Mengapa BBM bersubsidi dibatasi?
A
A
A
Sindonews.com - Mengapa konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dibatasi? Hal tersebut karena dalam konteks kebijakan pemerintah telah memilih itu dan mengaturnya di dalam UU No 22/2011 tentang APBN 2012.
Ketentuan Pasal 7 ayat (6) UU No 22/2011 mengatur dan menetapkan bahwa harga jual BBM bersubsidi tahun 2012 tidak dinaikkan. Dengan ketentuan ini, pemerintah tentunya telah sengaja menyandera dirinya sendiri dengan menutup opsi kenaikan harga BBM.
Akibatnya, terkait kuota BBM bersubsidi tahun 2012 ditetapkan 40 juta kl (kiloliter), sementara opsi kenaikan harga ditutup, pengendalian konsumsi BBM hanya dapat dilakukan dengan pembatasan.
Berkaitan dengan itu,per April 2012 pemerintah akan melarang seluruh kendaraan pribadi pelat hitam mengonsumsi BBM bersubsidi. Kebijakan tersebut disampaikan merupakan pilihan yang ideal, terlebih pemerintah akan menyediakan bahan bakar gas (BBG) yang harganya lebih murah ketimbang BBM bersubsidi.
Dasar Kebijakan
Pemerintah mengklaim pilihan kebijakan pembatasan merupakan yang paling ideal dalam konteks pengendalian inflasi dan keadilan (tepat sasaran). Pembatasan disampaikan akan memberikan dampak inflasi yang lebih kecil dibandingkan dengan menaikkan harga BBM. Sedangkan dalam konteks keadilan, kebijakan pembatasan mendorong subsidi BBM lebih tepat sasaran karena dinikmati oleh masyarakat yang belum berdaya beli.
Jika cara melihatnya hanya sedangkal itu, kebijakan pembatasan tersebut seolah tepat. Padahal, kerangka berpikir bahwa pengendalian inflasi dan aspek keadilan subsidi BBM hanya dapat dilakukan dengan pembatasan, kiranya terlalu sempit. Dalam kebijakan kenaikan harga, jika pemerintah tidak berbuat apa-apa, argumentasi tersebut ke-mungkinan menjadi benar.
Akan tetapi jika kenaikan harga BBM disertai dengan terobosan dan kerja cerdas pemerintah, tentu kondisinya menjadi berbeda. Mengingat selama ini sektor industri telah menggunakan BBM nonsubsidi, keterkaitan BBM bersubsidi dengan harga barang dan jasa praktis hanya melalui biaya distribusi barang dan biaya mobilitas masyarakat.
Sementara mengacu pada data yang ada,angkutan barang dan angkutan umum masing-masing mengonsumsi empat persen dan tiga persen kuota subsidi BBM. Dengan demikian,anggaran subsidi BBM yang nilainya sekitar Rp100 triliun, sekitar Rp4 triliun dinikmati oleh angkutan barang dan Rp3 triliun dinikmati oleh angkutan umum.
Berkaitan dengan itu, jika harga BBM dinaikkan disertai dengan pengembalian subsidi kepada Kementerian Perhubungan sebesar Rp7 triliun untuk subsidi angkutan barang dan angkutan umum, secara logis biaya distribusi barang dan tarif angkutan umum tidak perlu naik. Artinya,jika kenaikan harga BBM disertai dengan pengembalian subsidi yang tepat, dampak inflasi melalui biaya distribusi dapat ditekan pada tingkat yang paling minimal.
Selain itu, mobilitas masyarakat dengan angkutan umum juga relatif tidak terganggu mengingat tidak terdapat kenaikan tarif. Karena itu, secara teoretis produktivitas masyarakat dan aktivitas perekonomian nasional relatif tidak terganggu oleh kenaikan harga BBM jika disertai dengan pengembalian subsidi dalam bentuk yang lain.
Daya Dukung Infrastruktur
Selain dasar kebijakan yang digunakan relatif dangkal, pembatasan yang disertai dengan konversi BBM ke BBG juga masih terkendala infrastruktur. Berkaitan dengan konversi BBM ke BBG di Tanah Air,pemerintah menargetkan tidak kurang dari 1,2 juta unit kendaraan yang akan dikonversi pada tahap awal. Dengan praktik di negara-negara lain bahwa satu SPBG idealnya melayani 500 kendaraan, setidaknya dibutuhkan sekitar 2.400 SPBG untuk mendukung program pemerintah tersebut.
Kalaupun dipaksakan satu SPBG melayani 1.000 kendaraan, paling tidak masih dibutuhkan sekitar 1.200 SPBG. Padahal, di Indonesia saat ini baru tersedia 16 SPBG (hanya delapan yang aktif) yang kesemuanya baru ada di wilayah Jabodetabek. Dengan sempitnya waktu, membangun 1.000 hingga 2.000 unit SPBG kiranya bukan pekerjaan mudah. Jika kebijakan pembatasan dilaksanakan jumlah BBG dan SPBG belum cukup memadai, juga lebih baik disampaikan.
Karena itu,jika pembatasan dilakukan pemilik kendaraan pribadi dipaksa hanya pada pilihan menggunakan pertamax dan sejenisnya yang harganya telah dua kali lipat harga BBM bersubsidi, juga penting untuk disampaikan. Semua pihak kiranya sepakat bahwa kebijakan BBM lebih didasarkan pada pertimbangan politis dibandingkan pertimbangan teknis,bisnis,dan aspek ekonominya.
Namun demikian, kebijakan tersebut akan tetap didukung oleh publik jika pertimbangan politik yang digunakan adalah politik kesejahteraan, bukan politik pencitraan.
