Kualitas ekspor, jati ukir Karduluk kesulitan bahan baku
A
A
A
Sindonews.com - Kaya akan jenis budaya, seni, dan kerajinan, begitulah kira-kira predikat yang pantas disandang oleh Kabupaten Sumenep, Madura. Berbagai jenis kerajinan yang berbahan baku dari alam sekitar, menjadi produk unggulan dari kabupaten yang mempunyai julukan Bumi Sumekar tersebut.
Cuaca tidak seperti biasanya, mendung, apalagi hujan tidak nampak sama sekali. Sebaliknya, panas yang cukup menyengat kulit sangat terasa saat Seputar Indonesia (Sindo) berkunjung ke Desa Karduluk, Kecamatan Pragaan, Kabupaten Sumenep, beberapa waktu lalu.
Di desa yang terletak di bagian tengah Kabupaten Sumenep tersebut, penduduk desa cukup ramah. Sebagian besar dari mereka tidak ada yang nganggur¸ baik itu kalangan muda dan tua. Malahan sibuk dengan aktivitas yang cukup menumpuk, berkutat dengan kayu jati.
Ya, di desa yang menjadi pusat kerajinan jati ukir tersebut, hampir seluruh warga terlihat bekerja. Mulai dari yang memotong batangan kayu jati, menghaluskan dan sampai juga memahat menjadi ukiran yang layak jual. Terkadang, pekerjaan mengukir kayu jati tersebut dilakoni hingga larut malam.
“Hampir sebagian besar di kampung ini (Dusun Karduluk), mempunyai usaha jati ukir, sehingga kalau siang kelihatan banyak yang sibuk bekerja,” ujar Nasuha, salah satu pemilik usaha jati ukir, ditemui di rumah yang sekaligus dijadikan tempat usahanya.
Sambil mempersilakan duduk, Nasuha menjelaskan, ada beberapa jenis jati ukir yang dihasilkan olehnya. Rata-rata berupa sofa atau kursi ukir yang berbahan dasar kayu jati, meski ada garapan lain seperti meja ukir, kandang ayam bekisar ukir, serta tempat tidur ukir atau biasa disebut ranjang pale’.
Untuk bisa menghasilkan satu jenis ukiran saja, menurutnya cukup butuh waktu lama, karena harus disertai dengan ketelatenan dan kesabaran. Sebab, yang diukir adalah jenis kayu jati. Kalau sampai ada yang rusak sedikit akan berpengaruh terhadap hasil ukiran secara keseluruhan. “Minimal satu minggu baru bisa menghasilkan satu kursi atau meja. Jadi, tidak mudah dan butuh waktu lama,” tegasnya.
Meski butuh waktu lama, ternyata setara dengan hasil yang diperoleh. Terutama nilai jual yang tergolong cukup mahal, bisa mencapai harga Rp6–8 juta untuk satu unit kursi dan meja ukir saja. Itu belum termasuk harga tempat tidur, yang bisa mencapai puluhan juta rupiah, tergantung sedikit banyaknya ukiran yang dipesan.
Hasil jati ukir yang dikelola oleh Nasuha selama puluhan tahun tersebut, tidak hanya merambah pangsa pasar nasional seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Semarang saja. Produk tersebut juga sudah menembus pasar internasional, dengan kualitas ekspor.
“Cuma, kalau sudah banyak pesanan, terkadang dibenturkan dengan stok bahan baku yang minim sekali. Sebab, untuk kayu jati kan butuh waktu lama, tidak bisa sembarangan dijadikan bahan,” terang Nasuha.
Praktis, adanya usaha jenis jati ukir tersebut, tidak hanya mengangkat nama Desa Karduluk sebagai pusat kerajinan yang terkenal. Di sisi lain juga bisa membuka lapangan kerja, khususnya bagi para pemuda yang ada di desa setempat. Seperti halnya di rumah usaha milik Nasuha, bisa memperkerjakan puluhan pemuda.
Mereka bekerja sesuai dengan keahlian yang dimiliki, ada yang di bagian rampelas, potong kayu, dan juga bagian ukir kayu jati. Semua saling bersinergi, untuk menghasilkan garapan terbaik dengan kualitas tingkat tinggi, serta memuaskan kalangan pembeli. “Saya sudah lima tahun kerja di sini. Hasilnya cukup lumayan, buat kebutuhan sehari-hari,” ujar Iwan, salah satu pekerja di bagian ukir.
Pernyataan kalau hasil kerajinan jati ukir tersebut diminati oleh berbagai kalangan, bukan hanya isapan jempol. Terbukti, saat itu ada beberapa pelanggan yang datang jauh-jauh dari Bandung, hanya untuk memesan jati ukir dengan motif yang sama seperti kamar tidur di Keraton Sumenep.
“Selain ukirannya khas, bahan bakunya tidak meragukan. Nah, saya datang ke sini untuk memesan tempat tidur dengan ukiran tertentu,” ungkap Abu Sofyan, salah satu pejabat asal Kabupaten Bandung. (bro)
()