Jatim terancam tak dapat jatah hasil migas
A
A
A
Sindonews.com - Pemprov Jatim terancam tidak akan mendapatkan bagi hasil eksplorasi sumber daya alam (SDA) sektor migas. Ini mengacu pada Peraturan Kementerian Dalam Negeri (Permendagri) No 51/2011 tentang Pencabutan Permendagri No 8/2007 tentang Provinsi Jatim sebagai Daerah Penghasil SDA Sektor Migas.
Meski demikian, Gubernur Jatim Soekarwo tetap bersikukuh meminta dana bagi hasil atas migas. Gubernur menilai, keputusan pemerintah pusat tersebut dibuat sebelum ada hasil kajian ahli geologi yang ditunjuk Kementerian ESDM dan BP Migas.
Gubernur menandaskan, setelah ada putusan regulasi maka harus ada kajian ahli geologi. Hal ini untuk menentukan batasan suatu daerah. Setelah diketahui batasanbatasan tersebut maka baru bisa diambil keputusan apakah Jatim termasuk daerah penghasil migas atau tidak.
Gubernur yang akrab dengan panggilan Pakde Karwo ini menandaskan, hasil kajian dari ahli geologi belum ada. Memang sesuai target, Le Migas yang ditunjuk Kementerian ESDM dan BP Migas untuk melakukan kajian di West Madura Offshore (WMO) harus selesai akhir April 2012 lalu.
Namun penyelesaiannya tidak tepat waktu dan sampai saat ini masih belum tuntas. ”Tanggal 14 Mei nanti saya diundang ke Jakarta untuk mendengarkan presentasi hasil kajian Le Migas.Setelah ditandatangani oke, lalu diserahkan kepada Kementerian ESDM, BP Migas dan Pertamina,” katanya, kemarin.
Pakde Karwo akan menanyakan pada Kemendagri terkait dikeluarkannya Permendagri 51/2011 tentang Pencabutan Permendagri No 8/2007 tentang Provinsi Jatim Sebagai Daerah Penghasil SDA sektor Migas. Dia memandang bahwa kebijakan tersebut sepihak dan merugikan Provinsi Jatim. Padahal dana bagi hasil (DBH) Migas yang diterima Provinsi Jatim pada 2011 lalu mencapai Rp126,484 miliar.
Sebab dengan keputusan tersebut Pemprov Jatim tidak berhak lagi atas pengelolaan migas di lima wilayah kerja ekspolitasi migas di Jatim (lihat tabel). Padahal lima wilayah kerja itu memiliki 36 sumur atau titik eksplorasi dan eksploitasi. Sementara itu, anggota Komisi D DPRD Jatim Nizar Zahro merasa sikap yang dilakukan Pemprov Jatim aneh.
Seharusnya dengan adanya Permendagri 51/2011,sudah jelas-jelas menyatakan Pemprov Jatim bukan lagi termasuk daerah penghasil migas. ”Bahkan sejak 2007, Mahkamah Agung (MA) juga telah mengeluarkan putusan Nomor 19P/Hum/2007 yang menyatakan Permendagri 8/2007 tidak sah dan tidak berlaku untuk umum,” tegasnya. Dengan demikian, sejak 2007 sebenarnya Pemprov Jatim sudah tidak berhak mendapatkan DBH Migas.
Sebagai jalan tengah atas polemik tersebut, Komisi D DPRD Jatim akan berkonsultasi kepada Kementerian ESDM dan BP Migas. Khususnya tentang bagi hasil pengelolaan migas di Blok WMO antara Pemprov Jatim dengan Kabupaten Bangkalan dan Gresik. (ank)
Meski demikian, Gubernur Jatim Soekarwo tetap bersikukuh meminta dana bagi hasil atas migas. Gubernur menilai, keputusan pemerintah pusat tersebut dibuat sebelum ada hasil kajian ahli geologi yang ditunjuk Kementerian ESDM dan BP Migas.
Gubernur menandaskan, setelah ada putusan regulasi maka harus ada kajian ahli geologi. Hal ini untuk menentukan batasan suatu daerah. Setelah diketahui batasanbatasan tersebut maka baru bisa diambil keputusan apakah Jatim termasuk daerah penghasil migas atau tidak.
Gubernur yang akrab dengan panggilan Pakde Karwo ini menandaskan, hasil kajian dari ahli geologi belum ada. Memang sesuai target, Le Migas yang ditunjuk Kementerian ESDM dan BP Migas untuk melakukan kajian di West Madura Offshore (WMO) harus selesai akhir April 2012 lalu.
Namun penyelesaiannya tidak tepat waktu dan sampai saat ini masih belum tuntas. ”Tanggal 14 Mei nanti saya diundang ke Jakarta untuk mendengarkan presentasi hasil kajian Le Migas.Setelah ditandatangani oke, lalu diserahkan kepada Kementerian ESDM, BP Migas dan Pertamina,” katanya, kemarin.
Pakde Karwo akan menanyakan pada Kemendagri terkait dikeluarkannya Permendagri 51/2011 tentang Pencabutan Permendagri No 8/2007 tentang Provinsi Jatim Sebagai Daerah Penghasil SDA sektor Migas. Dia memandang bahwa kebijakan tersebut sepihak dan merugikan Provinsi Jatim. Padahal dana bagi hasil (DBH) Migas yang diterima Provinsi Jatim pada 2011 lalu mencapai Rp126,484 miliar.
Sebab dengan keputusan tersebut Pemprov Jatim tidak berhak lagi atas pengelolaan migas di lima wilayah kerja ekspolitasi migas di Jatim (lihat tabel). Padahal lima wilayah kerja itu memiliki 36 sumur atau titik eksplorasi dan eksploitasi. Sementara itu, anggota Komisi D DPRD Jatim Nizar Zahro merasa sikap yang dilakukan Pemprov Jatim aneh.
Seharusnya dengan adanya Permendagri 51/2011,sudah jelas-jelas menyatakan Pemprov Jatim bukan lagi termasuk daerah penghasil migas. ”Bahkan sejak 2007, Mahkamah Agung (MA) juga telah mengeluarkan putusan Nomor 19P/Hum/2007 yang menyatakan Permendagri 8/2007 tidak sah dan tidak berlaku untuk umum,” tegasnya. Dengan demikian, sejak 2007 sebenarnya Pemprov Jatim sudah tidak berhak mendapatkan DBH Migas.
Sebagai jalan tengah atas polemik tersebut, Komisi D DPRD Jatim akan berkonsultasi kepada Kementerian ESDM dan BP Migas. Khususnya tentang bagi hasil pengelolaan migas di Blok WMO antara Pemprov Jatim dengan Kabupaten Bangkalan dan Gresik. (ank)
()