Putusan MK soal outsourcing harus diterjemahkan dalam operasional
A
A
A
Sindonews.com - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa merespon positif adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang melarang sistem kerja kontrak dan outsourcing. Putusan itu agar tidak terjadi diskriminatif dalam masalah ketenagakerjaan di Indonesia.
"Secara normatif memang tidak boleh ada diskriminatif," kata Hatta usai menghadiri Wirausaha Muda Mandiri di Jakarta Convention Center, Jakarta, Jumat (20/1/2012).
Meski demikian, dia tidak menginginkan adanya masalah setelah keluarnya putusan MK tersebut. Oleh karenanya, dia meminta agar Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi segera membuat peraturannya.
"Apa yang menjadi putusan MK itu harus diterjemahkan ke dalam operasionalnya supaya tidak menimbulkan dispute," ujarnya.
"Putusan MK itu kan final. Harus ada jabarannya nanti diatur dalam peraturan lah," terangnya.
Sebelumnya, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi akan menerbitkan surat edaran mengenai ketentuan outsourcing dan Perjanjian Kerja Waktu Tententu (PKWT). Surat edaran ini dalam minggu ini diharapkan sudah selesai.
Penerbitan surat edaran ini terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 pada tanggal 17 Januari 2012, mengenai permohonan pengujian Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang terkait dengan PKWT dan outsourcing (pasal 59, 64, 65 dan 66).
“Memang perlu untuk ada semacam surat edaran atau petunjuk untuk mengatur ketentuan–ketentuan yang terkait dengan outsourcing dan PKWT ini. Kemenakertrans segera membuat surat edaran untuk menjelaskan masalah ini," kata Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga kerja (PHI dan Jamsos) Kemenakertrans Myra M. Hanartani, Rabu 18 Januari 2012.
Selanjutnya, dengan dikeluarkannya putusan MK ini, maka dipandang perlu segera diakomodir hasil putusan MK tersebut dalam rumusan baru dalam peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan, termasuk aturan perjanjian kerja dalam hubungan kerja.
“Bagaimanapun juga harus ada persiapan-persiapan bagi yang sekarang sudah melakukan dengan sistem kerja yang seperti itu. Kita harus memberikan semacam guidence agar tidak terjadi perselisihan dan juga agar tidak salah tafsir," terangnya.
Myra menambahkan untuk keputusan dari MK yang berkaitan dengan outsourcing itu memang akhirnya di dalam putusan itu mengatakan, untuk kegiatan yang out dan alih daya tidak bisa menggunakan PKWT, dan itu sudah diputuskan seperti itu.
“Yang perlu ditekankan dalam putusan MK adalah pekerja/buruh yang melaksanakan pekerjaan dalam perusahaan outsourcing tidak boleh kehilangan hak-haknya yang dilindungi oleh konstitusi. Maka harus dipastikan hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan outsourcing yang melaksanakan outsourcing dilaksanakan dengan tetap menjamin perlindungan atas hak-hak pekerja/buruh," jelasnya.
Dalam perjanjian kerja outsourcing, tambah Myra, harus disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagaian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
"Secara normatif memang tidak boleh ada diskriminatif," kata Hatta usai menghadiri Wirausaha Muda Mandiri di Jakarta Convention Center, Jakarta, Jumat (20/1/2012).
Meski demikian, dia tidak menginginkan adanya masalah setelah keluarnya putusan MK tersebut. Oleh karenanya, dia meminta agar Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi segera membuat peraturannya.
"Apa yang menjadi putusan MK itu harus diterjemahkan ke dalam operasionalnya supaya tidak menimbulkan dispute," ujarnya.
"Putusan MK itu kan final. Harus ada jabarannya nanti diatur dalam peraturan lah," terangnya.
Sebelumnya, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi akan menerbitkan surat edaran mengenai ketentuan outsourcing dan Perjanjian Kerja Waktu Tententu (PKWT). Surat edaran ini dalam minggu ini diharapkan sudah selesai.
Penerbitan surat edaran ini terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 pada tanggal 17 Januari 2012, mengenai permohonan pengujian Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang terkait dengan PKWT dan outsourcing (pasal 59, 64, 65 dan 66).
“Memang perlu untuk ada semacam surat edaran atau petunjuk untuk mengatur ketentuan–ketentuan yang terkait dengan outsourcing dan PKWT ini. Kemenakertrans segera membuat surat edaran untuk menjelaskan masalah ini," kata Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga kerja (PHI dan Jamsos) Kemenakertrans Myra M. Hanartani, Rabu 18 Januari 2012.
Selanjutnya, dengan dikeluarkannya putusan MK ini, maka dipandang perlu segera diakomodir hasil putusan MK tersebut dalam rumusan baru dalam peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan, termasuk aturan perjanjian kerja dalam hubungan kerja.
“Bagaimanapun juga harus ada persiapan-persiapan bagi yang sekarang sudah melakukan dengan sistem kerja yang seperti itu. Kita harus memberikan semacam guidence agar tidak terjadi perselisihan dan juga agar tidak salah tafsir," terangnya.
Myra menambahkan untuk keputusan dari MK yang berkaitan dengan outsourcing itu memang akhirnya di dalam putusan itu mengatakan, untuk kegiatan yang out dan alih daya tidak bisa menggunakan PKWT, dan itu sudah diputuskan seperti itu.
“Yang perlu ditekankan dalam putusan MK adalah pekerja/buruh yang melaksanakan pekerjaan dalam perusahaan outsourcing tidak boleh kehilangan hak-haknya yang dilindungi oleh konstitusi. Maka harus dipastikan hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan outsourcing yang melaksanakan outsourcing dilaksanakan dengan tetap menjamin perlindungan atas hak-hak pekerja/buruh," jelasnya.
Dalam perjanjian kerja outsourcing, tambah Myra, harus disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagaian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
()