Blitar tak butuh lapangan terbang
A
A
A
Sindonews.com - Keberadaan lapangan terbang (lapter) yang rencananya dibangun di wilayah Dusun Jagoan, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar diragukan bisa memberi manfaat secara langsung kepada masyarakat.
Menurut keterangan Direktur NGO Solidaritas Masyarakat Desa (Sitas Desa) Blitar Farhan Mahfudzi lapter hanya menjadi proyek prestisius penguasa. Semacam kampanye untuk melanggengkan tampuk kekuasaan yang ada. Namun tidak memberi kontribusi langsung kepada masyarakat pada umumnya.
“Sebab hanya sejumlah orang pemangku kekuasaan yang diuntungkan dalam proyek besar ini,“ ujar Farhan menjelaskan, Jumat (23/3/2012).
Sejak 1997, NGO Sitas Desa melakukan pendampingan terhadap masyarakat yang menjadi satu dengan calon lokasi bandara.
Tanah seluas kurang lebih 40 hektare itu masih berstatus sebagai lahan sengketa. Dengan izin Hak Guna Pakai (HGP), pemerintah melimpahkan tanah kepada institusi militer Angkatan Udara (AU) Abdurrahman Saleh Malang.
Sesuai HGP, lokasi yang menyatu dengan permukiman warga tersebut dipergunakan sebagai lapter darurat militer. Namun dalam faktanya, fungsi tersebut tidak pernah ada. Oleh pemegang HGP, sebagian besar tanah yang berupa areal sawah tersebut disewa-sewakan untuk kepentingan bisnis militer.
Sekitar 30 kepala keluarga (KK) mewakili ratusan warga melakukan gugatan secara hukum. Mereka meminta tanah untuk dikembalikan kepada rakyat. Sebab, jauh hari sebelum dikuasai institusi militer, lokasi tersebut merupakan permukiman penduduk. Peristiwa politik 1965 yang membuat rakyat kehilangan hak-haknya.
Ada bukti kepemilikan berupa dokumen letter C dan petok D. Selain itu juga bukti fisik pondasi bangunan di lokasi. Namun satu dari 35 sengketa agraria di Kabupaten Blitar tersebut hingga kini belum menemukan titik terang.
Menurut Farhan, jika memang lokasi tersebut disulap menjadi lapter, maka akan semakin banyak warga yang kehilangan haknya atas tanah. Tidak hanya warga di Dusun Jagoan, tetapi juga sebagian warga yang bertempat tinggal di Dusun Pojok.
“Saya pikir akan lebih baik dan bijak jika pemerintah melakukan redistribusi tanah dulu kepada warga,“ terangnya.
Pada alasan geografis, Farhan menilai keberadaan lapter kurang tepat. Hal itu mengingat Kecamatan Ponggok, terutama yang berdekatan dengan calon lapter, merupakan wilayah permukiman padat penduduk.
“Kalau hanya untuk menyokong program pariwisata saya pikir berapa jumlah warga yang mampu naik pesawat? Tentunya masih lebih banyak yang menggunakan jalan darat,“ tegasnya.
Farhan tidak berharap, proyek lapter sama halnya dengan pembangunan jalan tembus menuju Gunung Kelud yang saat ini tengah dikerjakan Pemkab Blitar.
Secara ekonomi, pembangunan tersebut, kata Farhan tidak rasional. Sebab tidak akan membawa faedah yang luas kepada masyarakat. Anggaran negara tentunya akan lebih berfungsi maksimal jika ditimpakan kepada peningkatan akses ekonomi masyarakat.
“Saya pikir tidak ada orang yang berbondong-bondong menjual hasil alam ke Gunung Kelud. Kalau dipikir dengan akal sehat, tentu yang dilakukan pemkab Blitar terasa lucu,“ pungkasnya.
Sementara sebelumnya, DPRD Kabupaten Blitar telah menyetujui pembangunan lapter di wilayah Kecamatan Ponggok.
Menurut keterangan anggota Pansus Revisi Perda Rencana Tata Ruang dan Wilayah DPRD Suwito Saren Satoto, planning pembangunan tersebut telah dimasukkan ke dalamnya (Perda).
