Pertumbuhan ekonomi RI kuartal I/2012
A
A
A
Sindonews.com - Pekan lalu Badan Pusat Statistik (BPS) mengeluarkan data produk domestik bruto (PDB) untuk kuartal I/2012. Dalam laporan itu, pertumbuhan ekonomi selama periode tersebut sedikit mengalami perlambatan, yaitu dari 6,5 persen pada kuartal 4 tahun sebelumnya menjadi 6,3 persen.
Menanggapi laporan tersebut, saya membuat beberapa catatan. Dalam suatu artikel di harian Rakyat, Partai Komunis China, terbitan tahun 2004 yang berjudul What does that mean to have GDP per capita of USD3,000? dikatakan bahwa suatu negara yang melampaui PDB per kapita USD3.000 akan menghadapi gelombang baru berbagai permintaan yang pada akhirnya akan melahirkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Dalam harian itu kita melihat contoh yang digunakan, yaitu Korea Selatan. Negara itu mengalami pertumbuhan lebih cepat selama 11 tahun setelah terlampauinya titik tersebut, yaitu setelah PDB per orangnya mencapai USD3.000. Kita sendiri sekarang juga melihat proses pertumbuhan ekonomi di China yang menunjukkan tingkat pertumbuhan tinggi selama bertahun- tahun.
Saya pun menandai Brasil mengalami fenomena seperti itu selama dua kali, yaitu periode setelah tahun 1994 setelah PDB per kapitanya melampaui USD3.000 dan terulang lagi di tahun pasca-2004,yaitu setelah Brasil berhasil keluar dari krisis perekonomian.
Bahkan dalam kasus Brasil tersebut, pada periode yang kedua, pertumbuhan ekonominya meningkat sangat tajam sehingga pada 2011 Brasil bahkan berhasil menjadi negara dengan perekonomian keenam di dunia. Dengan melihat pengalaman itu, saya sejak awal menduga, fenomena serupa akan terjadi di Indonesia. Namun ternyata pada kuartal I/2012 ini data berbicara lain. Apakah Indonesia merupakan suatu anomali ataukah ini hanya merupakan suatu fenomena sesaat sebelum akhirnya terjadi perbaikan kembali di kuartal mendatang, saya sungguh tidak tahu.
Bukan tidak mungkin terjadi pelaporan yang lebih rendah daripada keadaan sebenarnya (under reporting). Saya melihat fakta under reporting ini secara kasat mata pada subsektor perkebunan. Sektor ini menyumbang PDB di tahun 2011 yang lalu sebesar Rp154 triliun (menurut harga berlaku).
Sementara kalau kita bandingkan dengan ekspor CPO dan karet saja sudah mencapai lebih dari USD36 miliar. Belum lagi jika memperhitungkan ekspor kopi, teh, cokelat, tembakau, rempah-rempah, dan lainnya. Secara keseluruhan jumlah ekspor hasil perkebunan tersebut melampaui USD50 miliar. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sumbangan sektor perkebunan pada PDB.
Kalau kita menghitung produksi CPO saja, kita akan melihat bahwa kontribusi PDB tersebut ternyata tidak lebih dari produksi tandan buah segar (TBS) kelapa sawit yang sebagian hasilnya memang merupakan nilai tambah di sektor perkebunan (mungkin hanya dikurangi pupuk dan obat hama serta pengeluaran kecil lainnya).
Kalau demikian, bagaimana dengan nilai tambah yang dihasilkan karet, kopi, teh, cokelat, tembakau, rempah-rempah, dan produk perkebunan lainnya? Berangkat dari gambaran tersebut, setiap kali saya membaca data BPS, “alarm” saya selalu berbunyi.
Pertanyaan yang sama selalu muncul lagi, yaitu apakah laporan tersebut mengandung under reporting lagi atau tidak. Jika data BPS tersebut terlalu low profile, risiko bukannya tidak ada. Risiko yang paling besar adalah digunakannya data BPS tersebut dalam perencanaan kapasitas berbagai industri maupun prasarana di Indonesia.
Suatu contoh yang konkret adalah dalam produksi tenaga listrik oleh PLN. Saya yakin betul dalam perencanaan kapasitas PLN, mereka tentu menggunakan data pertumbuhan ekonomi sebagai titik awal. Sebagai contoh, jika pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen, tambahan tenaga listrik yang harus dibangun adalah sebesar 3.000 megawatt (ini sekadar contoh).
Jika pertumbuhan ekonomi ternyata 7 persen, kebutuhan tambahan tenaga listrik bukan tidak mungkin menjadi 4.200 megawatt. Oleh karena itu jika terjadi under reporting, PLN akan mengalami kekurangan produksi listrik dibandingkan dengan permintaannya.
