Menantang pasar dengan batik on denim
A
A
A
Sindonews.com - Batik tidak hanya hadir dalam kain sutra atau katun. Lewat tangan dingin Ivan Kurniawan, batik juga bisa hadir menembus modernitas melalui denim atau jins.
Ide menggabungkan jins dengan batik bermula dari keikutsertaan Ivan dalam Kontes Rencana Bisnis Kreatif pada PPKI (Pekan Produk Kreatif Indonesia) 2010 yang diselenggarakan Kementerian Perdagangan beberapa waktu lalu. Waktu itu Ivan bersama rekannya, Maretta Astri Nirmanda, mencoba mengikuti kontes. Setelah mengumpulkan beberapa ide, Ivan menjatuhkan pilihan pada denim dan batik, dua unsur yang mewakili modernitas dan nilai tradisional, semangat Barat dan nilai-nilai budaya Indonesia.
Ide ini lahir setelah Ivan melihat tugas akhir rekannya, Gilang. Tugas akhir Gilang itu berjudul Eksplorasi Reka Batik pada Bahan Denim. “Waktu lomba kan idenya mengangkat budaya. Kalau ide bisnis sebenarnya sudah ada, tapi kita tidak tahu. (Batik on Denim) awalnya dari tugas akhir yang meriset bagaimana memunculkan motif di denim,” tutur Ivan, yang ditemui saat mengikuti pameran INACRAFT 2012 beberapa waktu lalu.
Ivan menjelaskan, untuk memunculkan batik pada denim terdapat sejumlah pilihan. Selain menyablon dan mencetak, motif batiknya bisa juga dibuat dengan ditulis. Pilihan terakhir inilah yang kemudian diambil Ivan. Proses pembatikan tradisional pada bahan denim menghasilkan varian tekstil baru, yang tidak hanya bercita rasa modern, tapi juga klasik.
Kerja keras Ivan mengeksplorasi batik denim terbayar lunas dengan diraihnya juara kedua pada kontes PPKI 2010. Setelah kemenangan tersebut, Ivan memutuskan terus mengeksplorasi ”Batik on Denim” dan mengangkatnya ke pusaran industri busana di Indonesia dengan mengusung merek Lazuli Sarae.
Lazuli diambil dari bahasa Persia “Lazhward”. Kata tersebut merupakan nama wilayah di Persia yang menjadi sentra pertambangan batu Lapis Lazuli. Lazhward juga identik dengan warna jenis batu lapis Lazuli, yaitu biru dengan gurat- gurat putih, warna yang sangat mirip dengan bahan denim. Sarae diambil dari bahasa Sunda ‘sae’ yang berarti bagus. Sarae adalah bentuk jamak dari sae.
“Jins itu tidak lekang oleh waktu dan diterima secara global, sementara batik kandi mana-mana sudah banyak. Kita ingin cari yang beda dan ternyata setelah kita mengaplikasikan batik ke denim, citranya jadi bagus, beda dan lucu,” imbuh Ivan.
Lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) dari Jurusan Informatika tersebut menuturkan, merek Lazuli Sarae secara resmi baru diluncurkan pada Januari 2011, meskipun Ivan dan Maretta sudah mengembangkan idenya pada pertengahan 2010. Di Lazuli Sarae Ivan bertindak sebagai cofounder dan director yang fokus menangani business and marketing development.Maretta bertugas sebagai designer yang fokus pada pengembangan desain produk.
Seperti umumnya wirausaha pemula, Ivan sempat mengalami kesulitan saat mulai menjalankan usaha. Dia mengaku, sekitar 3-4 bulan pertama hanya menguji coba karena tidak semua jins bisa dipakai dan dibatik. “Kita juga butuh waktu lama untuk memadupadankan motif karena tidak bisa asal memasukkan motif,” ujarnya.
Perlahan tapi pasti usahanya semakin dikenal dan menggaet banyak pembeli. Dari semula hanya berdua, kini Lazuli Sarae memiliki enam karyawan tetap dan beberapa karyawan lain yang belum tetap. Merek busana yang dibuat di Bandung, Jawa Barat, itu juga mampu meningkatkan penjualannya secara signifikan. Setiap bulan mereka bisa menghasilkan omzet sekitar Rp12-20 juta. Bahkan, pernah dalam sekali pameran mereka bisa mendulang pendapatan lebih dari Rp30 juta.
Hanya setahun setelah diluncurkan, Lazuli Sarae juga telah menggondol banyak penghargaan. Di luar PPKI 2010 Lazuli Sarae mencatatkan diri berada pada peringkat ke-3 Honda Youth Startup Icon 2011, juara Shell Live WIRE Business Startup Award 2011 serta nomine INACRAFT 2011.
