Kembalikan nama besar Pusri
A
A
A
Sindonews.com - Sejarah kebesaran PT Pupuk Sriwidjaja (Pusri) di Tanah Air kini tinggal cerita, dan berganti nama PT Pupuk Indonesia Holding company (PIHC). Sebagai gantinya, dibentuk anak perusahaan dengan nama PT Pusri Palembang.
Menurut pensiunan pegawai PT Pusri yang kini menjadi anggota DPRD Sumsel Arudji Kartawinata, masyarakat Sumsel melalui pemimpinnya dan tokoh–tokohnya yang berada di pusat, harus memperjuangkan dan mengembalikan nama PT Pusri yang telah berdiri sejak 1959 ini. Pasalnya, sejarah besar Pusri akan hilang dan tinggal nama, lantaran PT Pusri Palembang baru dibentuk beberapa tahun lalu, dan itu pun hanya mengoperasikan beberapa pabrik tua.
Anggota Komisi I DPRD Sumsel ini berasumsi, ada skenario atau akal-akalan di balik perubahan nama Pusri. “Sebelumnya pernah mau diganti nama Pusri menjadi PT Agronomi Kimia Industri (AKI). Tapi, karena Sumsel menolak, perubahan nama itu tak jadi. Namun, sekarang benar terjadi (perubahan nama), Pusri diganti menjadi PT Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC),” urainya.
Sejarah panjang Pusri, sambung Arudji, mengambil nama besar kerajaan Sriwijaya yang memiliki nilai historis tinggi di Tanah Air. Kemudian soal investasi. Dari Rp100 juta untuk pendirian pabrik itu pada 1959, Sumsel punya 40% saham perusahan atau Rp40 juta.
Waktu itu, pemerintah Sumsel membayar tunai Rp20 juta, dan yang ditangguhkan atau dipotong dari deviden Rp20 juta, dengan jangka waktu 10 tahun. Arudji berpandangan, tidak mungkin dana yang dulunya ditangguhkan tidak bisa lunas dari 1959-1969, apalagi jika melihat dari keuntungan PT Pusri.
“Memang, dari sisi aset kita tidak kehilangan, karena itu tetap saham pemerintah. Tapi, yang kita persoalkan itu mengapa Pusri yang menjadi bulan-bulanan. Apa salahnya Pusri dan apa salah Sumsel. Kita sudah berkontribusi, tapi tidak dianggap dan dihilangkan begitu saja sejarah Pusri,” sesalnya.
Arudji juga mempertanyakan penilaian segelintir orang, yang mengatakan sebagai pabrik pupuk paling tua Pusri dianggap boros. Padahal, pabrik Pupuk Kaltim yang produksinya lebih tinggi dari Pusri dan teknologinya lebih canggih, tetap saja di bawah bayangbayang Pusri.
Contoh kasus lainnya, Pupuk Kujang yang berdiri sekitar 1970 dan produksinya sama dengan Pusri. Tapi, ketika produknya dijual ke petani kurang laku. Petani lebih menginginkan pupuk Pusri,karena petani sudah terbiasa menggunakan pupuk ini.
“Pupuk yang diproduksi Pusri dan pupuk Kujang sebenarnya sama. Waktu distributor tunggal PT Pusri, pupuk Kujang dimasukkan ke dalam kantong pupuk Pusri dan dijual di wilayah Jawa Barat, dampaknya laris manis, Karena memang branding Pusri itu sudah terlalu besar,” katanya.
Arudji melanjutkan, statement Gubernur Sumsel H Alex Noerdin yang keberatan dengan perubahan nama Pusri saat rapat paripurna istimewa HUT Sumsel, sudah tepat.
Bahkan, Sumsel masih memiliki peluang mengembalikan sejarah yang nyaris hilang ini, apalagi Pusri sendiri pernah mengakui adanya saham Pemprov Sumsel saat pendirian Pusri.
“Kita mengharapkan Pemprov menelusuri hilangnya saham milik pemerintah daerah itu. Karena, sepengetahuan saya, sepanjang perusahaan itu masih ada sahamnya tidak bisa hilang. Kecuali, jika saham itu dikembalikan ke pemiliknya, atau mungkin ada yang mau menggantikan kepemilikan dan diubah,” katanya.
Sementara itu, Komisaris PT Pusri Palembang Amzulian Rifai menyatakan, perubahan nama Pusri karena pemerintah ingin menyehatkan BUMN, salah satu caranya dengan membentuk holding perusahaan sejenis, seperti perkebunan dan pupuk.
“Sehingga, secara bertahap jumlah BUMN nanti di bawah 100 perusahaan saja. Oleh karena BUMN itu milik pemerintah, kewenangan itu sepenuhnya ada pada pemerintah,” kata Amzulian dibincangi SINDO, kemarin.
Guru besar Universitas Sriwijaya (Unsri) ini menuturkan, konsekuensi dibentuknya holding harus ada perusahaan induk. Amzulian pun menampik, dengan adanya holding membuat identitas Pusri hilang. Menurut dia, lambang Pupuk Indonesia hanya untuk pupuk bersubsidi (PSO), karena kontrak pupuk bersubsidi adalah antara holding dengan pemerintah pusat, bukan dengan lima BUMN pupuk di daerah.
Sementara untuk pupuk non subsidi masih menggunakan logo masing-masing perusahaan yang sudah ada. “Jadi, tidak benar nama Pusri hilang setelah dibentuk holding. Dan tidak benar saham pemda sebesar 40% itu hilang. Jika Pusri sudah berdiri sejak 1969, berarti setidaknya telah delapan periode kepala daerah dan delapan periode DPRD Sumsel (mengikuti perkembangan saham ini). Masak iya, cuma pemerintahan dan wakil rakyat periode sekarang saja yang paham soal saham ini,” tukasnya.
Dosen Fakultas Hukum Unsri ini menyebutkan, banyak sekali sisi positif menjadi holding, salah satunya tampilan BUMN lebih kokoh karena adanya koordinasi dan sinergitas antar BUMN. Di samping itu, tidak terjadi persaingan yang tidak sehat antar BUMN sejenis. Termasuk dalam beberapa kebijakan investasi dapat lebih mudah dan lebih kuat, karena atas nama lima BUMN.
“Keuntungan lainnya, PT PIHC dapat bertindak selaku koordinator yang tidak bersifat operasional dan rentang kendali BUMN lebih pendek. Jika selama ini segala sesuatu harus diurus dan disetujui oleh kementerian (BUMN), maka kendali itu kini diturunkan kepada holding, dan itu menunjukkan adanya reformasi birokrasi,” urainya.
Namun begitu, Amzulian tetap memberikan saran kepada PT PIHC, agar ada jaminan tidak bersifat operasional dan keberadaan PT PIHC hanya bersifat regulator saja. “Harus ada jaminan juga holding lebih baik, dan BUMN lebih sehat sebagaimana yang dijanjikan. Disamping itu, lebih terciptanya sinergitas antar BUMN,” imbuhnya.
Amzulian pun berharap kepada pemerintah pusat, bahwa ulang tahun PT Pusri harus dihitung sejak berdiri pada 1969, bukan sejak spin off. “Ini harus diperhatikan betul, jangan dianggap remeh. Harus dijamin pula peningkatan kesejahteraan pegawai atau karyawannya, dengan status sekarang ini,” tekannya. (bro)
()