Industri pelayaran usul subsidi BBM dihapuskan
A
A
A
Sindonews.com - Dewan Pengurus Pusat Organisasi Pengusaha Pelayaran Nasional (DPP INSA) mendesak pemerintah untuk segera mengambil kebijakan tegas terkait rencana penghapusan subsidi bahan bakar minyak (BBM). Pasalnya, ditengah lonjakan harga minyak dunia saat ini, pemerintah terlihat masih ragu untuk menaikan harga BBM.
“Pemerintah harus berani mengambil keputusan untuk menaikkan harga atau membatasi penggunaan BBM bersubsidi. Melihat harga minyak dunia yang terus naik, akan terlalu banyak dana APBN yang terkuras untuk membiayai subsidi BBM,” tegas Ketua Umum DPP INSA Carmelita Hartoto, dalam keterangan tertulis yang diterima Sindonews, Senin (13/2/2012).
Dalam APBN tahun 2012, total anggaran untuk subsidi BBM mencapai Rp123 triliun. Namun, angka tersebut hampir pasti akan melonjak mengingat harga minyak sudah melewati level USD100 per barel. Sementara patokan harga minyak di APBN 2012 sebesar USD90 per barel.
Carmelita menambahkan, para anggota INSA tidak mempersoalkan bila pemerintah menghapuskan subsidi BBM untuk armada pelayaran niaga nasional. Bahkan, melalui surat No: 037/ESDM/I/01-2012 tanggal 25 Januari 2012, INSA justru mengusulkan penghapusan subsidi itu kepada Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM).
Meskipun biaya BBM memiliki porsi hingga 40 persen dari biaya operasional kapal, INSA optimis tanpa menggunakan BBM subsidi kinerja perusahaan pelayaran niaga nasional masih akan tetap solid dan efficient.
Namun demikian, lanjut Carmelita, BBM subsidi masih dibutuhkan untuk jenis kapal penumpang, kapal perintis, kapal pelayaran rakyat serta kapal angkutan sungai dan penyeberangan (ASDP). “Dengan menghapuskan subsidi BBM untuk pelayaran Niaga, anggota INSA sesungguhnya telah ikut mengurangi beban pemerintah,” lanjutnya.
Melalui penghapusan BBM bersubsidi untuk pelayaran niaga, INSA berharap pemerintah juga memberikan treatment yang setara kepada industri pelayaran nasional. Misalnya menghapus pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen untuk angkutan ekspor-impor.
Selama ini, akibat PPN tersebut, pelayaran domestik hanya mengangkut sekitar sembilan dari muatan ekspor-impor di Indonesia yang mencapai 500 juta ton per tahun karena tidak bisa berkompetisi dengan pelabuhan asing.
“Melonjaknya aktivitas ekspor-impor selama tiga tahun terakhir hanya dinikmati perusahaan asing. Tahun lalu kita juga kehilangan potensi PPH dari angkutan batubara senilai kurang lebih Rp8,5 triliun,” tegasnya.
DPP INSA juga memberikan apresiasi kepada Bank Indonesia yang kembali memangkas BI Rate ke level 5,75 persen. Langkah bank sentral tersebut diharapkan akan mendorong perbankan nasional untuk lebih menurunkan suku bunga pinjaman. Carmelita juga meminta perbankan untuk ikut berpartisipasi dalam pembiayaan ke sektor pelayaran.
Data Bank Indonesia mencatat porsi kredit perbankan ke sektor pelayaran masih dibawah lima persen dari total kredit di 2011 senilai Rp2.106 triliun. Menurut Carmelita, dari jumlah anggota INSA sekitar 1.200 perusahaan, yang sudah menikmati kredit perbankan dibawah 40 persen. Penurunan BI rate bisa menjadi momentum perbankan untuk memangkas suku bunga kredit.
“Bank Nasional juga harus berani terjun ke sektor pelayaran. Selama ini kredit bank ke pelayaran masih didominasi oleh bank asing,” tandas Carmelita.
“Pemerintah harus berani mengambil keputusan untuk menaikkan harga atau membatasi penggunaan BBM bersubsidi. Melihat harga minyak dunia yang terus naik, akan terlalu banyak dana APBN yang terkuras untuk membiayai subsidi BBM,” tegas Ketua Umum DPP INSA Carmelita Hartoto, dalam keterangan tertulis yang diterima Sindonews, Senin (13/2/2012).
Dalam APBN tahun 2012, total anggaran untuk subsidi BBM mencapai Rp123 triliun. Namun, angka tersebut hampir pasti akan melonjak mengingat harga minyak sudah melewati level USD100 per barel. Sementara patokan harga minyak di APBN 2012 sebesar USD90 per barel.
Carmelita menambahkan, para anggota INSA tidak mempersoalkan bila pemerintah menghapuskan subsidi BBM untuk armada pelayaran niaga nasional. Bahkan, melalui surat No: 037/ESDM/I/01-2012 tanggal 25 Januari 2012, INSA justru mengusulkan penghapusan subsidi itu kepada Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM).
Meskipun biaya BBM memiliki porsi hingga 40 persen dari biaya operasional kapal, INSA optimis tanpa menggunakan BBM subsidi kinerja perusahaan pelayaran niaga nasional masih akan tetap solid dan efficient.
Namun demikian, lanjut Carmelita, BBM subsidi masih dibutuhkan untuk jenis kapal penumpang, kapal perintis, kapal pelayaran rakyat serta kapal angkutan sungai dan penyeberangan (ASDP). “Dengan menghapuskan subsidi BBM untuk pelayaran Niaga, anggota INSA sesungguhnya telah ikut mengurangi beban pemerintah,” lanjutnya.
Melalui penghapusan BBM bersubsidi untuk pelayaran niaga, INSA berharap pemerintah juga memberikan treatment yang setara kepada industri pelayaran nasional. Misalnya menghapus pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen untuk angkutan ekspor-impor.
Selama ini, akibat PPN tersebut, pelayaran domestik hanya mengangkut sekitar sembilan dari muatan ekspor-impor di Indonesia yang mencapai 500 juta ton per tahun karena tidak bisa berkompetisi dengan pelabuhan asing.
“Melonjaknya aktivitas ekspor-impor selama tiga tahun terakhir hanya dinikmati perusahaan asing. Tahun lalu kita juga kehilangan potensi PPH dari angkutan batubara senilai kurang lebih Rp8,5 triliun,” tegasnya.
DPP INSA juga memberikan apresiasi kepada Bank Indonesia yang kembali memangkas BI Rate ke level 5,75 persen. Langkah bank sentral tersebut diharapkan akan mendorong perbankan nasional untuk lebih menurunkan suku bunga pinjaman. Carmelita juga meminta perbankan untuk ikut berpartisipasi dalam pembiayaan ke sektor pelayaran.
Data Bank Indonesia mencatat porsi kredit perbankan ke sektor pelayaran masih dibawah lima persen dari total kredit di 2011 senilai Rp2.106 triliun. Menurut Carmelita, dari jumlah anggota INSA sekitar 1.200 perusahaan, yang sudah menikmati kredit perbankan dibawah 40 persen. Penurunan BI rate bisa menjadi momentum perbankan untuk memangkas suku bunga kredit.
“Bank Nasional juga harus berani terjun ke sektor pelayaran. Selama ini kredit bank ke pelayaran masih didominasi oleh bank asing,” tandas Carmelita.
()