Selain memiliki gerai sendiri di Bandung, Lazuli Sarae kini juga hadir di sejumlah mal seperti di Jakarta seperti Sarinah dan Alun-Alun Indonesia (Grand Indonesia). Untuk menggenjot pasar, Lazuli Sarae membuka sistem penjualan koleksinya secara online.
Usaha ini tidak sia-sia karena penjualan via internet sangat ampuh dalam memperkenalkan produknya sekaligus menggaet pembeli hingga mancanegara seperti Singapura. “Sekarang online akan kita tingkatkan karena bisa menjangkau pasar lebih besar,” tuturnya.
Setelah diluncurkan setahun koleksi Lazuli Sarae kini makin beragam. Bukan hanya baju, tetapi juga rok, blazer, terusan, gaun, scarf, selendang, celana pendek, celana, jaket, sepatu, serta jas. Semua koleksi tersebut dibuat dari bahan jins atau denim dengan berbalut motif batik cantik, elegan, dan modern.
Untuk urusan harga, koleksi Lazuli Sarae mematok antara Rp375.000- 500.000. Meski terbilang mahal, Ivan mengingatkan bahwa harga tersebut sepadan dengan proses pembatikannya yang rumit serta hasil eksplorasi yang memang indah.
Meskipun jins identik dengan kaum muda, Ivan yakin Lazuli Sarae bisa menembus semua kalangan. Pria berkacamata tersebut menuturkan jins motif batik buatannya tidak membatasi segmen pembeli meskipun kerap diidentikkan dengan kalangan anak muda.
“Kita tidak menargetkan umur (pembeli), targetnya mindset. Orang yang suka tantangan, visioner, berjiwa muda. Meskipun sudah tua, kita berharap orang uang memakai produk kami, spirit mudanya keluar kembali,” ucapnya.
Ke depan, kata Ivan, Lazuli Sarae menargetkan pasar ekspor mulai 2013. Keinginan menggarap pasar luar negeri sebenarnya sudah lama ada dalam mimpi Ivan. Namun, pria berusia 25 tahun itu mengingatkan pasar ekspor tidak bisa digarap sembarang karena terkait banyak hal.
Mulai dari kualitas produk, jumlah produksi yang konsisten sampai nama Indonesia yang harus disandangnya. Karena itulah, dia ingin mempersiapkan segala sesuatunya secara matang terlebih dulu sebelum menjual Lazuli Sarae ke luar negeri. “Kami sering menerima pesanan dalam jumlah banyak dari luar negeri tapi karena tidak ingin main-main maka kita memilih untuk mempersiapkan dan memperkuat internalnya dulu,” ujarnya. (ank)
Ide menggabungkan jins dengan batik bermula dari keikutsertaan Ivan dalam Kontes Rencana Bisnis Kreatif pada PPKI (Pekan Produk Kreatif Indonesia) 2010 yang diselenggarakan Kementerian Perdagangan beberapa waktu lalu. Waktu itu Ivan bersama rekannya, Maretta Astri Nirmanda, mencoba mengikuti kontes. Setelah mengumpulkan beberapa ide, Ivan menjatuhkan pilihan pada denim dan batik, dua unsur yang mewakili modernitas dan nilai tradisional, semangat Barat dan nilai-nilai budaya Indonesia.
Ide ini lahir setelah Ivan melihat tugas akhir rekannya, Gilang. Tugas akhir Gilang itu berjudul Eksplorasi Reka Batik pada Bahan Denim. “Waktu lomba kan idenya mengangkat budaya. Kalau ide bisnis sebenarnya sudah ada, tapi kita tidak tahu. (Batik on Denim) awalnya dari tugas akhir yang meriset bagaimana memunculkan motif di denim,” tutur Ivan, yang ditemui saat mengikuti pameran INACRAFT 2012 beberapa waktu lalu.
Ivan menjelaskan, untuk memunculkan batik pada denim terdapat sejumlah pilihan. Selain menyablon dan mencetak, motif batiknya bisa juga dibuat dengan ditulis. Pilihan terakhir inilah yang kemudian diambil Ivan. Proses pembatikan tradisional pada bahan denim menghasilkan varian tekstil baru, yang tidak hanya bercita rasa modern, tapi juga klasik.
Kerja keras Ivan mengeksplorasi batik denim terbayar lunas dengan diraihnya juara kedua pada kontes PPKI 2010. Setelah kemenangan tersebut, Ivan memutuskan terus mengeksplorasi ”Batik on Denim” dan mengangkatnya ke pusaran industri busana di Indonesia dengan mengusung merek Lazuli Sarae.
Lazuli diambil dari bahasa Persia “Lazhward”. Kata tersebut merupakan nama wilayah di Persia yang menjadi sentra pertambangan batu Lapis Lazuli. Lazhward juga identik dengan warna jenis batu lapis Lazuli, yaitu biru dengan gurat- gurat putih, warna yang sangat mirip dengan bahan denim. Sarae diambil dari bahasa Sunda ‘sae’ yang berarti bagus. Sarae adalah bentuk jamak dari sae.
