Enterpreneur ala Sutrisno, modalnya hanya tanah liat & keterampilan
A
A
A
Sindonews.com - Mengawali hidup sebagai buruh pembuat bata bata tidak membuat Sutrisno kecil hati. Berkat ketekunannya, dia kini memiliki usaha batu bata dan mampu mempekerjakan 10 karyawan.
Sutrisno membuka usaha batu bata di Jalan Istiqomah, Kelurahan Helvetia Timur, Kecamatan Medan Helvetia. Mencari Sutrisno di kawasan itu cukup mudah, karena rata-rata perajin batu bata di desa tersebut merupakan saudara kandung Sutrisno. Empat pengusaha batu bata di desa itu tercatat sebagai kakak kandungnya. Ketika ditemui SINDO, Sutrisno sedang asyik memberi komondo kepada 12 karyawannya. Melihat kedatangan awak koran SINDO, dia pun dengan ramah menyapa.
“Mau beli bata ya Pak,”tegurnya mengawali pembicaraan. Setelah berbasa-basi, akhirnya Sutrisno mengerti maksud kedatangan awak koran ini. Mengawali cerita, dia mengatakan awal usahanya berdiri ketika menjadi buruh pembuat batu bata pada 1986. Setelah delapan tahun menjadi buruh,dia kemudian mencoba membuka usaha sendiri. Tepatnya pada tahun 1994, dia membuka usaha pencetakan batu bata.
“Waktu itu saya masih menyewa tanah milik orang yang berada tak jauh dari tempat saya tinggal, tapi sekarang tidak lagi.Saya sudah memilik tanah sendiri dan usaha sendiri,”ujar pria kelahiran Batam 12 Januari 1976 itu.
Masa awal usahanya berdiri, dia hanya dibantu oleh keluarga.Berkat keuletan, akhirnya berhasil mengumpulkan uang dan membeli tanah yang cukup luas. Saat ini usahanya boleh dikatakan cukup berkembang. Padahal, saat memulai usaha ini, Sutrisno hanya bermodalkan Rp2 juta. Dalam satu hari, usaha miliknya bisa mencetak hampir 10 ribu batu bata.
Ditengah kondisi harga batu bata saat ini yang cukup baik, dia tentu bisa meraup untung besar. Keberaniannya mengeluti usaha ini karena dia yakin bisnis batu bata tidak akan membawa kerugian. Terbukti,sejak usahanya berdiri sampai sekarang,dia tidak pernah mengalami kerugian. “Modalnya hanya tanah liat dan keterampilan saja.Mana ada ruginya,” ucapnya.
Dalam memasok bahan baku, pria 36 tahun ini membeli tanah liat dari pihak lain. Untuk satu truk tanah liat dia menghargai Rp400 ribu. Satu truk tanah liat bisa menghasilkan 10 ribu batu bata dengan harga Rp500-Rp700 per batu bata. “Dengan membeli tanah liat saja masih untung, apalagi kita punya sendiri, pasti untungnya lebih besar lagi,” ucapnya.
Berkat usahanya ini,dia sudah bisa menyekolahkan anaknya hingga pendidikan perguruan tinggi. Saat ini, dua anaknya sedang kuliah Institut Teknik Bandung (ITB) dan Universitas Padjajaran.
Sutrisno membuka usaha batu bata di Jalan Istiqomah, Kelurahan Helvetia Timur, Kecamatan Medan Helvetia. Mencari Sutrisno di kawasan itu cukup mudah, karena rata-rata perajin batu bata di desa tersebut merupakan saudara kandung Sutrisno. Empat pengusaha batu bata di desa itu tercatat sebagai kakak kandungnya. Ketika ditemui SINDO, Sutrisno sedang asyik memberi komondo kepada 12 karyawannya. Melihat kedatangan awak koran SINDO, dia pun dengan ramah menyapa.
“Mau beli bata ya Pak,”tegurnya mengawali pembicaraan. Setelah berbasa-basi, akhirnya Sutrisno mengerti maksud kedatangan awak koran ini. Mengawali cerita, dia mengatakan awal usahanya berdiri ketika menjadi buruh pembuat batu bata pada 1986. Setelah delapan tahun menjadi buruh,dia kemudian mencoba membuka usaha sendiri. Tepatnya pada tahun 1994, dia membuka usaha pencetakan batu bata.
“Waktu itu saya masih menyewa tanah milik orang yang berada tak jauh dari tempat saya tinggal, tapi sekarang tidak lagi.Saya sudah memilik tanah sendiri dan usaha sendiri,”ujar pria kelahiran Batam 12 Januari 1976 itu.
Masa awal usahanya berdiri, dia hanya dibantu oleh keluarga.Berkat keuletan, akhirnya berhasil mengumpulkan uang dan membeli tanah yang cukup luas. Saat ini usahanya boleh dikatakan cukup berkembang. Padahal, saat memulai usaha ini, Sutrisno hanya bermodalkan Rp2 juta. Dalam satu hari, usaha miliknya bisa mencetak hampir 10 ribu batu bata.
Ditengah kondisi harga batu bata saat ini yang cukup baik, dia tentu bisa meraup untung besar. Keberaniannya mengeluti usaha ini karena dia yakin bisnis batu bata tidak akan membawa kerugian. Terbukti,sejak usahanya berdiri sampai sekarang,dia tidak pernah mengalami kerugian. “Modalnya hanya tanah liat dan keterampilan saja.Mana ada ruginya,” ucapnya.
Dalam memasok bahan baku, pria 36 tahun ini membeli tanah liat dari pihak lain. Untuk satu truk tanah liat dia menghargai Rp400 ribu. Satu truk tanah liat bisa menghasilkan 10 ribu batu bata dengan harga Rp500-Rp700 per batu bata. “Dengan membeli tanah liat saja masih untung, apalagi kita punya sendiri, pasti untungnya lebih besar lagi,” ucapnya.
Berkat usahanya ini,dia sudah bisa menyekolahkan anaknya hingga pendidikan perguruan tinggi. Saat ini, dua anaknya sedang kuliah Institut Teknik Bandung (ITB) dan Universitas Padjajaran.
()