Kebijakan geregetan yang masih banci

Minggu, 15 Januari 2012 - 13:31 WIB
Kebijakan geregetan...
Kebijakan geregetan yang masih banci
A A A
Sindonews.com - Pemerintah kembali mengutarakan rencana pemberlakuan pembatasan BBM bersubsidi mulai 1 April 2012. Namun, lagi-lagi pemerintah tampak tidak percaya diri apakah program tersebut dapat benar-benar terlaksana sesuai jadwal? mengingat segala infrastruktur masih jauh dari siap.

Niat baik pemerintah untuk menciptakan masyarakat mandiri dengan mencabut subsidi, sejatinya sudah digagas sejak tahun 2008. Namun, karena berbagai alasan, niat itu selalu mentah. Setidaknya sampai hari ini pemerintah sudah lima kali melakukan penundaan. Rencana pertama kali digulirkan pada 2008 dengan konsep smart card, tapi batal. Lalu pada tahun 2010 digulirkan sampai dua kali, yakni Juni dan Oktober, juga urung. Ketika itu, pemerintah menyatakan akan melaksanakannya pada Januari 2011, namun sebelum tutup tahun, pemerintah kembali mengumumkan pembatalan dan berjanji pada 1 April 2011, dan lagi-lagi batal. Kini, Rencana itu muncul kembali, dan opsi yang ditawarkan adalah penggunaan Bahan Bakar gas (BBG) bagi kendaraan umum, serta pembagian converter kit secara gratis.

Pemerintah begitu yakin pembatasan BBM bersubsidi bisa diberlakukan tahun 2012 ini. Kebijakan ini akan diujicoba di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) terlebih dulu mulai April mendatang. Selanjutnya pada 2013 diharapkan kebijakan ini sudah berlaku di Jawa-Bali.

Rencananya, dengan diberlakukannya pembatasan BBM ini, maka semua kendaraan roda empat berpelat hitam dan merah akan dilarang mengkonsumsi BBM bersubsidi yakni premium dan solar. Hanya kendaraan roda dua, roda tiga, angkutan umum, yang masih diperbolehkan menggunakan BBM bersubsidi.

Menteri Keuangan Agus Martowardojo sebenarnya tidak ingin kebijakan ini ditunda-tunda lagi. Sebab, jika rencana ini batal dilaksanakan secepatnya pada tahun 2012 ini, maka anggaran subsidi BBM terancam membengkak Rp3 triliun per tahun.

Tahun 2011 anggaran subsidi BBM bahkan naik hingga Rp3,9 triliun. Subsidi yang sebelumnya Rp88,9 triliun di 2010 naik menjadi Rp90,8 triliun tahun 2011. Yang lebih bikin geregetan pemerintah, subsidi yang jumlahnya triliunan itu justru dinikmati oleh orang yang salah. Data pemerintah sebanyak 75 persen subsidi BBM jatuh ke tangan orang yang mampu.

Oleh karena alasan tersebut, maka pemerintah ngotot akan membatasi BBM. Masalahnya, pemberlakuan kebijakan ini juga harus diikuti kesiapan infrastruktur. Fasilitas yang mempermudah ketersediaan BBM nonsubsidi (pertamax) harus segera dibangun karena saat ini SPBU yang ada banyak yang belum memiliki tanki-tanki untuk menyimpan pertamax. Saat ini jika kita keluar kota misalnya susah sekali untuk menemukan SPBU-SPBU baik milik Pertamina atau asing yang menjual BBM nonsubsidi.

Sementara itu, pengusaha SPBU masih ogah-ogahan menjual pertamax karena butuh investasi yang mahal. Pengusaha tidak mau rugi bila sudah terlanjur menyiapkan sarana ternyata kebijakan tersebut batal. Data Himpunan Wiraswasta Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas), baru 25 persen dari 720 SPBU di Jabodetabek yang sudah melakukan pembenahan infrastruktur untuk bisa menjual pertamax, sedangkan untuk BBG, belum ada persiapan.

Dengan kenyataan tersebut, apakah bisa SPBU menggenjot membangun infrastruktur, sedangkan di sisi lain mereka mengaku kekurangan modal? Maka, bila sarana belum siap, namun tetap ngotot mewajibkan pemilik kendaraan roda empat plat hitam membeli Pertamax dalam waktu dekat ini, besar kemungkinan antrean untuk mendapatkan pertamax akan sangat panjang. Pertamax akan sangat langka dan susah dicari, lantas harganya akan melambung tinggi dan membuat susah para konsumennya.

Sebatas opsi
Dalam rangka program pembatasan BBM yang akan dilaksanakan mulai April mendatang, salah satu langkah yang ditempuh pemerintah adalah program konversi BBM ke BBG. Menurut Dirjen Migas Kementerian ESDM Evita Herawati Legowo, untuk mensukseskan program tersebut, pemerintah mengklaim sudah mengalokasikan pasokan gas hingga 20 juta kaki kubik per hari (MMSCFD).

Gas yang berasal dari PT Pertamina (Persero), PT Medco E & P Indonesia, dan Perusahaan Gas Negara (PGN), bersumber dari gas bumi dari Jakarta, Surabaya, Gresik, Palembang, Bekasi, dan Medan. Dari sisi kebutuhan, Jakarta diperkirakan akan menghabiskan BBG terbesar, sekira 8,2 MMSCFD per tahun. "Sampai 2014 pasokan gas itu sudah tersedia," kata Evita di Jakarta, baru-baru ini.

Menurut Evita, aturan konversi ke BBG tersebut bisa menghabiskan dua pertiga kebutuhan gas selama setahun. "Kalau hitungan setahun, kebutuhan gas untuk BBG di dalam negeri mencapai 32 MMSCFD," kata Evita.

Setelah itu, Medan diperkirakan menghabiskan 3,7 MMSCFD, Surabaya 1,6 MMSCFD, Gresik 0,52 MMSCFD, Palembang 1,2 MMSCFD, dan Bekasi 0,4 MMSCFD. Meski demikian, Evita menegaskan konversi BBM ke BBG ini hanya merupakan opsi dari pemakaian BBM subsidi yang belum tepat sasaran.

"Sebenarnya kita bukan memaksa mengganti premium ke BBG, tetapi ini hanya memberikan opsi saja bagi pengguna premium yang enggan beralih ke pertamax karena alasan perbedaan harga. Justru yang kita harapkan untuk sementara ini beralih ke pertamax," tutur Evita.

Evita mengakui jika semua kendaraan serempak beralih ke BBG, infrastruktur yang ada masih belum memadai. Untuk sementara, akan dibangun 9 Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) dalam bulan Februari nanti. “Kalau untuk Jabodetabek pasokan BBM nonsubsidi, CNG, dan LGV semua siap. Untuk LGV saat ini sudah ada 10 SPBG dan kemungkinan Februari akan jadi 19 SPBG. Namun kalau semuanya langsung beralih ke BBG, lain lagi ceritanya,” kelakar Evita.

Lebih lanjut, Evita menargetkan sampai akhir tahun program konversi ini akan segera terealisasi di Jawa dan Bali. "Semua akan disiapkan pelan-pelan, setelah Jabodetabek, mungkin Mei atau Juni giliran Surabaya, karena di sana sudah punya gas. Sampai akhir tahun, diusahakan akan tercapai seluruh Jawa dan Bali," pungkasnya. (bro)
()
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0323 seconds (0.1#10.140)