“Selain untuk kebutuhan wisata, Blitar juga banyak mendapat kunjungan tamu kenegaraan. Dan itu perlu adanya lapter,“ ujarnya.(azh)
Menurut keterangan Direktur NGO Solidaritas Masyarakat Desa (Sitas Desa) Blitar Farhan Mahfudzi lapter hanya menjadi proyek prestisius penguasa. Semacam kampanye untuk melanggengkan tampuk kekuasaan yang ada. Namun tidak memberi kontribusi langsung kepada masyarakat pada umumnya.
“Sebab hanya sejumlah orang pemangku kekuasaan yang diuntungkan dalam proyek besar ini,“ ujar Farhan menjelaskan, Jumat (23/3/2012).
Sejak 1997, NGO Sitas Desa melakukan pendampingan terhadap masyarakat yang menjadi satu dengan calon lokasi bandara.
Tanah seluas kurang lebih 40 hektare itu masih berstatus sebagai lahan sengketa. Dengan izin Hak Guna Pakai (HGP), pemerintah melimpahkan tanah kepada institusi militer Angkatan Udara (AU) Abdurrahman Saleh Malang.
Sesuai HGP, lokasi yang menyatu dengan permukiman warga tersebut dipergunakan sebagai lapter darurat militer. Namun dalam faktanya, fungsi tersebut tidak pernah ada. Oleh pemegang HGP, sebagian besar tanah yang berupa areal sawah tersebut disewa-sewakan untuk kepentingan bisnis militer.
Sekitar 30 kepala keluarga (KK) mewakili ratusan warga melakukan gugatan secara hukum. Mereka meminta tanah untuk dikembalikan kepada rakyat. Sebab, jauh hari sebelum dikuasai institusi militer, lokasi tersebut merupakan permukiman penduduk. Peristiwa politik 1965 yang membuat rakyat kehilangan hak-haknya.
Ada bukti kepemilikan berupa dokumen letter C dan petok D. Selain itu juga bukti fisik pondasi bangunan di lokasi. Namun satu dari 35 sengketa agraria di Kabupaten Blitar tersebut hingga kini belum menemukan titik terang.
Menurut Farhan, jika memang lokasi tersebut disulap menjadi lapter, maka akan semakin banyak warga yang kehilangan haknya atas tanah. Tidak hanya warga di Dusun Jagoan, tetapi juga sebagian warga yang bertempat tinggal di Dusun Pojok.
“Saya pikir akan lebih baik dan bijak jika pemerintah melakukan redistribusi tanah dulu kepada warga,“ terangnya.
Pada alasan geografis, Farhan menilai keberadaan lapter kurang tepat. Hal itu mengingat Kecamatan Ponggok, terutama yang berdekatan dengan calon lapter, merupakan wilayah permukiman padat penduduk.
“Kalau hanya untuk menyokong program pariwisata saya pikir berapa jumlah warga yang mampu naik pesawat? Tentunya masih lebih banyak yang menggunakan jalan darat,“ tegasnya.
Farhan tidak berharap, proyek lapter sama halnya dengan pembangunan jalan tembus menuju Gunung Kelud yang saat ini tengah dikerjakan Pemkab Blitar.
Secara ekonomi, pembangunan tersebut, kata Farhan tidak rasional. Sebab tidak akan membawa faedah yang luas kepada masyarakat. Anggaran negara tentunya akan lebih berfungsi maksimal jika ditimpakan kepada peningkatan akses ekonomi masyarakat.
“Saya pikir tidak ada orang yang berbondong-bondong menjual hasil alam ke Gunung Kelud. Kalau dipikir dengan akal sehat, tentu yang dilakukan pemkab Blitar terasa lucu,“ pungkasnya.
Sementara sebelumnya, DPRD Kabupaten Blitar telah menyetujui pembangunan lapter di wilayah Kecamatan Ponggok.
Menurut keterangan anggota Pansus Revisi Perda Rencana Tata Ruang dan Wilayah DPRD Suwito Saren Satoto, planning pembangunan tersebut telah dimasukkan ke dalamnya (Perda).
“Selain untuk kebutuhan wisata, Blitar juga banyak mendapat kunjungan tamu kenegaraan. Dan itu perlu adanya lapter,“ ujarnya.(azh)
()