Sanksi delay Batavia Air tak seberapa
A
A
A
Sindonews.com- Sanksi Kementerian Perhubungan kepada maskapai yang mengalami delay sebesar Rp300 ribu untuk keterlambatan (delay) selama empat jam akhirnya memakan korban. PT Metro Batavia Air (Batavia Air) adalah 'korban' pertama yang harus menanggung kerugian sekirar Rp42 juta akibat keterlambatan hingga empat jam pada Senin 2 Januari lalu.
Pihak Batavia harus membayar ganti rugi tersebut kepada 144 orang penumpang yang terdiri dari 136 penumpang dewasa, 4 anak-anak dan 4 bayi atas keterlambatan penerbangan dari Palangkaraya-Surabaya. Pesawat itu seharusnya terbang dari Bandara Tjilik Riwut Palangkaraya dengan tujuan Bandara Internasional Juanda Surabaya pada pukul 16.35 WIB.
“Karena alasan operasional, pesawat kami mengalami delay lebih dari empat jam,” kata Public Relation Manager PT Metro Batavia Elly Simanjuntak saat dihubungi Sindonews, Rabu (4/1/2012).
Sebagaimana diatur dalam Permenhub No 77 Tahun 2011 yang kemudian diperbaharui dengan Permenhub No 92 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara, apabila maskapai mengalami keterlambatan lebih dari empat jam, diwajibkan untuk memberikan kompensasi ganti rugi senilai Rp300 ribu per penumpang.
Batavia Air kemudian memberikan voucher yang dapat ditukar dengan uang di kantor-kantor Batavia di Indonesia, pada hari berikutnya.
Sementara itu, Dirjen Perhubungan Udara Herry Bakti menjelaskan, Senin sore lalu dirinya mendapat laporan dari Administrator Bandara Palangkaraya, bahwa maskapai penerbangan Batavia Air mengalami delay lebih dari empat jam. Tidak ada kerusuhan akibat keterlambatan tersebut dan pihak Batavia Air telah memberikan kompensasi ganti rugi kepada penumpang. Selanjutnya, penumpang diterbangkan dengan pesawat yang sama.
“Meski sebelumnya penumpang kecewa, namun setelah pihak Batavia menjelaskan alasan keterlambatan dan menyatakan kesediannya memberikan kompensasi akibat keterlambatan tersebut, penumpang akhirnya bisa memaklumi. Bahkan mereka senang, karena meski terlambat tapi mendapat kompenasasi,” jelas Herry.
Herry pun membenarkan, mekanisme pemberikan kompensasi keterlambatan dapat dilakukan dalam bentuk uang cash maupun voucher. “Sama saja. Dengan voucher juga tidak apa-apa yang penting nilainya sama dan pencairannya tidak sulit apalagi sampai merepotkan penumpang. Tenggang waktu masa berlaku voucher tersebut bisa sampai 1 bulan,” kata Herry.
Voucher itu, lanjut Herry, selain dapat dicairkan menjadi uang, juga dapat digunakan untuk membeli tiket penerbangan berikutnya. Karena voucher itu pada hakekatnya adalah sebagai pengganti uang.
Sementara itu, Pengamat Penerbangan Alvin Lie menilai pemberian kompensasi akibat keterlamatan penerbangan (delay) kepada penumpang sebesar Rp300 ribu setiap empat jam dinilai tidak bisa begitu saja membayar ganti rugi yang dialami penumpang.
Pihak Kementerian Perhubungan menjelaskan pemberikan kompensasi akibat keterlambatan penerbangan (delay) kepada maskapai penerbangan jangan dianggap sebagai hukuman, melainkan sebagai bentuk pembinaaan agar maskapai lebih disiplin, sehingga on time performace (OTP) maskapai lebih baik lagi.
Di satu sisi pemberikan kompensasi itu juga merupakan bentuk perlindungan pemerintah terhadap masyarakat sebagai pengguna jasa yang merasa dirugikan waktunya, karena berangkat atau tiba lebih lambat dari yang sudah direncanakan sebelumnya.
Dengan adanya sanksi ini, diharapkan maskapai menjadi lebih sadar bahwa setiap keterlambatan akan memberikan konsekuensi penambahan biaya, bukan hanya pemberian kompensasi kepada penumpang tetapi juga menjadi cost bagi maskapai karena harus membayar biaya-biaya lainnya selama di bandara.
“Kita berharap dalam beberapa bulan kedepan ada perbaikan dalam OTP baik keberangkatan maupun kedatangan,” kata Herry.
Meski demikian, langkah yang dilakukan kementerian perhubungan ini tetap patut diapresiasi sebagai langkah untuk melindungi penumpang. Namun, untuk meningkatkan efek jera kepada maskapai yang 'hobi' delay, pengamat penerbangan Alvin Lie mengusulkan semestinya penerapan kompensasi dilakukan secara akumulatif dan progresif. Menurut Alvin, menunggu empat jam untuk mendapat kompensasi terlalu lama dibandingkan kerugian lain yang dialami penumpang.
"Penilaian saya harusnya kompensasi itu diberikan dari dua jam misalnya Rp200 ribu, lalu tiap tiga puluh menit lagi ada kenaikan. Jadi sifatnya akumulatif dan progresif," ungkap Alvin saat berbincang dengan Sindonews.
Alvin menilai semestinya pemerintah menjadikan aturan pemberian kompensasi ini sebagai dasar penilaian kinerja maskapai. Sehingga jika on time performance maskapai tak mencapai 70 persen, maka sebaiknya diadakan evaluasi untuk mengurangi jadwal penerbangannya. Hal ini pernah dilakukan kepada maskapai Lion Air.
