Pembatasan BBM dikritik kalangan industri
A
A
A
Sindonews.com - Rencana pemerintah memberlakukan pembatasan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi bagi semua kendaraan pribadi dikritik oleh kalangan industri.
Dalih pemerintah melakukan pembatasan karena ingin melakukan penghematan dan hampir 75 persen penggunaan BBM bersubsidi salah sasaran, kalangan industri justru menilai kebijakan ini dapat merugikan masyarakat.
Anggota Dewan Pertimbangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kota Depok, Muhammad Fuad menilai pembatasan BBM tidak manusiawi. Pasalnya, masyarakat sangat dirugikan dan memiliki dampak yang luas.
“Pembatasan subsidi ini tidak manusiawi dan tidak berkeadilan. Bagaimana tidak, anak bangsa sendiri kok susah menikmati kekayaan negeri sendiri. Kalau seperti ini terlaksana, pastinya masyarakat dan pemerintah kota tidak bisa berbuat apa-apa,” ungkapnya di Depok, Minggu (22/1/2012).
Fuad mengungkapkan, kebijakan dalam menentukan pembatasan subsidi ataupun konversi ke BBG tidak lepas dari Undang-Undang (UU) APBN. Menurutnya, masyarakat dan Pemerintah Daerah hanya pelaksana dari UU tersebut.
“Seharusnya, ketentuannya 75 persen bagi konsumsi dalam negeri dan selebihnya atau 25 persen untuk investor. Kalau aturannya seperti ini, subsidi tidak akan tinggi dan bisa memenuhi kebutuhan dengan baik,” paparnya.
Padahal, imbuhnya, BBM merupakan nyawa perekonomian Indonesia. Banyak penghasil produk tutup karena tidak kuat dengan bahan bakar dan berpindah menjadi trading (pengimpor atau penjual) saja. Menurutnya, masyarakat jelas dirugikan dengan harus menanggung beban untuk memenuhi kebutuhannya.
“Sementara, pemkot di daerah bukan pelaksana dan sebagai pengawas saja,” tukasnya. (ank)
Dalih pemerintah melakukan pembatasan karena ingin melakukan penghematan dan hampir 75 persen penggunaan BBM bersubsidi salah sasaran, kalangan industri justru menilai kebijakan ini dapat merugikan masyarakat.
Anggota Dewan Pertimbangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kota Depok, Muhammad Fuad menilai pembatasan BBM tidak manusiawi. Pasalnya, masyarakat sangat dirugikan dan memiliki dampak yang luas.
“Pembatasan subsidi ini tidak manusiawi dan tidak berkeadilan. Bagaimana tidak, anak bangsa sendiri kok susah menikmati kekayaan negeri sendiri. Kalau seperti ini terlaksana, pastinya masyarakat dan pemerintah kota tidak bisa berbuat apa-apa,” ungkapnya di Depok, Minggu (22/1/2012).
Fuad mengungkapkan, kebijakan dalam menentukan pembatasan subsidi ataupun konversi ke BBG tidak lepas dari Undang-Undang (UU) APBN. Menurutnya, masyarakat dan Pemerintah Daerah hanya pelaksana dari UU tersebut.
“Seharusnya, ketentuannya 75 persen bagi konsumsi dalam negeri dan selebihnya atau 25 persen untuk investor. Kalau aturannya seperti ini, subsidi tidak akan tinggi dan bisa memenuhi kebutuhan dengan baik,” paparnya.
Padahal, imbuhnya, BBM merupakan nyawa perekonomian Indonesia. Banyak penghasil produk tutup karena tidak kuat dengan bahan bakar dan berpindah menjadi trading (pengimpor atau penjual) saja. Menurutnya, masyarakat jelas dirugikan dengan harus menanggung beban untuk memenuhi kebutuhannya.
“Sementara, pemkot di daerah bukan pelaksana dan sebagai pengawas saja,” tukasnya. (ank)
()