Proses pembatasan impor CPO oleh AS masih panjang
A
A
A
Sindonews.com – Pemerintah Amerika Serikat (AS) kemungkinan akan membatasi impor minyak kelapa sawit (CPO) dari Indonesia, Malaysia, dan negara-negara eksportir CPO, terkait temuan baru oleh Badan Perlindungan Lingkungan (EPA) AS soal ambang batas pengurangan emisi dari pengolahan sumber daya alam tersebut.
Data EPA yang diumumkan melalui Register Federal Jumat pekan lalu menunjukkan bahwa bahan bakar nabati (biofuel) yang dioleh dari minyak kepala sawit tidak lagi memenuhi standar bahan bakar yang bisa diperbarui (renewable fuels standard/RFS).
Menurut EPA, standar nasional RFS menetapkan kenaikan persentase emisi bahan bakar yang bisa diperbarui untuk campuran bahan bakar kendaraan bermotor. Dan, aturan tahun 2007 itu menaikkan ambang batas pengurangan emisi gas rumah kaca dari minyak kelapa sawit sebesar minimum 20 persen dibandingkan bensin atau diesel.
RFS sebelumnya menetapkan tingkat emisi siklus gas rumah kaca (GHG) untuk campuran bahan bakar nabati biodiesel yang diolah dari CPO sebesar 17 persen dan untuk biodiesel yang bisa diperbarui (renewable biodiesel) sebesar 11 persen.
Atase Perdagangan KBRI Washington Ni Made A Marthini yang dihubungi SINDO kemarin mengatakan, temuan baru EPA ini belum menjadi aturan yang akan membatasi impor CPO dari Indonesia.
”Kita masih diberi waktu 30 hari untuk merespons temuan tersebut,” katanya. Namun, menurut Made, walaupun belum menjadi aturan ada kemungkinan temuan ini akan mengarah pada pembatasan atau larangan impor.
”Proses ini masih panjang dan kami masih bisa mengajukan juga hasil analisis dari industri kepala sawit kita sebagai pembanding atas temuan EPA,” lanjut Made. Sebab itu, lanjut Made, Pemerintah RI, kalangan industri, importir dan eksportir CPO tengah mempersiapkan langkah untuk menanggapi analisis temuan EPA ini. EPA memberikan waktu hingga 27 Februari kepada semua pihak yang terkait impor CPO ini untuk memberikan respons.
Made mengatakan, peningkatan ambang batas minimum emisi bahan bakar nabati ini merupakan kebijakan Pemerintah AS sebagai bagian dari meningkatnya kesadaran akan energi bersih dan pelestarian lingkungan.
Data Departemen Perdagangan AS per November 2011 menyebutkan,total impor CPO AS dari berbagai negara mencapai USD1,1 miliar. Malaysia menduduki peringkat pertama sebagai eksportir CPO ke AS dengan nilai USD1 miliar, Indonesia di urutan kedua dengan USD53,5 juta, diikuti oleh Kolombia dan Brasil.
Data EPA yang diumumkan melalui Register Federal Jumat pekan lalu menunjukkan bahwa bahan bakar nabati (biofuel) yang dioleh dari minyak kepala sawit tidak lagi memenuhi standar bahan bakar yang bisa diperbarui (renewable fuels standard/RFS).
Menurut EPA, standar nasional RFS menetapkan kenaikan persentase emisi bahan bakar yang bisa diperbarui untuk campuran bahan bakar kendaraan bermotor. Dan, aturan tahun 2007 itu menaikkan ambang batas pengurangan emisi gas rumah kaca dari minyak kelapa sawit sebesar minimum 20 persen dibandingkan bensin atau diesel.
RFS sebelumnya menetapkan tingkat emisi siklus gas rumah kaca (GHG) untuk campuran bahan bakar nabati biodiesel yang diolah dari CPO sebesar 17 persen dan untuk biodiesel yang bisa diperbarui (renewable biodiesel) sebesar 11 persen.
Atase Perdagangan KBRI Washington Ni Made A Marthini yang dihubungi SINDO kemarin mengatakan, temuan baru EPA ini belum menjadi aturan yang akan membatasi impor CPO dari Indonesia.
”Kita masih diberi waktu 30 hari untuk merespons temuan tersebut,” katanya. Namun, menurut Made, walaupun belum menjadi aturan ada kemungkinan temuan ini akan mengarah pada pembatasan atau larangan impor.
”Proses ini masih panjang dan kami masih bisa mengajukan juga hasil analisis dari industri kepala sawit kita sebagai pembanding atas temuan EPA,” lanjut Made. Sebab itu, lanjut Made, Pemerintah RI, kalangan industri, importir dan eksportir CPO tengah mempersiapkan langkah untuk menanggapi analisis temuan EPA ini. EPA memberikan waktu hingga 27 Februari kepada semua pihak yang terkait impor CPO ini untuk memberikan respons.
Made mengatakan, peningkatan ambang batas minimum emisi bahan bakar nabati ini merupakan kebijakan Pemerintah AS sebagai bagian dari meningkatnya kesadaran akan energi bersih dan pelestarian lingkungan.
Data Departemen Perdagangan AS per November 2011 menyebutkan,total impor CPO AS dari berbagai negara mencapai USD1,1 miliar. Malaysia menduduki peringkat pertama sebagai eksportir CPO ke AS dengan nilai USD1 miliar, Indonesia di urutan kedua dengan USD53,5 juta, diikuti oleh Kolombia dan Brasil.
()