Dana hasil migas timpang
A
A
A
Sindonews.com – Dana hasil minyak bumi dan gas (migas) yang diterima masyarakat Blora dinilai belum memuaskan dan menyejahterakan masyarakat.
Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo mengatakan, masyarakat yang berada di sekitar sumur minyak di kabupaten tersebut malah hidup melarat. “Katanya di Cepu itu kaya minyak. Bahkan sudah disedoti sejak zaman Belanda. Tapi tetap saja, masyarakat Blora masih hidup melarat,” ujarnya saat membuka rapat kerja Forum Konsultasi Daerah Penghasil Migas (FKDPM) di Semarang, kemarin.
Menurut Bibit, bagi hasil tersebut seharusnya dapat menjadi kontribusi bagi daerah dalam upaya percepatan pembangunan. Namun,lanjut dia, hal tersebut ternyata tidak teralisasi. Jalan yang menghubungkan kabupaten tersebut remuk, rumah- rumah terbuat dari dinding bambu, rakyatnya makan jagung. ”Untung saja bupatinya kuat memimpin,”ucapnya.
Masyarakat Blora juga melakukan eksplorasi minyak secara tradisional.Namun hasil kerja mereka seperti tidak mendapat pengakuan. “Di saat harga minyak mentah dunia rata- rata Rp5.000-6.000 per liter, hasil penambangan manual masyarakat Blora hanya dihargai Rp1.500 per liter. Jadi yang punya minyak melarat terus,” kata Bibit.
Karena itu, Bibit sangat mendukung keinginan pemerintah daerah penghasil migas mendapatkan dana bagi hasil yang lebih proposional. “Biar ada nilai tambah bagi daerah penghasil, sehingga bisa terus melakukan percepatan pembangunan,” tandasnya.
Sekretaris Jenderal FKDPM Fachri Azhari menambahkan, bagi hasil yang diperoleh daerah atas eksplorasi minyak dan gas bumi tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan yang diakibatkan.“ Daerah penghasil minyak, paling besar hanya memperoleh bagian enam persen,” ungkap dia.
Prosentase tersebut, kata Fachri, tidak sebanding dengan kerusakan yang harus ditanggung daerah. Apalagi, pembayaran dana bagi hasil tersebut juga sering terlambat. “Kondisi ini tentu memengaruhi kinerja keuangan daerah,” ucapnya.
Menurut Fachri, berbagai daerah penghasil minyak yang tergabung dalam forum itu telah mengajukan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2000 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo mengatakan, masyarakat yang berada di sekitar sumur minyak di kabupaten tersebut malah hidup melarat. “Katanya di Cepu itu kaya minyak. Bahkan sudah disedoti sejak zaman Belanda. Tapi tetap saja, masyarakat Blora masih hidup melarat,” ujarnya saat membuka rapat kerja Forum Konsultasi Daerah Penghasil Migas (FKDPM) di Semarang, kemarin.
Menurut Bibit, bagi hasil tersebut seharusnya dapat menjadi kontribusi bagi daerah dalam upaya percepatan pembangunan. Namun,lanjut dia, hal tersebut ternyata tidak teralisasi. Jalan yang menghubungkan kabupaten tersebut remuk, rumah- rumah terbuat dari dinding bambu, rakyatnya makan jagung. ”Untung saja bupatinya kuat memimpin,”ucapnya.
Masyarakat Blora juga melakukan eksplorasi minyak secara tradisional.Namun hasil kerja mereka seperti tidak mendapat pengakuan. “Di saat harga minyak mentah dunia rata- rata Rp5.000-6.000 per liter, hasil penambangan manual masyarakat Blora hanya dihargai Rp1.500 per liter. Jadi yang punya minyak melarat terus,” kata Bibit.
Karena itu, Bibit sangat mendukung keinginan pemerintah daerah penghasil migas mendapatkan dana bagi hasil yang lebih proposional. “Biar ada nilai tambah bagi daerah penghasil, sehingga bisa terus melakukan percepatan pembangunan,” tandasnya.
Sekretaris Jenderal FKDPM Fachri Azhari menambahkan, bagi hasil yang diperoleh daerah atas eksplorasi minyak dan gas bumi tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan yang diakibatkan.“ Daerah penghasil minyak, paling besar hanya memperoleh bagian enam persen,” ungkap dia.
Prosentase tersebut, kata Fachri, tidak sebanding dengan kerusakan yang harus ditanggung daerah. Apalagi, pembayaran dana bagi hasil tersebut juga sering terlambat. “Kondisi ini tentu memengaruhi kinerja keuangan daerah,” ucapnya.
Menurut Fachri, berbagai daerah penghasil minyak yang tergabung dalam forum itu telah mengajukan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2000 tentang Minyak dan Gas Bumi.
()