Migas RI tak dikuasai asing
A
A
A
Sindonews.com - Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) mengklaim kontrak bagi hasil yang diberlakukan antara Kontraktor Kerjasama Migas (KKKS) dan Pemerintah mengukuhkan kedaulatan negara pada sektor migas. Sistem ini juga membuktikan bahwa sektor migas di Indonesia tidak dikuasai asing.
"Perusahaan migas nasional maupun asing hanya sebagai kontraktor yang mengerjakan wilayah kerja migas milik negara", ujar Kepala Divisi Humas, Sekurti dan Formalitas BP Migas Gde Pradnyana dalam keterangan tertulisnya, Senin (14/5/2012).
Gde mengatakan, setiap kontraktor (nasional maupun asing) wajib melaporkan rencana kerja yang akan dilakukan, kegiatan yang sedang berjalan, hingga program yang telah selesai dilakukan. Otoritas penuh tetap berada di tangan BP Migas mewakili pemerintah sebagai badan pengawas dan pengendali. "Kami yang menentukan apakah suatu program masuk ke dalam komponen biaya cost recovery atau tidak," lanjut dia.
Dengan Kontrak Kerja Sama (KKS), lanjut Gde, hasil produksi migas setelah dikurangi biaya operasi akan dibagi berdasarkan kesepakatan yang diatur dalam kontrak kerja sama. Bagiannya, di sektor minyak bumi 85 persen adalah milik negara dan sisanya kontraktor. KKS untuk gas, 70 persen merupakan bagian negara dan sisanya kontraktor.
"Sementara untuk bentuk kontrak royalti sebagaimana yang digunakan di negara-negara Barat yang menganut paham kapitalis, negara tidak punya kekuasaan untuk mengatur manajemen operasi kegiatan migas. Di negara-negara tersebut manajemen operasi sepenuhnya dilakukan oleh pengusaha yang menguasai ladang-ladang migas," tambahnya.
Di tengah pembahasan revisi Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Migas, dijelaskan Gde, beberapa pihak melontarkan pendapat bahwa UU ini harus dirombak total karena bertentangan dengan UUD 1945. Namun, menurut Gde, revisi ini bertujuan untuk mengantisipasi perkembangan era demokratisasi yang semakin menguat.
"UU 22/2001 ini lebih baik dari UU Nomor 8 Tahun 1971 yang sentralistik. Pertamina ketika itu merangkap sebagi regulator sekaligus sebagai operator. Hal ini yang di masa lalu membuat perusahaan migas nasional kita menjadi tidak efisien dan akuntabilitasnya sangat rendah," jelas dia.
Di era sebelumnya,penerimaan negara dari sektor hulu migas didapat setelah direkonsiliasi dengan neraca untung-rugi Pertamina. Kondisi ini berbedan dengan saat ini dimana penerimaan secara langsung diterima kas negara. Dahulu, ditambahkannya, besaran retensi atau biaya untuk pengelolaan pengawasan dan pengendalian kontrak kerja sama mencapai tiga persen dari penerimaan migas sedangkan saat ini maksimal hanya satu.
"Jadi pendapat yang mengatakan bahwa dulu biaya pengelolaan kegiatan hulu lebih murah, jelas keliru", ungkapnya.
Selain itu, di UU yang lama, wilayah kerja (WK migas) hanya ditawarkan dan diberikan kepada perusahaan-perusahaan besar,sehingga hanya 74 persen WK migas digarap oleh perusahaan asing. Perbedaan dahulu dan sekarang adalah adalah adanya pera bagi daerah dalam pemberian participating interest. Keunggulan-keunggulan inilah yang menurut Gde, revisi UU Migas seharusnya dilakukan dalam kaitan untuk mendukung peningkatan cadangan dan produksi migas.
"Termasuk upaya meningkatan kapasitas nasional, termasuk industri penunjangnya, dimana partisipasi daerah penghasil juga tentu harus semakin terbuka lebar." tandas Gde. (ank)
"Perusahaan migas nasional maupun asing hanya sebagai kontraktor yang mengerjakan wilayah kerja migas milik negara", ujar Kepala Divisi Humas, Sekurti dan Formalitas BP Migas Gde Pradnyana dalam keterangan tertulisnya, Senin (14/5/2012).
Gde mengatakan, setiap kontraktor (nasional maupun asing) wajib melaporkan rencana kerja yang akan dilakukan, kegiatan yang sedang berjalan, hingga program yang telah selesai dilakukan. Otoritas penuh tetap berada di tangan BP Migas mewakili pemerintah sebagai badan pengawas dan pengendali. "Kami yang menentukan apakah suatu program masuk ke dalam komponen biaya cost recovery atau tidak," lanjut dia.
Dengan Kontrak Kerja Sama (KKS), lanjut Gde, hasil produksi migas setelah dikurangi biaya operasi akan dibagi berdasarkan kesepakatan yang diatur dalam kontrak kerja sama. Bagiannya, di sektor minyak bumi 85 persen adalah milik negara dan sisanya kontraktor. KKS untuk gas, 70 persen merupakan bagian negara dan sisanya kontraktor.
"Sementara untuk bentuk kontrak royalti sebagaimana yang digunakan di negara-negara Barat yang menganut paham kapitalis, negara tidak punya kekuasaan untuk mengatur manajemen operasi kegiatan migas. Di negara-negara tersebut manajemen operasi sepenuhnya dilakukan oleh pengusaha yang menguasai ladang-ladang migas," tambahnya.
Di tengah pembahasan revisi Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Migas, dijelaskan Gde, beberapa pihak melontarkan pendapat bahwa UU ini harus dirombak total karena bertentangan dengan UUD 1945. Namun, menurut Gde, revisi ini bertujuan untuk mengantisipasi perkembangan era demokratisasi yang semakin menguat.
"UU 22/2001 ini lebih baik dari UU Nomor 8 Tahun 1971 yang sentralistik. Pertamina ketika itu merangkap sebagi regulator sekaligus sebagai operator. Hal ini yang di masa lalu membuat perusahaan migas nasional kita menjadi tidak efisien dan akuntabilitasnya sangat rendah," jelas dia.
Di era sebelumnya,penerimaan negara dari sektor hulu migas didapat setelah direkonsiliasi dengan neraca untung-rugi Pertamina. Kondisi ini berbedan dengan saat ini dimana penerimaan secara langsung diterima kas negara. Dahulu, ditambahkannya, besaran retensi atau biaya untuk pengelolaan pengawasan dan pengendalian kontrak kerja sama mencapai tiga persen dari penerimaan migas sedangkan saat ini maksimal hanya satu.
"Jadi pendapat yang mengatakan bahwa dulu biaya pengelolaan kegiatan hulu lebih murah, jelas keliru", ungkapnya.
Selain itu, di UU yang lama, wilayah kerja (WK migas) hanya ditawarkan dan diberikan kepada perusahaan-perusahaan besar,sehingga hanya 74 persen WK migas digarap oleh perusahaan asing. Perbedaan dahulu dan sekarang adalah adalah adanya pera bagi daerah dalam pemberian participating interest. Keunggulan-keunggulan inilah yang menurut Gde, revisi UU Migas seharusnya dilakukan dalam kaitan untuk mendukung peningkatan cadangan dan produksi migas.
"Termasuk upaya meningkatan kapasitas nasional, termasuk industri penunjangnya, dimana partisipasi daerah penghasil juga tentu harus semakin terbuka lebar." tandas Gde. (ank)
()