Puluhan perusahaan rokok gulung tikar
A
A
A
Sindonews.com - Tingginya harga bahan baku rokok dan ditambah omzet penjualan yang tidak sesuai dengan target menjadi penyebab Puluhan perusahaan rokok yang ada di Kabupaten Sumenep gulung tikar. Adapun bahan baku rokok yang harganya melimpah dan tidak bisa dijangkau perusahaan, yakni berupa cengkeh dan tembakau.
“Saya terpaksa menutup usaha (rokok) dulu, karena omzet yang dihasilkan tidak mencukup untuk biaya belanja bahan baku,” ujar Krisno Surya, pengusaha rokok asal Kecamatan Rubaru, Kabupaten Sumenep, Rabu (18/4/2012).
Hal ini menurutnya ditambah dengan harga cengkeh, yang saat ini mencapai Rp125.000 - Rp300.000 per kilogram. Berbeda dengan harga tahun lalu, yang hanya berkisar Rp30.000 - Rp50.000 per kilogram.
Sementara untuk bahan baku rokok berupa tembakau, harga sudah mencapai Rp50.000 - Rp70.000 per kilogram. Naik cukup drastis dari harga sebelumnya, yang hanya sebesar Rp15.000 Rp50.000.
Pemilik CV Aspek tersebut menuturkan, perusahaan rokok kretek yang ditekuninya sejak tahun 2005 lalu tersebut kini sudah tutup. Dirinya mengalami gulung tikar, karena tidak mampu membeli bahan baku, yang bisa menghabiskan modal sebesar hingga Rp200 juta.
Akibat tidak adanya modal, dia terpaksa menjual produk rokok apa adanya. Bilapun laku di pasaran, masih tetap tidak bisa menutupi biaya modal untuk belanja bahan baku. Dia berpandangan, dari pada besar pasak dari tiang, dirinya terpaksa memilih untuk tutup sampai batas waktu tidak ditentukan.
“Sejak tahun 2010 lalu sudah mengalami penurunan omzet, bahkan rutin tiap bulan. Akhirnya usaha saya terpaksa tutup terhitung sejak awal tahun 2012 lalu,” urainya.
Krisno mengungkapkan, perusahaannya terpaksa gulung tikar, selain disebabkan bahan baku semakin mahal, juga kurangnya perhatian dari pemerintah kabupaten Sumenep. Dia mengakui sempat mendapat bantuan alat pelinting dari Pemkab, tapi karena tidak ditunjang dengan promosi, juga tidak bisa banyak menolong usahanya.
Padahal, saat masa jaya, dia mengaku bisa memperoleh omzet senilai Rp30 – 40 juta per bulan. Sejak harga bahan baku terus mengalami kenaikan, ditambah lagi kalah bersaing dengan pengusaha besar, omzet rokok yang dikelolanya menurun drastis. “Meski demikian, kami tetap berupaya bangkit kembali agar bisa mengurangi jumlah pengangguran,” ungkapnya.
Sementara itu, pemerhati rokok lokal Kabupaten Sumenep, Abrari, menyatakan sangat disayangkan kalau banyak produk rokok lokal gulung tikar. Hal itu harus segera diantisipasi, karena keberadaan mereka menjadi salah satu pilar penopang perekonomian lokal.
Bila sampai gulung tikar, tidak hanya pengusahanya saja yang kelimpungan, para tenaga kerja di perusahaan juga terancam jadi pengangguran. “Harus ada upaya konkret dari semua pihak, untuk mencegah terjadinya kebangkrutan produk lokal. Mereka kan juga penopang ekonomi juga, sehingga harus diselamatkan,” ucapnya. (ank)
“Saya terpaksa menutup usaha (rokok) dulu, karena omzet yang dihasilkan tidak mencukup untuk biaya belanja bahan baku,” ujar Krisno Surya, pengusaha rokok asal Kecamatan Rubaru, Kabupaten Sumenep, Rabu (18/4/2012).
Hal ini menurutnya ditambah dengan harga cengkeh, yang saat ini mencapai Rp125.000 - Rp300.000 per kilogram. Berbeda dengan harga tahun lalu, yang hanya berkisar Rp30.000 - Rp50.000 per kilogram.
Sementara untuk bahan baku rokok berupa tembakau, harga sudah mencapai Rp50.000 - Rp70.000 per kilogram. Naik cukup drastis dari harga sebelumnya, yang hanya sebesar Rp15.000 Rp50.000.
Pemilik CV Aspek tersebut menuturkan, perusahaan rokok kretek yang ditekuninya sejak tahun 2005 lalu tersebut kini sudah tutup. Dirinya mengalami gulung tikar, karena tidak mampu membeli bahan baku, yang bisa menghabiskan modal sebesar hingga Rp200 juta.
Akibat tidak adanya modal, dia terpaksa menjual produk rokok apa adanya. Bilapun laku di pasaran, masih tetap tidak bisa menutupi biaya modal untuk belanja bahan baku. Dia berpandangan, dari pada besar pasak dari tiang, dirinya terpaksa memilih untuk tutup sampai batas waktu tidak ditentukan.
“Sejak tahun 2010 lalu sudah mengalami penurunan omzet, bahkan rutin tiap bulan. Akhirnya usaha saya terpaksa tutup terhitung sejak awal tahun 2012 lalu,” urainya.
Krisno mengungkapkan, perusahaannya terpaksa gulung tikar, selain disebabkan bahan baku semakin mahal, juga kurangnya perhatian dari pemerintah kabupaten Sumenep. Dia mengakui sempat mendapat bantuan alat pelinting dari Pemkab, tapi karena tidak ditunjang dengan promosi, juga tidak bisa banyak menolong usahanya.
Padahal, saat masa jaya, dia mengaku bisa memperoleh omzet senilai Rp30 – 40 juta per bulan. Sejak harga bahan baku terus mengalami kenaikan, ditambah lagi kalah bersaing dengan pengusaha besar, omzet rokok yang dikelolanya menurun drastis. “Meski demikian, kami tetap berupaya bangkit kembali agar bisa mengurangi jumlah pengangguran,” ungkapnya.
Sementara itu, pemerhati rokok lokal Kabupaten Sumenep, Abrari, menyatakan sangat disayangkan kalau banyak produk rokok lokal gulung tikar. Hal itu harus segera diantisipasi, karena keberadaan mereka menjadi salah satu pilar penopang perekonomian lokal.
Bila sampai gulung tikar, tidak hanya pengusahanya saja yang kelimpungan, para tenaga kerja di perusahaan juga terancam jadi pengangguran. “Harus ada upaya konkret dari semua pihak, untuk mencegah terjadinya kebangkrutan produk lokal. Mereka kan juga penopang ekonomi juga, sehingga harus diselamatkan,” ucapnya. (ank)
()