Nilai ekspor Sumut turun 15%
A
A
A
Sindonews.com - Nilai ekspor di Sumatera Utara (Sumut) pada Februari 2012 tercatat mengalami penurunan sebesar 15 persen. Penurunan tersebut tidak lepas dari belum stabilnya kondisi Negara-negara Uni Eropa yang mengalami krisis keuangan. Ini membuat buyer cenderung memilih wait and see.
”Pada periode Januari-Februari belum ada repetisi order. Ini membuat nilai volume ekspor menurun,” ujar Kepala Seksi Ekspor Hasil Pertanian dan Pertambangan Dinas Perdagangan dan Industri (Disperindag) Sumut Fitra Kurnia di Medan, Kamis 29 Maret 2012.
Berdasarkan surat keterangan asal (SKA), nilai realisasi ekspor hasil pertanian dan pertambangan pada Januari hingga Februari 2012 tercatat hanya sebesar USD768,23 juta dengan jumlah volume 729,49 juta kilogram (kg).
Angka tersebut mengalami penurunan sekitar 15 persen dibandingkan periode sama tahun yang mencatatkan nilai realisasi ekspor sebesar USD904,33 juta, dengan volume mencapai 703,4 juta kg.
Penurunan nilai ekspor tersebut, menurut Fitra, didominasi oleh komoditas unggulan pertanian. Komoditas-komoditas yang mengalami penurunan itu adalah biji coklat, teh hitam, hortikultura, kopi, rempah-rempah, biji pinang, minyak atsiri, minyak sawit (Crude Palm Oil/CPO), karet, hasil laut dan minyak kelapa.
Sementara komoditas yang mengalami kenaikan hanya hasil hutan bukan kayu, hasil laut udang dan paha kodok. “Nilai dari komoditas yang naik tidak signifikan,” katanya.
Fitra mengharapkan, kondisi eksternal bisa membaik. Sehingga ekspor akan kembali meningkat. Jika tren penurunan terus terjadi, maka dikhawatirkan akan mengancam industri pertanian dan pertambangan Sumut.
Apalagi saat ini pengusaha tengah dipusingkan oleh kenaikan biaya produksi seiring dengan rencana kenaikan bahan bakar minyak (BBM) hingga 30 persen pada April 2012. “Ini akan memberatkan pengusaha. Artinya dua kali pengusaha kena hantam.Pasar lemahlaluBBMnaik,” paparnya.
Akibat dari pelemahan ekspor serta naiknya BBM, menurut Fitra akan membuat pengusaha melakukan pengurangan produksi. Langkah tersebut dilakukan untuk mengurangi resiko kerugian yang lebih besar.
Dampak terbesar yang paling dikhawatirkan adalah kerugian besar yang membuat perusahaan melakukan perumahan karyawan, sebelum akhirnya melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). “Dan tentu ini tidak kita harapkan. Semoga rate ekspor pada Januari hingga April nanti membaik,” tutur Fitra.
Pengamat ekonomi dari Universitas Sumatera Utara (USU) Jhon Tafbu Ritonga menilai banyak faktor yang membuat ekspor menurun. Salah satunya memang pengaruh kondisi eksternal berupa pelemahan ekonomi di Negara-negara maju, yang merupakan salah satu tujuan ekspor terbesar.
Selain itu, kenaikan peringkat utang Indonesia yang masuk ke level layak investasi (investment grade), tidak terlalu berpengaruh. “Aturan-aturan yang menyokong ekspor juga tidak ada. Di sisi lain infrastruktur dan energi bukannya semakin baik, namun justru sebaliknya,” kata dia.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi juga meragukan adanya pertumbuhan ekspor nasional yang optimal tahun ini. Dia juga menyangsikan prediksi Bank Indonesia (BI) yang optimis kinerja ekspor Indonesia di 2012 masih bisa tumbuh 10,6-11,1 persen dari tahun lalu.
Masih belum jelasnya situasi perekonomian di Eropa, serta kenaikan harga BBM yang memicu lonjakan biaya produksi, menyulitkan pencapaian target tersebut. “Bisa sama seperti tahun lalu saja sudah bagus. Susah sekali (melewati ekspor 2011), mempertahankan saja susah,” ujar Sofjan di Jakarta belum lama ini.
Sebagai informasi, kinerja ekspor tahun 2011 mencapai USD203,62 miliar, meningkat sebesar 29,05 persen dari tahun sebelumnya.
