Jadi titik transit, kawasan FTZ Batam harus diperketat
A
A
A
Sindonews.com – Para pengusaha yang bergerak di sektor minyak dan gas bumi meminta pemerintah untuk memperketat kawasan free trade zone (FTZ) Batam, sehingga tidak lagi menjadi lokasi titik transit (transhipment point).
Dewan Penasihat Asosiasi Produsen Pipa Pemboran Migas Indonesia Herman Hermanto mengatakan, saat ini Batam masih digunakan oleh para importir untuk memanipulasi surat keterangan asal (SKA) barang. Batam, lanjutnya, digunakan importir untuk mengekspor kembali barang tapi dengan menggunakan label buatan (made in) Indonesia. Cara itu dilakukan untuk menghindari adanya bea masuk antidumping (BMAD) yang diberlakukan oleh suatu negara.
Dia menambahkan, pihaknya beserta sejumlah pengusaha yang tergabung dalam Gabungan Usaha Penunjang Minyak dan Gas Bumi (Guspen Migas) telah menyampaikan masalah tersebut kepada Menteri Perindustrian MS Hidayat. Hal itu dinilai sangat merugikan bagi industri di dalam negeri. “Mereka gunakan Batam sebagai transhipment point untuk dapatkan status made in Indonesia dengan SKA untuk direekspor ke luar negeri,” kata Herman seusai bertemu dengan Menteri Perindustrian MS Hidayat di Kemenperin, Jakarta,kemarin.
Dia juga berharap, pemerintah segera menerapkan tindakan pengamanan perdagangan (safeguard) terhadap produk casing dan tubing yang saat ini banyak diimpor dari China, Singapura, dan Jepang. Hal itu saat ini masih dalam penyelidikan KPPI (Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia). Perlindungan dibutuhkan untuk memastikan kelangsungan industri serupa di dalam negeri. “Menteri perindustrian sangat mendukung hal itu,” ujarnya.
Deputi Direktur Eksekutif Guspen Migas Bambang Yulianto mengatakan, saat ini pengetatan peraturan mengenai produk buatan Indonesia masih belum jelas. “Pengetatan belum jelas. Dipertegas SKA lalu dengan Kemenperin datang ke Batam dan melakukan verifikasi. Pasar domestik dijadikan based cost oleh industri dalam negeri jadi punya daya saing,”kata Bambang. Dia menjelaskan, saat ini ada tiga industri existing pipa casing dan tubing di dalam negeri dengan kapasitas sebesar 573 ribu ton.
Namun, sejak ada investasi di industri hilir yang dilakukan pengusaha China, terjadi lonjakan 1 juta ton pada 2011. “Sehingga, total kapasitas nasional menjadi 1,5 juta ton, padahal konsumsi lokal tidak melebihi dari 200 ribu ton,” ucapnya. Hal tersebut sangat mengganggu kinerja ekspor produsen lokal yang selama ini memasok ke berbagai negara tujuan ekspor seperti Amerika Serikat (AS),Kanada,Uni Eropa, dan Meksiko.
“Jadi, perusahaan China itu mengekspor barang dari China,dibelokkan ke sini,dicat,dilabel produk Indonesia, baru menikmati pasar AS,”tandasnya.
Dewan Penasihat Asosiasi Produsen Pipa Pemboran Migas Indonesia Herman Hermanto mengatakan, saat ini Batam masih digunakan oleh para importir untuk memanipulasi surat keterangan asal (SKA) barang. Batam, lanjutnya, digunakan importir untuk mengekspor kembali barang tapi dengan menggunakan label buatan (made in) Indonesia. Cara itu dilakukan untuk menghindari adanya bea masuk antidumping (BMAD) yang diberlakukan oleh suatu negara.
Dia menambahkan, pihaknya beserta sejumlah pengusaha yang tergabung dalam Gabungan Usaha Penunjang Minyak dan Gas Bumi (Guspen Migas) telah menyampaikan masalah tersebut kepada Menteri Perindustrian MS Hidayat. Hal itu dinilai sangat merugikan bagi industri di dalam negeri. “Mereka gunakan Batam sebagai transhipment point untuk dapatkan status made in Indonesia dengan SKA untuk direekspor ke luar negeri,” kata Herman seusai bertemu dengan Menteri Perindustrian MS Hidayat di Kemenperin, Jakarta,kemarin.
Dia juga berharap, pemerintah segera menerapkan tindakan pengamanan perdagangan (safeguard) terhadap produk casing dan tubing yang saat ini banyak diimpor dari China, Singapura, dan Jepang. Hal itu saat ini masih dalam penyelidikan KPPI (Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia). Perlindungan dibutuhkan untuk memastikan kelangsungan industri serupa di dalam negeri. “Menteri perindustrian sangat mendukung hal itu,” ujarnya.
Deputi Direktur Eksekutif Guspen Migas Bambang Yulianto mengatakan, saat ini pengetatan peraturan mengenai produk buatan Indonesia masih belum jelas. “Pengetatan belum jelas. Dipertegas SKA lalu dengan Kemenperin datang ke Batam dan melakukan verifikasi. Pasar domestik dijadikan based cost oleh industri dalam negeri jadi punya daya saing,”kata Bambang. Dia menjelaskan, saat ini ada tiga industri existing pipa casing dan tubing di dalam negeri dengan kapasitas sebesar 573 ribu ton.
Namun, sejak ada investasi di industri hilir yang dilakukan pengusaha China, terjadi lonjakan 1 juta ton pada 2011. “Sehingga, total kapasitas nasional menjadi 1,5 juta ton, padahal konsumsi lokal tidak melebihi dari 200 ribu ton,” ucapnya. Hal tersebut sangat mengganggu kinerja ekspor produsen lokal yang selama ini memasok ke berbagai negara tujuan ekspor seperti Amerika Serikat (AS),Kanada,Uni Eropa, dan Meksiko.
“Jadi, perusahaan China itu mengekspor barang dari China,dibelokkan ke sini,dicat,dilabel produk Indonesia, baru menikmati pasar AS,”tandasnya.
()