"Bukan cuma kompensasi saja, tapi frekuensi terjadinya delay perlu menjadi rujukan Dirjen Perhubungan Udara untuk mengevaluasi kinerja maskapai, misalnya dikurangi jadwal penerbangannya," tegas Alvin.
Pihak Batavia harus membayar ganti rugi tersebut kepada 144 orang penumpang yang terdiri dari 136 penumpang dewasa, 4 anak-anak dan 4 bayi atas keterlambatan penerbangan dari Palangkaraya-Surabaya. Pesawat itu seharusnya terbang dari Bandara Tjilik Riwut Palangkaraya dengan tujuan Bandara Internasional Juanda Surabaya pada pukul 16.35 WIB.
“Karena alasan operasional, pesawat kami mengalami delay lebih dari empat jam,” kata Public Relation Manager PT Metro Batavia Elly Simanjuntak saat dihubungi Sindonews, Rabu (4/1/2012).
Sebagaimana diatur dalam Permenhub No 77 Tahun 2011 yang kemudian diperbaharui dengan Permenhub No 92 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara, apabila maskapai mengalami keterlambatan lebih dari empat jam, diwajibkan untuk memberikan kompensasi ganti rugi senilai Rp300 ribu per penumpang.
Batavia Air kemudian memberikan voucher yang dapat ditukar dengan uang di kantor-kantor Batavia di Indonesia, pada hari berikutnya.
Sementara itu, Dirjen Perhubungan Udara Herry Bakti menjelaskan, Senin sore lalu dirinya mendapat laporan dari Administrator Bandara Palangkaraya, bahwa maskapai penerbangan Batavia Air mengalami delay lebih dari empat jam. Tidak ada kerusuhan akibat keterlambatan tersebut dan pihak Batavia Air telah memberikan kompensasi ganti rugi kepada penumpang. Selanjutnya, penumpang diterbangkan dengan pesawat yang sama.
“Meski sebelumnya penumpang kecewa, namun setelah pihak Batavia menjelaskan alasan keterlambatan dan menyatakan kesediannya memberikan kompensasi akibat keterlambatan tersebut, penumpang akhirnya bisa memaklumi. Bahkan mereka senang, karena meski terlambat tapi mendapat kompenasasi,” jelas Herry.
Herry pun membenarkan, mekanisme pemberikan kompensasi keterlambatan dapat dilakukan dalam bentuk uang cash maupun voucher. “Sama saja. Dengan voucher juga tidak apa-apa yang penting nilainya sama dan pencairannya tidak sulit apalagi sampai merepotkan penumpang. Tenggang waktu masa berlaku voucher tersebut bisa sampai 1 bulan,” kata Herry.
Voucher itu, lanjut Herry, selain dapat dicairkan menjadi uang, juga dapat digunakan untuk membeli tiket penerbangan berikutnya. Karena voucher itu pada hakekatnya adalah sebagai pengganti uang.
Sementara itu, Pengamat Penerbangan Alvin Lie menilai pemberian kompensasi akibat keterlamatan penerbangan (delay) kepada penumpang sebesar Rp300 ribu setiap empat jam dinilai tidak bisa begitu saja membayar ganti rugi yang dialami penumpang.
Pihak Kementerian Perhubungan menjelaskan pemberikan kompensasi akibat keterlambatan penerbangan (delay) kepada maskapai penerbangan jangan dianggap sebagai hukuman, melainkan sebagai bentuk pembinaaan agar maskapai lebih disiplin, sehingga on time performace (OTP) maskapai lebih baik lagi.
Di satu sisi pemberikan kompensasi itu juga merupakan bentuk perlindungan pemerintah terhadap masyarakat sebagai pengguna jasa yang merasa dirugikan waktunya, karena berangkat atau tiba lebih lambat dari yang sudah direncanakan sebelumnya.
Dengan adanya sanksi ini, diharapkan maskapai menjadi lebih sadar bahwa setiap keterlambatan akan memberikan konsekuensi penambahan biaya, bukan hanya pemberian kompensasi kepada penumpang tetapi juga menjadi cost bagi maskapai karena harus membayar biaya-biaya lainnya selama di bandara.
“Kita berharap dalam beberapa bulan kedepan ada perbaikan dalam OTP baik keberangkatan maupun kedatangan,” kata Herry.
Meski demikian, langkah yang dilakukan kementerian perhubungan ini tetap patut diapresiasi sebagai langkah untuk melindungi penumpang. Namun, untuk meningkatkan efek jera kepada maskapai yang 'hobi' delay, pengamat penerbangan Alvin Lie mengusulkan semestinya penerapan kompensasi dilakukan secara akumulatif dan progresif. Menurut Alvin, menunggu empat jam untuk mendapat kompensasi terlalu lama dibandingkan kerugian lain yang dialami penumpang.
"Penilaian saya harusnya kompensasi itu diberikan dari dua jam misalnya Rp200 ribu, lalu tiap tiga puluh menit lagi ada kenaikan. Jadi sifatnya akumulatif dan progresif," ungkap Alvin saat berbincang dengan Sindonews.
Alvin menilai semestinya pemerintah menjadikan aturan pemberian kompensasi ini sebagai dasar penilaian kinerja maskapai. Sehingga jika on time performance maskapai tak mencapai 70 persen, maka sebaiknya diadakan evaluasi untuk mengurangi jadwal penerbangannya. Hal ini pernah dilakukan kepada maskapai Lion Air.
"Bukan cuma kompensasi saja, tapi frekuensi terjadinya delay perlu menjadi rujukan Dirjen Perhubungan Udara untuk mengevaluasi kinerja maskapai, misalnya dikurangi jadwal penerbangannya," tegas Alvin.
()