Sementara Gubernur BI Darmin Nasution menyatakan optimistis kinerja ekspor Indonesia tahun ini masih bisa tumbuh 10,6-11,1 persen. Prediksi BI ini jauh di atas asumsi pemerintah dalam rancangan APBNP sebesar 9,9 persen. Angka pertumbuhan ekspor yang diusulkan pemerintah jauh lebih rendah dari pada target yang ditetapkan dalam APBN 2012 sebesar 15,1 persen. (ank)
”Pada periode Januari-Februari belum ada repetisi order. Ini membuat nilai volume ekspor menurun,” ujar Kepala Seksi Ekspor Hasil Pertanian dan Pertambangan Dinas Perdagangan dan Industri (Disperindag) Sumut Fitra Kurnia di Medan, Kamis 29 Maret 2012.
Berdasarkan surat keterangan asal (SKA), nilai realisasi ekspor hasil pertanian dan pertambangan pada Januari hingga Februari 2012 tercatat hanya sebesar USD768,23 juta dengan jumlah volume 729,49 juta kilogram (kg).
Angka tersebut mengalami penurunan sekitar 15 persen dibandingkan periode sama tahun yang mencatatkan nilai realisasi ekspor sebesar USD904,33 juta, dengan volume mencapai 703,4 juta kg.
Penurunan nilai ekspor tersebut, menurut Fitra, didominasi oleh komoditas unggulan pertanian. Komoditas-komoditas yang mengalami penurunan itu adalah biji coklat, teh hitam, hortikultura, kopi, rempah-rempah, biji pinang, minyak atsiri, minyak sawit (Crude Palm Oil/CPO), karet, hasil laut dan minyak kelapa.
Sementara komoditas yang mengalami kenaikan hanya hasil hutan bukan kayu, hasil laut udang dan paha kodok. “Nilai dari komoditas yang naik tidak signifikan,” katanya.
Fitra mengharapkan, kondisi eksternal bisa membaik. Sehingga ekspor akan kembali meningkat. Jika tren penurunan terus terjadi, maka dikhawatirkan akan mengancam industri pertanian dan pertambangan Sumut.
Apalagi saat ini pengusaha tengah dipusingkan oleh kenaikan biaya produksi seiring dengan rencana kenaikan bahan bakar minyak (BBM) hingga 30 persen pada April 2012. “Ini akan memberatkan pengusaha. Artinya dua kali pengusaha kena hantam.Pasar lemahlaluBBMnaik,” paparnya.
Akibat dari pelemahan ekspor serta naiknya BBM, menurut Fitra akan membuat pengusaha melakukan pengurangan produksi. Langkah tersebut dilakukan untuk mengurangi resiko kerugian yang lebih besar.
Dampak terbesar yang paling dikhawatirkan adalah kerugian besar yang membuat perusahaan melakukan perumahan karyawan, sebelum akhirnya melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). “Dan tentu ini tidak kita harapkan. Semoga rate ekspor pada Januari hingga April nanti membaik,” tutur Fitra.
Pengamat ekonomi dari Universitas Sumatera Utara (USU) Jhon Tafbu Ritonga menilai banyak faktor yang membuat ekspor menurun. Salah satunya memang pengaruh kondisi eksternal berupa pelemahan ekonomi di Negara-negara maju, yang merupakan salah satu tujuan ekspor terbesar.
Selain itu, kenaikan peringkat utang Indonesia yang masuk ke level layak investasi (investment grade), tidak terlalu berpengaruh. “Aturan-aturan yang menyokong ekspor juga tidak ada. Di sisi lain infrastruktur dan energi bukannya semakin baik, namun justru sebaliknya,” kata dia.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi juga meragukan adanya pertumbuhan ekspor nasional yang optimal tahun ini. Dia juga menyangsikan prediksi Bank Indonesia (BI) yang optimis kinerja ekspor Indonesia di 2012 masih bisa tumbuh 10,6-11,1 persen dari tahun lalu.
Masih belum jelasnya situasi perekonomian di Eropa, serta kenaikan harga BBM yang memicu lonjakan biaya produksi, menyulitkan pencapaian target tersebut. “Bisa sama seperti tahun lalu saja sudah bagus. Susah sekali (melewati ekspor 2011), mempertahankan saja susah,” ujar Sofjan di Jakarta belum lama ini.
Sebagai informasi, kinerja ekspor tahun 2011 mencapai USD203,62 miliar, meningkat sebesar 29,05 persen dari tahun sebelumnya.
Sementara Gubernur BI Darmin Nasution menyatakan optimistis kinerja ekspor Indonesia tahun ini masih bisa tumbuh 10,6-11,1 persen. Prediksi BI ini jauh di atas asumsi pemerintah dalam rancangan APBNP sebesar 9,9 persen. Angka pertumbuhan ekspor yang diusulkan pemerintah jauh lebih rendah dari pada target yang ditetapkan dalam APBN 2012 sebesar 15,1 persen. (ank)
()