Sri Mulyani: Skenario Terburuk, Rupiah Bisa ke Rp20.000 per USD
A
A
A
JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengungkapkan bahwa asumsi makro pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2020 bakal meleset dari target. Pasalnya, penyebaran virus corona atau Covid-19 membuat ekonomi Indonesia tertekan.
Untuk rupiah, kata Sri Mulyani, skenario terburuknya bisa melemah ke Rp20.000 per dolar Amerika Serikat (USD). Sementara di undang-undang (UU) APBN, asumsi rupiah ditetapkan sebesar Rp14.300 per USD. Pelemahan rupiah tersebut dipicu oleh kepanikan global akibat wabah corona.
"Rupiah akan tertekan dan skenario terburuknya bisa (melemah) ke kisaran Rp20.000 per USD," ungkap Sri Mulyani di Jakarta, Rabu (1/4/2020).
Namun demikian, Sri Mulyani menambahkan, inflasi diperkirakan masih akan tetap terjaga, di kisaran 3,9%. Perkiraan itu hanya sedikit naik dibandingkan asumsi dalam APBN 2020 di kisaran 3,1%.
Dia melanjutkan, penyebaran virus corona juga memaksa pemerintah dan otoritas moneter mengambil kebijakan yang tidak biasa. Dia menegaskan, kebijakan yang bersifat textbook sudah tidak bisa lagi diterapkan.
"Pemerintah di berbagai negara menggelontorkan stimulus fiskal dalam jumlah besar. Misalnya Australia yang mengeluarkan stimulus fiskal senilai 9,7% dari Produk Domestik Bruto (PDB) mereka," tuturnya.
Untuk rupiah, kata Sri Mulyani, skenario terburuknya bisa melemah ke Rp20.000 per dolar Amerika Serikat (USD). Sementara di undang-undang (UU) APBN, asumsi rupiah ditetapkan sebesar Rp14.300 per USD. Pelemahan rupiah tersebut dipicu oleh kepanikan global akibat wabah corona.
"Rupiah akan tertekan dan skenario terburuknya bisa (melemah) ke kisaran Rp20.000 per USD," ungkap Sri Mulyani di Jakarta, Rabu (1/4/2020).
Namun demikian, Sri Mulyani menambahkan, inflasi diperkirakan masih akan tetap terjaga, di kisaran 3,9%. Perkiraan itu hanya sedikit naik dibandingkan asumsi dalam APBN 2020 di kisaran 3,1%.
Dia melanjutkan, penyebaran virus corona juga memaksa pemerintah dan otoritas moneter mengambil kebijakan yang tidak biasa. Dia menegaskan, kebijakan yang bersifat textbook sudah tidak bisa lagi diterapkan.
"Pemerintah di berbagai negara menggelontorkan stimulus fiskal dalam jumlah besar. Misalnya Australia yang mengeluarkan stimulus fiskal senilai 9,7% dari Produk Domestik Bruto (PDB) mereka," tuturnya.
(fjo)