“Jins itu tidak lekang oleh waktu dan diterima secara global, sementara batik kandi mana-mana sudah banyak. Kita ingin cari yang beda dan ternyata setelah kita mengaplikasikan batik ke denim, citranya jadi bagus, beda dan lucu,” imbuh Ivan.
Lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) dari Jurusan Informatika tersebut menuturkan, merek Lazuli Sarae secara resmi baru diluncurkan pada Januari 2011, meskipun Ivan dan Maretta sudah mengembangkan idenya pada pertengahan 2010. Di Lazuli Sarae Ivan bertindak sebagai cofounder dan director yang fokus menangani business and marketing development.Maretta bertugas sebagai designer yang fokus pada pengembangan desain produk.
Seperti umumnya wirausaha pemula, Ivan sempat mengalami kesulitan saat mulai menjalankan usaha. Dia mengaku, sekitar 3-4 bulan pertama hanya menguji coba karena tidak semua jins bisa dipakai dan dibatik. “Kita juga butuh waktu lama untuk memadupadankan motif karena tidak bisa asal memasukkan motif,” ujarnya.
Perlahan tapi pasti usahanya semakin dikenal dan menggaet banyak pembeli. Dari semula hanya berdua, kini Lazuli Sarae memiliki enam karyawan tetap dan beberapa karyawan lain yang belum tetap. Merek busana yang dibuat di Bandung, Jawa Barat, itu juga mampu meningkatkan penjualannya secara signifikan. Setiap bulan mereka bisa menghasilkan omzet sekitar Rp12-20 juta. Bahkan, pernah dalam sekali pameran mereka bisa mendulang pendapatan lebih dari Rp30 juta.
Hanya setahun setelah diluncurkan, Lazuli Sarae juga telah menggondol banyak penghargaan. Di luar PPKI 2010 Lazuli Sarae mencatatkan diri berada pada peringkat ke-3 Honda Youth Startup Icon 2011, juara Shell Live WIRE Business Startup Award 2011 serta nomine INACRAFT 2011.
Selain memiliki gerai sendiri di Bandung, Lazuli Sarae kini juga hadir di sejumlah mal seperti di Jakarta seperti Sarinah dan Alun-Alun Indonesia (Grand Indonesia). Untuk menggenjot pasar, Lazuli Sarae membuka sistem penjualan koleksinya secara online.
Usaha ini tidak sia-sia karena penjualan via internet sangat ampuh dalam memperkenalkan produknya sekaligus menggaet pembeli hingga mancanegara seperti Singapura. “Sekarang online akan kita tingkatkan karena bisa menjangkau pasar lebih besar,” tuturnya.
Setelah diluncurkan setahun koleksi Lazuli Sarae kini makin beragam. Bukan hanya baju, tetapi juga rok, blazer, terusan, gaun, scarf, selendang, celana pendek, celana, jaket, sepatu, serta jas. Semua koleksi tersebut dibuat dari bahan jins atau denim dengan berbalut motif batik cantik, elegan, dan modern.
Untuk urusan harga, koleksi Lazuli Sarae mematok antara Rp375.000- 500.000. Meski terbilang mahal, Ivan mengingatkan bahwa harga tersebut sepadan dengan proses pembatikannya yang rumit serta hasil eksplorasi yang memang indah.
Meskipun jins identik dengan kaum muda, Ivan yakin Lazuli Sarae bisa menembus semua kalangan. Pria berkacamata tersebut menuturkan jins motif batik buatannya tidak membatasi segmen pembeli meskipun kerap diidentikkan dengan kalangan anak muda.
“Kita tidak menargetkan umur (pembeli), targetnya mindset. Orang yang suka tantangan, visioner, berjiwa muda. Meskipun sudah tua, kita berharap orang uang memakai produk kami, spirit mudanya keluar kembali,” ucapnya.
Ke depan, kata Ivan, Lazuli Sarae menargetkan pasar ekspor mulai 2013. Keinginan menggarap pasar luar negeri sebenarnya sudah lama ada dalam mimpi Ivan. Namun, pria berusia 25 tahun itu mengingatkan pasar ekspor tidak bisa digarap sembarang karena terkait banyak hal.
Mulai dari kualitas produk, jumlah produksi yang konsisten sampai nama Indonesia yang harus disandangnya. Karena itulah, dia ingin mempersiapkan segala sesuatunya secara matang terlebih dulu sebelum menjual Lazuli Sarae ke luar negeri. “Kami sering menerima pesanan dalam jumlah banyak dari luar negeri tapi karena tidak ingin main-main maka kita memilih untuk mempersiapkan dan memperkuat internalnya dulu,” ujarnya. (ank)
()