KOMAIDI NOTONEGORO
Wakil Direktur Refor Miner Institute
Ketentuan Pasal 7 ayat (6) UU No 22/2011 mengatur dan menetapkan bahwa harga jual BBM bersubsidi tahun 2012 tidak dinaikkan. Dengan ketentuan ini, pemerintah tentunya telah sengaja menyandera dirinya sendiri dengan menutup opsi kenaikan harga BBM.
Akibatnya, terkait kuota BBM bersubsidi tahun 2012 ditetapkan 40 juta kl (kiloliter), sementara opsi kenaikan harga ditutup, pengendalian konsumsi BBM hanya dapat dilakukan dengan pembatasan.
Berkaitan dengan itu,per April 2012 pemerintah akan melarang seluruh kendaraan pribadi pelat hitam mengonsumsi BBM bersubsidi. Kebijakan tersebut disampaikan merupakan pilihan yang ideal, terlebih pemerintah akan menyediakan bahan bakar gas (BBG) yang harganya lebih murah ketimbang BBM bersubsidi.
Dasar Kebijakan
Pemerintah mengklaim pilihan kebijakan pembatasan merupakan yang paling ideal dalam konteks pengendalian inflasi dan keadilan (tepat sasaran). Pembatasan disampaikan akan memberikan dampak inflasi yang lebih kecil dibandingkan dengan menaikkan harga BBM. Sedangkan dalam konteks keadilan, kebijakan pembatasan mendorong subsidi BBM lebih tepat sasaran karena dinikmati oleh masyarakat yang belum berdaya beli.
Jika cara melihatnya hanya sedangkal itu, kebijakan pembatasan tersebut seolah tepat. Padahal, kerangka berpikir bahwa pengendalian inflasi dan aspek keadilan subsidi BBM hanya dapat dilakukan dengan pembatasan, kiranya terlalu sempit. Dalam kebijakan kenaikan harga, jika pemerintah tidak berbuat apa-apa, argumentasi tersebut ke-mungkinan menjadi benar.
Akan tetapi jika kenaikan harga BBM disertai dengan terobosan dan kerja cerdas pemerintah, tentu kondisinya menjadi berbeda. Mengingat selama ini sektor industri telah menggunakan BBM nonsubsidi, keterkaitan BBM bersubsidi dengan harga barang dan jasa praktis hanya melalui biaya distribusi barang dan biaya mobilitas masyarakat.
Sementara mengacu pada data yang ada,angkutan barang dan angkutan umum masing-masing mengonsumsi empat persen dan tiga persen kuota subsidi BBM. Dengan demikian,anggaran subsidi BBM yang nilainya sekitar Rp100 triliun, sekitar Rp4 triliun dinikmati oleh angkutan barang dan Rp3 triliun dinikmati oleh angkutan umum.
Berkaitan dengan itu, jika harga BBM dinaikkan disertai dengan pengembalian subsidi kepada Kementerian Perhubungan sebesar Rp7 triliun untuk subsidi angkutan barang dan angkutan umum, secara logis biaya distribusi barang dan tarif angkutan umum tidak perlu naik. Artinya,jika kenaikan harga BBM disertai dengan pengembalian subsidi yang tepat, dampak inflasi melalui biaya distribusi dapat ditekan pada tingkat yang paling minimal.
Selain itu, mobilitas masyarakat dengan angkutan umum juga relatif tidak terganggu mengingat tidak terdapat kenaikan tarif. Karena itu, secara teoretis produktivitas masyarakat dan aktivitas perekonomian nasional relatif tidak terganggu oleh kenaikan harga BBM jika disertai dengan pengembalian subsidi dalam bentuk yang lain.
Daya Dukung Infrastruktur
Selain dasar kebijakan yang digunakan relatif dangkal, pembatasan yang disertai dengan konversi BBM ke BBG juga masih terkendala infrastruktur. Berkaitan dengan konversi BBM ke BBG di Tanah Air,pemerintah menargetkan tidak kurang dari 1,2 juta unit kendaraan yang akan dikonversi pada tahap awal. Dengan praktik di negara-negara lain bahwa satu SPBG idealnya melayani 500 kendaraan, setidaknya dibutuhkan sekitar 2.400 SPBG untuk mendukung program pemerintah tersebut.
Kalaupun dipaksakan satu SPBG melayani 1.000 kendaraan, paling tidak masih dibutuhkan sekitar 1.200 SPBG. Padahal, di Indonesia saat ini baru tersedia 16 SPBG (hanya delapan yang aktif) yang kesemuanya baru ada di wilayah Jabodetabek. Dengan sempitnya waktu, membangun 1.000 hingga 2.000 unit SPBG kiranya bukan pekerjaan mudah. Jika kebijakan pembatasan dilaksanakan jumlah BBG dan SPBG belum cukup memadai, juga lebih baik disampaikan.
Karena itu,jika pembatasan dilakukan pemilik kendaraan pribadi dipaksa hanya pada pilihan menggunakan pertamax dan sejenisnya yang harganya telah dua kali lipat harga BBM bersubsidi, juga penting untuk disampaikan. Semua pihak kiranya sepakat bahwa kebijakan BBM lebih didasarkan pada pertimbangan politis dibandingkan pertimbangan teknis,bisnis,dan aspek ekonominya.
Namun demikian, kebijakan tersebut akan tetap didukung oleh publik jika pertimbangan politik yang digunakan adalah politik kesejahteraan, bukan politik pencitraan.
KOMAIDI NOTONEGORO
Wakil Direktur Refor Miner Institute
()