulitan dari revenue," ujar Sri Mulyani.
Kendati demikian, dia memastikan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan membaik seiring pandemi virus ini bisa ditangani. Adapun pemulihan ekonomi akan secara bertahap terjadi pada 2021 dan 2022.
Dia menjelaskan, beberapa faktor pendorong pelemahan ekonomi antara lain konsumsi rumah tangga yang diprediksi turun di kisaran 3,2% hingga 1,6%. Kemudian pertumbuhan investasi diprediksi hanya 1% dari sebelumnya 6%.
“Investasi ini bisa minus 4%. Demikian juga ekspor, pada tahun lalu mengalami kinerja negatif, akan turun lebih dalam pada tahun ini,” katanya.
Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Airlangga Hartarto saat konferensi pers virtual kemarin menambahkan, ”antivirus” dalam bentuk stimulus untuk menekan dampak ekonomi dari akibat corona merupakan upaya komprehensif dengan memperhatikan semua aspek.
"Penanganan pandemi Covid-19 memerlukan upaya serius yang komprehensif dari semua aspek, mengingat penyebarannya bukan hanya berdampak pada masalah kesehatan, tetapi juga masalah kemanusiaan. Hingga berdampak pada aspek sosial, ekonomi, dan mempengaruhi fundamental perekonomian nasional kita," ujarnya.
Sementara itu, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) mengapresiasi terbitnya Perppu Nomor 1/2020 untuk menanggulangi dampak pandemi Covid-19 di Indonesia. Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Hipmi Mardani H Maming mengatakan, adanya tambahan belanja dan pembiayaan APBN 2020 untuk penanganan Covid-19 sebesar Rp405,1 triliun penting untuk menjaga daya beli masyarakat. (Baca juga: Ini Sederet Kebijakan BI untuk Tangkal Dampak Corona)
"Dari Hipmi, kami apresiasi. Langkah ini positif mengingat kita dalam kondisi ekonomi terdampak pandemi Covid-19. Ini penting untuk menjaga daya beli masyarakat," ujarnya.
Maming melanjutkan, kebijakan tersebut tepat untuk kondisi saat ini mengingat pasar dalam kondisi kekurangan suplai bahan baku dan bahan pendukung produksi karena disrupsi produksi di China.
"Ke depannya kita juga harus mengantisipasi adanya disrupsi produksi/suplai dari negara lain karena wabah semakin berkembang. Kalau impor tidak dibuka, kondisi kelangkaan suplai tidak akan terkoreksi karena saat ini mencari suplai alternatif saja sudah sulit," paparnya.
Pengamat ekonomi Sutrisno Iwantono menyarankan, agar anggaran tersebut lebih dikonsentrasikan untuk menghentikan penyebaran Corona. Menurutnya, dalam situasi seperti ini seharus fokus pada akar masalah yaitu wabah virus corona.
"Jadi segala daya diarahkan untuk menghentikan penyebaran virus corona. Kalau virus corona itu bisa dihentikan maka berbagai persoalan ekonomi akan berhenti dengan sendirinya," tutur Sutrisno.Peneliti Senior Institute of Developing Entrepreneurship ini menambahkkan, dengan keterbatasan anggaran, pengeluaran untuk hal lain seperti perpajakan, KUR, stimulus ekonomi dan lainnya bisa dilakukan di lain waktu untuk pemulihan ekonomi. (Oktiani Endarwati/Rina Anggraeni/Abdul Rochim)
(ysw)