Kebijakan pembatasan BBM belum siap

Jum'at, 27 Januari 2012 - 10:46 WIB
Kebijakan pembatasan...
Kebijakan pembatasan BBM belum siap
A A A


Sindonews.com - Pembahasan mengenai pembatasan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi antara pemerintah dan DPR yang dijadwalkan kemarin ditunda hingga Senin (30/1) pekan depan. Alasan penundaan adalah pemerintah masih menyiapkan dokumen yang lebih lengkap.

Kendati memahami alasan penundaan demi persiapan yang lebih matang, DPR menilai pemerintah saat ini masih kebingungan mengenai langkah yang akan diambil. Pemerintah masih belum mempunyai kebijakan pasti soal pembatasan BBM yang rencananya akan dimulai untuk jenis premium per 1 April 2012.

“Sepertinya belum yakin akan kebijakannya sendiri, pemerintah lebih baik memilih kenaikan harga ketimbang pembatasan pemakaian BBM,” ujar anggota Komisi VII DPR Bobby Rizaldi di Jakarta, Kamis 26 Januari 2012.
Seperti diketahui, pemerintah akan menjalankan pembatasan premium bersubsidi yang dimulai di wilayah Jabodetabek per 1 April 2012. Target selanjutnya, pembatasan dapat dilakukan di seluruh wilayah Jawa-Bali pada 2013.

Kemudian, program pembatasan itu akan menjangkau kota-kota lain di Indonesia hingga tuntas 2014. Pembatasan secara massal dalam waktu relatif singkat itu oleh sejumlah kalangan memang dinilai kurang realistis karena tidak diikuti kesiapan infrastruktur pendukungnya.

Terkait dengan itu, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia pun mengusulkan kenaikan harga, dengan memberlakukan dua harga berbeda berdasarkan jenis kendaraan.

Ketua Kadin Suryo Bambang Sulisto mengungkapkan, usulan itu dirumuskan pihaknya setelah memperhatikan wacana yang berkembang. Kadin mengusulkan kenaikan harga BBM bersubsidi sebesar Rp1.000 per liter untuk sepeda motor, kendaraan roda tiga, kendaraan umum jenis taksi, dan angkutan umum roda empat, termasuk yang digunakan usaha mikro kecil menengah (UMKM).

Sementara untuk kendaraan roda empat pelat hitam seperti mobil pribadi, mobil dinas pemerintah, dan taksi eksekutif, Kadin mengusulkan kenaikan sebesar Rp3.000 per liter.

”Usulan ini disampaikan dengan catatan bahwa nilai penghematan subsidi harus dimanfaatkan untuk membangun infrastruktur, memberdayakan UMKM, dan mengentaskan rakyat dari kemiskinan,” ungkap Suryo dalam keterangan tertulisnya.

Opsi kenaikan harga BBM untuk mengurangi konsumsi juga dinilai paling realistis oleh Direktur Eksekutif Refor-Miner Institute Pri Agung Rakhmanto. Menurut dia, pelaksanaan rencana pembatasan rentan menimbulkan kekacauan di lapangan. Hal itu terutama akibat masih minimnya infrastruktur BBM non-subsidi dan minimnya pengawasan.

“Program pembatasan konsumsi itu rawan kebocoran dan bisa menimbulkan pasar gelap BBM bersubsidi. Opsi pembatasan juga berpotensi mendorong peningkatan konsumsi oleh pengguna sepeda motor serta tidak efektif terhadap kenaikan harga minyak mentah dunia,” kata dia.

Pri menegaskan bahwa kenaikan harga relatif lebih sederhana dalam implementasi serta tidak membutuhkan tambahan infrastruktur maupun pengawasan. Namun, dia menyarankan agar kenaikan harganya dilakukan secara terbatas sekitar Rp1.000–1.500 per liter agar tidak mengakibatkan inflasi terlalu tinggi.

Berdasarkan kajian Refor-Miner Institute, kenaikan harga BBM bersubsidi secara nasional sebesar Rp1.000 per liter akan mengakibatkan kenaikan inflasi sebesar 1,07%. Sementara, kenaikan harga Rp1.500 per liter akan menaikkan inflasi sebesar 1,58% dan kenaikan Rp2.000 per liter akan berdampak pada kenaikan inflasi 2,24%.

Tapi, jika kenaikan harga BBM bersubsidi ini diterapkan, penghematan alokasi anggaran subsidi pemerintah berpotensi mencapai Rp38,3 triliun untuk kenaikan harga Rp1.000 per liter dan Rp57 triliun untuk kenaikan harga sebesar Rp1.500 per liter.

Namun jika pemerintah enggan menaikkan harga, menurut Pri, opsi diferensiasi harga juga bisa dilakukan. Caranya, dengan menaikkan harga BBM bersubsidi secara terbatas hanya pada golongan tertentu. Harga premium dan solar bagi pemilik sepeda motor dan angkutan umum tetap Rp4.500 per liter, namun untuk kendaraan pelat hitam naik menjadi Rp6.000 per liter.

“Sistem ini ada kelemahan, yaitu berpotensi menimbulkan penyelewengan. Tapi, masih relatif lebih kecil dibandingkan pembatasan BBM. Sistem ini juga tidak perlu mengubah atau menambah infrastruktur,” ujarnya. (bro)
()
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0509 seconds (0.1#10.140)