Pemadaman akan terjadi dengan intensitas yang meningkat dan sebagainya. Kita beruntung, PLN sejak pemerintahan lalu mulai mengembangkan crash program pembangunan pembangkit listrik sebesar 10.000 megawatt. Crash program tersebut awalnya dimaksudkan sebagai upaya untuk melakukan penghematan, yaitu untuk menggantikan pembangkit listrik yang menggunakan BBM dengan pembangkit baru yang menggunakan batu bara. Dengan perubahan bahan bakar tersebut, subsidi kepada PLN akan dapat dikurangi. Tapi apa yang terjadi? Subsidi listrik terus mengalami peningkatan.
Hal ini terjadi karena ternyata permintaan listrik sangat meningkat melampaui rencana produksinya sehingga banyak pembangkit listrik yang semula akan digantikan akhirnya tetap harus dimanfaatkan karena memang kebutuhannya meningkat.
Cerita yang sama juga terjadi pada kapasitas Bandara Soekarno-Hatta maupun bandara lain yang mengalami lonjakan penumpang luar biasa. Saya meyakini jika perencanaan kapasitasnya lebih akurat, Angkasa Pura pasti sudah bisa memprediksi bahwa kapasitas bandara mereka pada tahun ini sudah akan tidak mampu lagi menampung lonjakan penumpang sehingga sejak beberapa tahun yang lalu mereka sudah harus mempersiapkan penambahan kapasitas.
Hal yang sama juga terjadi pada pelabuhan maupun feri penyeberangan di Merak. Awalnya dikatakan, kemacetan kendaraan pada jalur menuju feri di Merak disebabkan gangguan cuaca. Tapi pada perkembangan kemudian saya mengambil kesimpulan, kemacetan tersebut sudah bersifat struktural karena terjadinya lonjakan kendaraan yang akan melintasi feri menuju Sumatera akibat pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi.
Dengan melihat keadaan seperti itu, saya menjadi curiga: pertumbuhan sektor industri manufaktur, yang semula sudah berada dalam trek pertumbuhan yang melampaui rata-rata pertumbuhan ekonominya mengakibatkan fenomena deindustrialisasi sudah tidak terjadi lagi, tetapi dengan data pertumbuhan yang baru, saya menjadi kebingungan lagi apakah deindustrialisasi akan kembali terjadi? Sementara pada saat yang sama ekspansi besar-besaran terjadi pada industri automotif, tekstil, industri barang konsumsi, dan sebagainya.
Ekspansi besar-besaran ini akhirnya membuat permintaan kawasan industri menjadi tidak mampu lagi menyediakan lahan bagi perusahaan yang akan melakukan ekspansi sehingga harga lahan di kawasan industri meningkat beberapa kali lipat dalam setahun. Tidakkah fakta tersebut berbicara cukup keras untuk menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor industri adalah sangat tinggi? Semoga BPS dapat mengatasi permasalahan ini untuk kemaslahatan kita semua. (ank)
CYRILLUS HARINOWO HADIWERDOYO
Pengamat Ekonomi
Menanggapi laporan tersebut, saya membuat beberapa catatan. Dalam suatu artikel di harian Rakyat, Partai Komunis China, terbitan tahun 2004 yang berjudul What does that mean to have GDP per capita of USD3,000? dikatakan bahwa suatu negara yang melampaui PDB per kapita USD3.000 akan menghadapi gelombang baru berbagai permintaan yang pada akhirnya akan melahirkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Dalam harian itu kita melihat contoh yang digunakan, yaitu Korea Selatan. Negara itu mengalami pertumbuhan lebih cepat selama 11 tahun setelah terlampauinya titik tersebut, yaitu setelah PDB per orangnya mencapai USD3.000. Kita sendiri sekarang juga melihat proses pertumbuhan ekonomi di China yang menunjukkan tingkat pertumbuhan tinggi selama bertahun- tahun.
Saya pun menandai Brasil mengalami fenomena seperti itu selama dua kali, yaitu periode setelah tahun 1994 setelah PDB per kapitanya melampaui USD3.000 dan terulang lagi di tahun pasca-2004,yaitu setelah Brasil berhasil keluar dari krisis perekonomian.
Bahkan dalam kasus Brasil tersebut, pada periode yang kedua, pertumbuhan ekonominya meningkat sangat tajam sehingga pada 2011 Brasil bahkan berhasil menjadi negara dengan perekonomian keenam di dunia. Dengan melihat pengalaman itu, saya sejak awal menduga, fenomena serupa akan terjadi di Indonesia. Namun ternyata pada kuartal I/2012 ini data berbicara lain. Apakah Indonesia merupakan suatu anomali ataukah ini hanya merupakan suatu fenomena sesaat sebelum akhirnya terjadi perbaikan kembali di kuartal mendatang, saya sungguh tidak tahu.
Bukan tidak mungkin terjadi pelaporan yang lebih rendah daripada keadaan sebenarnya (under reporting). Saya melihat fakta under reporting ini secara kasat mata pada subsektor perkebunan. Sektor ini menyumbang PDB di tahun 2011 yang lalu sebesar Rp154 triliun (menurut harga berlaku).
