Studi EPS soal CPO RI dinilai salah
A
A
A
Sindonews.com - Pemerintah dan para pemangku kepentingan komoditas kelapa sawit Indonesia menilai hasil studi Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (AS) tentang minyak sawit mentah (CPO) menggunakan metodologi yang salah dan sarat dengan asumsi tanpa fakta.
Kesimpulan EPA itu juga dinilai sebagai hambatan non tarif yang tidak adil terhadap komoditi CPO sebagai bahan utama biofuel atau biodiesel.
”Metode studi soal CPO yang digunakan Environment Protection Agency (EPA) itu nggak jelas, sangat asumtif dan prediktif sekali sehingga jauh dari kenyataan,” ujar Ketua Pelaksana Harian Komisi Minyak Kelapa Sawit Indonesia Rosdiana Soeharto kepada wartawan seusai berbicara di depan forum InternationalConferenceonOil Palm and Environment (ICOPE) di Nusa Dua, Bali, kemarin.
Sesi khusus yang membahas hasil studi EPA tentang CPO menjadi perhatian para peserta karena sedang menjadi isu hangat. Selain panelis Indonesia, panelis dari Malaysia dan perwakilan Kedutaan Besar AS, peserta seminar juga antusias menyimak dialog dan perdebatan dengan Sharyn Lie, direktur Pusat Iklim dan Ekonomi EPA yang dilakukan melalui telekonferensi.
Dalam dialog jarak jauh itu, pihak EPA tidak banyak menjawab komplain tentang perbedaan metodologi penelitian yang disampaikan para panelis dan peserta ICOPE.
Dalam dialog tersebut, EPA bersikukuh telah melakukan metode yang mendukung temuannya bahwa CPO tidak memenuhi syarat sebagai bahan baku biofuel karena hanya mengurangi emisi gas rumah kaca (GHG) sebesar 17 persen. Padahal, syarat minimal yang diterapkan EPA pengurangan emisi minimal 20 persen.
Jika studi ini jadi kebijakan resmi Pemerintah AS, CPO Indonesia tidak bisa diekspor ke negeri Paman Sam sebagai bahan biofuel. Seperti diketahui, Indonesia adalah produsen CPO nomor satu di dunia dengan produksi mencapai 23 juta ton (2011). Dari jumlah tersebut, hanya 6–7 juta ton yang diserap pasar dalam negeri. Selebihnya sekitar 17 juta ton diekspor ke berbagai negara termasuk AS.
Sebelumnya saat pidato pembukaan ICOPE, Menteri Pertanian Suswono juga menegaskan bahwa studi EPA sangat asumtif jauh dari fakta di lapangan. Karena itu, Suswono mengajak semua stakeholder untuk bersama-sama menyampaikan keberatan secara tertulis kepada EPA atas hal itu.
Rosdiana menambahkan, paling tidak ada 25 ahli yang masuk tim untuk merumuskan sanggahan atas studi EPA itu. Bahkan,tim ini juga sudah berkomunikasi dengan Malaysia yang juga akan menyampaikan hal yang sama kepada EPA. ”Saya yakin mereka (EPA) akan mendapat jutaan sanggahan atas kesimpulan itu. Kira-kira akhir Maret sanggahan itu akan kita kirimkan,” tambahnya.
Rosdiana menegaskan, studi EPA ini dikaitkan dengan kebutuhan akan bahan bakar nabati AS pada 2022 yang bisa mencapai 400 miliar galon. Dan CPO adalah salah satu bahan pembuatan bahan bakar nabati yang efisien dibandingkan kedelai, jagung, jarak maupun bunga matahari.
Direktur Sinar Mas Research Institute Tony Liwang berpendapat serupa. Menurut dia, apa yang disampaikan EPA tidak fair. Semestinya, kesimpulan yang diambil tidak boleh diskriminatif terhadap komoditas tertentu maupun negara tertentu. ”Jangan disamaratakan,” ujar Tony. (ank)
Kesimpulan EPA itu juga dinilai sebagai hambatan non tarif yang tidak adil terhadap komoditi CPO sebagai bahan utama biofuel atau biodiesel.
”Metode studi soal CPO yang digunakan Environment Protection Agency (EPA) itu nggak jelas, sangat asumtif dan prediktif sekali sehingga jauh dari kenyataan,” ujar Ketua Pelaksana Harian Komisi Minyak Kelapa Sawit Indonesia Rosdiana Soeharto kepada wartawan seusai berbicara di depan forum InternationalConferenceonOil Palm and Environment (ICOPE) di Nusa Dua, Bali, kemarin.
Sesi khusus yang membahas hasil studi EPA tentang CPO menjadi perhatian para peserta karena sedang menjadi isu hangat. Selain panelis Indonesia, panelis dari Malaysia dan perwakilan Kedutaan Besar AS, peserta seminar juga antusias menyimak dialog dan perdebatan dengan Sharyn Lie, direktur Pusat Iklim dan Ekonomi EPA yang dilakukan melalui telekonferensi.
Dalam dialog jarak jauh itu, pihak EPA tidak banyak menjawab komplain tentang perbedaan metodologi penelitian yang disampaikan para panelis dan peserta ICOPE.
Dalam dialog tersebut, EPA bersikukuh telah melakukan metode yang mendukung temuannya bahwa CPO tidak memenuhi syarat sebagai bahan baku biofuel karena hanya mengurangi emisi gas rumah kaca (GHG) sebesar 17 persen. Padahal, syarat minimal yang diterapkan EPA pengurangan emisi minimal 20 persen.
Jika studi ini jadi kebijakan resmi Pemerintah AS, CPO Indonesia tidak bisa diekspor ke negeri Paman Sam sebagai bahan biofuel. Seperti diketahui, Indonesia adalah produsen CPO nomor satu di dunia dengan produksi mencapai 23 juta ton (2011). Dari jumlah tersebut, hanya 6–7 juta ton yang diserap pasar dalam negeri. Selebihnya sekitar 17 juta ton diekspor ke berbagai negara termasuk AS.
Sebelumnya saat pidato pembukaan ICOPE, Menteri Pertanian Suswono juga menegaskan bahwa studi EPA sangat asumtif jauh dari fakta di lapangan. Karena itu, Suswono mengajak semua stakeholder untuk bersama-sama menyampaikan keberatan secara tertulis kepada EPA atas hal itu.
Rosdiana menambahkan, paling tidak ada 25 ahli yang masuk tim untuk merumuskan sanggahan atas studi EPA itu. Bahkan,tim ini juga sudah berkomunikasi dengan Malaysia yang juga akan menyampaikan hal yang sama kepada EPA. ”Saya yakin mereka (EPA) akan mendapat jutaan sanggahan atas kesimpulan itu. Kira-kira akhir Maret sanggahan itu akan kita kirimkan,” tambahnya.
Rosdiana menegaskan, studi EPA ini dikaitkan dengan kebutuhan akan bahan bakar nabati AS pada 2022 yang bisa mencapai 400 miliar galon. Dan CPO adalah salah satu bahan pembuatan bahan bakar nabati yang efisien dibandingkan kedelai, jagung, jarak maupun bunga matahari.
Direktur Sinar Mas Research Institute Tony Liwang berpendapat serupa. Menurut dia, apa yang disampaikan EPA tidak fair. Semestinya, kesimpulan yang diambil tidak boleh diskriminatif terhadap komoditas tertentu maupun negara tertentu. ”Jangan disamaratakan,” ujar Tony. (ank)
()