Opsi kenaikan harga BBM paling realistis

Senin, 23 Januari 2012 - 11:01 WIB
Opsi kenaikan harga...
Opsi kenaikan harga BBM paling realistis
A A A
Sindonews.com - Opsi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) untuk mengurangi konsumsi dinilai paling realistis. Pelaksanaan opsi tersebut bahkan perlu dipercepat agar efeknya dapat segera dirasakan.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan, pelaksanaan rencana pembatasan rentan menimbulkan kekacauan di lapangan. Hal itu terutama akibat masih minimnya infrastruktur bahan bakar minyak non-subsidi dan minimnya pengawasan.

“Program pembatasan konsumsi itu rawan kebocoran dan bisa menimbulkan pasar gelap BBM bersubsid. Opsi pembatasan juga berpotensi mendorong peningkatan konsumsi oleh pengguna sepeda motor serta tidak efektif terhadap kenaikan harga minyak mentah dunia,” kata dia di Jakarta, akhir pekan lalu.

Namun, lanjut Pri, opsi alternatif seperti menaikkan harga BBM bersubsidi masih terhambat oleh aturan. Dia mengungkapkan, berdasarkan pasal 7 ayat (6) Undang-Undang No 22/2011 tentang Anggaran 2012 menyatakan bahwa harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan, sehingga mengisyaratkan bahwa tidak boleh ada kenaikan harga BBM bersubsidi pada 2012.

Karena itu, tegas dia, perlu didorong agar UU Anggaran 2012 direvisi sehingga nantinya diharapkan bisa mengakomodasi opsi lain seperti kenaikan harga, diferensiasi harga, atau kenaikan harga yang dikombinasikan dengan kebijakan harga berfluktuasi dengan batas atas tertentu. Pri menegaskan kenaikan harga relatif lebih sederhana dalam implementasi serta tidak membutuhkan tambahan infrastruktur maupun pengawasan.

Namun, dia menyarankan agar kenaikan harganya dilakukan secara terbatas sekira Rp1.000-Rp1.500 per liter agar tidak mengakibatkan inflasi terlalu tinggi. Berdasarkan kajian ReforMiner Institute, lanjutnya, kenaikan harga BBM bersubsidi secara nasional sebesar Rp1.000 per liter akan mengakibatkan kenaikan inflasi sebesar 1,07 persen.

Sementara kenaikan harga Rp1.500 per liter akan menaikkan inflasi sebesar 1,58 persen dan kenaikan Rp2.000 per liter akan berdampak pada kenaikan inflasi 2,24 persen.

“Tapi, jika kenaikan harga BBM bersubsidi ini diterapkan, penghematan alokasi anggaran subsidi pemerintah berpotensi mencapai Rp38,3 triliun untuk kenaikan harga Rp1.000 per liter dan Rp57 triliun untuk kenaikan harga sebesar Rp1.500 per liter,” jelasnya.

Namun, jika pemerintah enggan menaikkan harga, menurut Pri opsi diferensiasi harga juga bisa dilakukan. Caranya, dengan menaikkan harga BBM bersubsidi secara terbatas hanya pada golongan tertentu. Harga premium dan solar bagi pemilik sepeda motor dan angkutan umum tetap Rp4.500 per liter, namun untuk kendaraan pelat hitam naik menjadi Rp6.000 per liter.

“Tapi, sistem ini ada kelemahan, yaitu berpotensi menimbulkan penyelewengan.Tapi masih relatif lebih kecil dibandingkan pembatasan BBM. Sistem ini juga tidak perlu mengubah atau menambah infrastruktur,” ujarnya. Sementara itu, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Widjajono Partowidagdo menjelaskan, saat ini pihaknya masih menunggu opsi yang akan terpilih berdasarkan keputusan politik nantinya.

Namun dia mengatakan, apabila kenaikan harga BBM bersubsidi yang dipilih maka pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) akan dipercepat.

”Kita sedang menunggu keputusan DPR-nya saja,” ungkap dia kepada SINDO.
()
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0274 seconds (0.1#10.140)