Sementara kalau kita bandingkan dengan ekspor CPO dan karet saja sudah mencapai lebih dari USD36 miliar. Belum lagi jika memperhitungkan ekspor kopi, teh, cokelat, tembakau, rempah-rempah, dan lainnya. Secara keseluruhan jumlah ekspor hasil perkebunan tersebut melampaui USD50 miliar. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sumbangan sektor perkebunan pada PDB.
Kalau kita menghitung produksi CPO saja, kita akan melihat bahwa kontribusi PDB tersebut ternyata tidak lebih dari produksi tandan buah segar (TBS) kelapa sawit yang sebagian hasilnya memang merupakan nilai tambah di sektor perkebunan (mungkin hanya dikurangi pupuk dan obat hama serta pengeluaran kecil lainnya).
Kalau demikian, bagaimana dengan nilai tambah yang dihasilkan karet, kopi, teh, cokelat, tembakau, rempah-rempah, dan produk perkebunan lainnya? Berangkat dari gambaran tersebut, setiap kali saya membaca data BPS, “alarm” saya selalu berbunyi.
Pertanyaan yang sama selalu muncul lagi, yaitu apakah laporan tersebut mengandung under reporting lagi atau tidak. Jika data BPS tersebut terlalu low profile, risiko bukannya tidak ada. Risiko yang paling besar adalah digunakannya data BPS tersebut dalam perencanaan kapasitas berbagai industri maupun prasarana di Indonesia.
Suatu contoh yang konkret adalah dalam produksi tenaga listrik oleh PLN. Saya yakin betul dalam perencanaan kapasitas PLN, mereka tentu menggunakan data pertumbuhan ekonomi sebagai titik awal. Sebagai contoh, jika pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen, tambahan tenaga listrik yang harus dibangun adalah sebesar 3.000 megawatt (ini sekadar contoh).
Jika pertumbuhan ekonomi ternyata 7 persen, kebutuhan tambahan tenaga listrik bukan tidak mungkin menjadi 4.200 megawatt. Oleh karena itu jika terjadi under reporting, PLN akan mengalami kekurangan produksi listrik dibandingkan dengan permintaannya.
Pemadaman akan terjadi dengan intensitas yang meningkat dan sebagainya. Kita beruntung, PLN sejak pemerintahan lalu mulai mengembangkan crash program pembangunan pembangkit listrik sebesar 10.000 megawatt. Crash program tersebut awalnya dimaksudkan sebagai upaya untuk melakukan penghematan, yaitu untuk menggantikan pembangkit listrik yang menggunakan BBM dengan pembangkit baru yang menggunakan batu bara. Dengan perubahan bahan bakar tersebut, subsidi kepada PLN akan dapat dikurangi. Tapi apa yang terjadi? Subsidi listrik terus mengalami peningkatan.
Hal ini terjadi karena ternyata permintaan listrik sangat meningkat melampaui rencana produksinya sehingga banyak pembangkit listrik yang semula akan digantikan akhirnya tetap harus dimanfaatkan karena memang kebutuhannya meningkat.
Cerita yang sama juga terjadi pada kapasitas Bandara Soekarno-Hatta maupun bandara lain yang mengalami lonjakan penumpang luar biasa. Saya meyakini jika perencanaan kapasitasnya lebih akurat, Angkasa Pura pasti sudah bisa memprediksi bahwa kapasitas bandara mereka pada tahun ini sudah akan tidak mampu lagi menampung lonjakan penumpang sehingga sejak beberapa tahun yang lalu mereka sudah harus mempersiapkan penambahan kapasitas.
Hal yang sama juga terjadi pada pelabuhan maupun feri penyeberangan di Merak. Awalnya dikatakan, kemacetan kendaraan pada jalur menuju feri di Merak disebabkan gangguan cuaca. Tapi pada perkembangan kemudian saya mengambil kesimpulan, kemacetan tersebut sudah bersifat struktural karena terjadinya lonjakan kendaraan yang akan melintasi feri menuju Sumatera akibat pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi.
Dengan melihat keadaan seperti itu, saya menjadi curiga: pertumbuhan sektor industri manufaktur, yang semula sudah berada dalam trek pertumbuhan yang melampaui rata-rata pertumbuhan ekonominya mengakibatkan fenomena deindustrialisasi sudah tidak terjadi lagi, tetapi dengan data pertumbuhan yang baru, saya menjadi kebingungan lagi apakah deindustrialisasi akan kembali terjadi? Sementara pada saat yang sama ekspansi besar-besaran terjadi pada industri automotif, tekstil, industri barang konsumsi, dan sebagainya.
Ekspansi besar-besaran ini akhirnya membuat permintaan kawasan industri menjadi tidak mampu lagi menyediakan lahan bagi perusahaan yang akan melakukan ekspansi sehingga harga lahan di kawasan industri meningkat beberapa kali lipat dalam setahun. Tidakkah fakta tersebut berbicara cukup keras untuk menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor industri adalah sangat tinggi? Semoga BPS dapat mengatasi permasalahan ini untuk kemaslahatan kita semua. (ank)
CYRILLUS HARINOWO HADIWERDOYO
Pengamat Ekonomi
()