Pengawasan BBM bersubsidi harus diperketat
A
A
A
Sindonews.com - Proses penyaluran Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi hingga ke stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) yang kerap dinilai sebagian besar penyalurannya tidak tepat sasaran membuat Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) harus membuat sistem pengawasan yang lebih ketat dan komprehensif.
"BBM bersubsidi ini menyangkut uang negara dalam jumlah yang kolosal, hingga ratusan triliun. Selama ini, pengawasan penyalurannya di pompa bensin hanya digantungkan pada kejujuran sopir tangki dan petugas SPBU. Harus ada sistem pengawasan yang lebih ketat dan komprehensif," ucap Wakil Ketua BPH Migas Fahmi Harsandono melalui siaran tertulisnya, Selasa, (27/3/2012).
Seperti diketahui, jumlah subsidi BBM pada tahun lalu, seperti tercantum dalam APBN Perubahan 2011, mencapai Rp129,72 triliun. Dalam hal ini BPH Migas juga mengaku akan mengawasi penyaluran BBM bersubsidi hingga ke SPBU agar benar-benar dijual ke pihak yang berhak sesuai dengan jumlah yang disubsidi oleh pemerintah.
Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya kebocoran, sesuai amanat Peraturan Presiden No. 15/2012 tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu. ”Kami akan bekerja sama dengan Pertamina sebagai pemilik depot yang menyalurkan ke SPBU,” jelanya.
Fahmi menuturkan, pihaknya diberikan tugas untuk mengawasi dan melakukan verifikasi ketepatan distribusi BBM bersubsidi. Sesuai dengan perpres tersebut pasal 8 ayat 2 disebutkan bahwa badan pengatur melakukan pengaturan, pengawasan dan verifikasi terhadap kelancaran dan ketepatan pelaksanaan pendistribusian jenis BBM tertentu bagi konsumen pengguna.
Sementara ayat selanjutnya menyebutkan, BPH Migas diperbolehkan bekerja sama dengan pihak lain. ”Mengingat depot dikuasai oleh Pertamina, tentu kami akan bekerja sama dengan yang punya,” ujar Fahmi.
"Kami harus memastikan bahan bakar tersebut benar-benar masuk ke pompa bensin kemudian disalurkan kepada pengguna yang berhak. Tidak dibelokkan atau diselewengkan ke tempat lain," terangnya.
Selama ini, verifikasi BBM bersubsidi hanya dilakukan sampai ke depot. BBM yang keluar dari depot harus dibayar subsidinya oleh pemerintah, tak peduli apakah bahan bakar tersebut akhirnya masuk ke SPBU (dan dijual untuk konsumen yang berhak atas subsidi pemerintah) ataukah dibelokkan ke tempat lain.
Padahal, sesuai dengan amant Perpres No. 15/2012 tadi, pada bagian lampirannya ditegaskan bahwa titik serah untuk bensin dan solar bersubsidi harus dilakukan di tingkat penyalur (SPBU). Sejauh ini belum ada verifikasi yang lebih ketat hingga ke tingkat penyaluran ke konsumen dari SPBU, mengingat sebagian besar SBPU dioperasikan pihak ketiga.
Menurut Corporate Website Pertamina hingga semester pertama 2010 terdapat sekitar 4.500 SPBU yang tersebar di seluruh Indonesia. Dari jumlah itu, yang benar-benar dimiliki dan dioperasikan sendiri oleh Pertamina (disebut sebagai SPBU cocoalias company owned, company operated) hanya 53 unit saja. Di luar itu, SPBU dimiliki pihak ketiga dengan sistem waralaba (franchise).
Namun Fahmi menegaskan, pengawasan harus bisa dilakukan sekalipun pompa bensin dimiliki pihak ketiga. Ia memberi contoh, toko waralaba Indomaret yang dapat mengontrol dan melakukan pelaporan penjualan di seluruh outletnya. ”Masak Pertamina kalah dari Indomaret?” tandasnya. (ank)
"BBM bersubsidi ini menyangkut uang negara dalam jumlah yang kolosal, hingga ratusan triliun. Selama ini, pengawasan penyalurannya di pompa bensin hanya digantungkan pada kejujuran sopir tangki dan petugas SPBU. Harus ada sistem pengawasan yang lebih ketat dan komprehensif," ucap Wakil Ketua BPH Migas Fahmi Harsandono melalui siaran tertulisnya, Selasa, (27/3/2012).
Seperti diketahui, jumlah subsidi BBM pada tahun lalu, seperti tercantum dalam APBN Perubahan 2011, mencapai Rp129,72 triliun. Dalam hal ini BPH Migas juga mengaku akan mengawasi penyaluran BBM bersubsidi hingga ke SPBU agar benar-benar dijual ke pihak yang berhak sesuai dengan jumlah yang disubsidi oleh pemerintah.
Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya kebocoran, sesuai amanat Peraturan Presiden No. 15/2012 tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu. ”Kami akan bekerja sama dengan Pertamina sebagai pemilik depot yang menyalurkan ke SPBU,” jelanya.
Fahmi menuturkan, pihaknya diberikan tugas untuk mengawasi dan melakukan verifikasi ketepatan distribusi BBM bersubsidi. Sesuai dengan perpres tersebut pasal 8 ayat 2 disebutkan bahwa badan pengatur melakukan pengaturan, pengawasan dan verifikasi terhadap kelancaran dan ketepatan pelaksanaan pendistribusian jenis BBM tertentu bagi konsumen pengguna.
Sementara ayat selanjutnya menyebutkan, BPH Migas diperbolehkan bekerja sama dengan pihak lain. ”Mengingat depot dikuasai oleh Pertamina, tentu kami akan bekerja sama dengan yang punya,” ujar Fahmi.
"Kami harus memastikan bahan bakar tersebut benar-benar masuk ke pompa bensin kemudian disalurkan kepada pengguna yang berhak. Tidak dibelokkan atau diselewengkan ke tempat lain," terangnya.
Selama ini, verifikasi BBM bersubsidi hanya dilakukan sampai ke depot. BBM yang keluar dari depot harus dibayar subsidinya oleh pemerintah, tak peduli apakah bahan bakar tersebut akhirnya masuk ke SPBU (dan dijual untuk konsumen yang berhak atas subsidi pemerintah) ataukah dibelokkan ke tempat lain.
Padahal, sesuai dengan amant Perpres No. 15/2012 tadi, pada bagian lampirannya ditegaskan bahwa titik serah untuk bensin dan solar bersubsidi harus dilakukan di tingkat penyalur (SPBU). Sejauh ini belum ada verifikasi yang lebih ketat hingga ke tingkat penyaluran ke konsumen dari SPBU, mengingat sebagian besar SBPU dioperasikan pihak ketiga.
Menurut Corporate Website Pertamina hingga semester pertama 2010 terdapat sekitar 4.500 SPBU yang tersebar di seluruh Indonesia. Dari jumlah itu, yang benar-benar dimiliki dan dioperasikan sendiri oleh Pertamina (disebut sebagai SPBU cocoalias company owned, company operated) hanya 53 unit saja. Di luar itu, SPBU dimiliki pihak ketiga dengan sistem waralaba (franchise).
Namun Fahmi menegaskan, pengawasan harus bisa dilakukan sekalipun pompa bensin dimiliki pihak ketiga. Ia memberi contoh, toko waralaba Indomaret yang dapat mengontrol dan melakukan pelaporan penjualan di seluruh outletnya. ”Masak Pertamina kalah dari Indomaret?” tandasnya. (ank)
()